PWMU.CO – Dari Mana Sumber Dana Ribuan Amal Usaha Muhammadiyah? Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr HM Busyro Muqoddas SH MHum menjawabnnya pada acara Penguatan Ideologi Muhammadiyah bertajuk “Muhammadiyah dan Keadilan Sosial”, Selasa (6/7/2021).
Kajian virtual yang digelar Mugeb Islamic Center (MIC) Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik itu bekerja sama dengan Mugeb Schools.
Busyro Muqoddas menyatakan, tidak sulit membicarakan keadilan sosial yang dikaitkan dengan penguatan ideologi, baik bagi Muhammadiyah maupun bagi yang belum benar-benar memahami Muhammadiyah.
Dia lantas mengajak peserta untuk memperhitungkan keberadaan rumah sakit Muhammadiyah. Meski masyarakat Nadlatul Ulama banyak di Jawa Timur, tapi dia menyatakan rumah sakit Muhammadiyah justru paling banyak berada di Jawa Timur—dari seluruh Indonesia.
“Itu kalau bukan karena ideologi yang diridhai Allah, yang sudah mencerminkan cara berpikir metode burhani, bayani, dan irfani (sebagai) ciri Muhammadiyah, tidak mungkin ada amal usaha rumah sakit tadi,” ungkapnya.
Muhammadiyah Tampil Menawan
Pria yang hobi jogging lima hari sekali itu menyatakan, 170 perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) yang didirikan umat, 30 ribu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Muhammadiyah-Aisyiyah, dan 15 ribu SD-SMP-SMA, itu menimbulkan pertanyaan asal sumber dananya.
Baginya, jawabannya sudah jelas dari umat. Busyro menekankan hal ini bisa dicapai karena dana itu dari umat yang dididik memahami Islam rahmatan lil alamin. Yaitu membawa rahmat, keadilan, kedamaian, tasamuh, dan tawadhu kepada siapa pun, termasuk kepada golongan yang belum Islam.
“Siapa tahu kalau nanti Muhammadiyah tampil lebih menawan hati, orang-orang yang anti-Islam itu bisa ditunjukkan orang-orang Muhammadiyah yang gurunya banyak yang dibayar … (seikhlasnya). Di Yogya saja ada guru SD Muhammadiyah yang bergaji Rp 90 ribu per bulannya,” terangnya.
Saat dia dulu menjadi ketua ranting, ada guru SD Muhammadiyah berhonor Rp 75 ribu saja per bulannya. Setiap hari, guru itu lewat di depan rumahnya menggunakan sepeda.
Itulah gambaran guru SD di mata Busyro. Demikian pula dengan guru SMP, SMA, dan dosen. “Mereka dapat bayaran, tapi dicukup-cukupkan,” ungkapnya.
“Tidak ada berita mereka meninggal dunia karena honornya cuma sedikit. Malah banyak yang hidup sehat, meninggalnya dengan husnul khatimah,” sambung pria yang juga hobi membaca itu.
Busyro mencontohkan seorang guru di Yogya bernama Idris. Usai mengajar di SD Muhammadiyah, dia memberikan les tanpa mau dibayar. Lalu datang adzan Ashar, begitu rukuk, dia jatuh. Setelah dicek, denyut jantungnya sudah berhenti.
“Dia meninggal dalam keadaan rukuk, Masyaallah. Husnul khatimah, sebagaimana mereka yang diuji dengan Covid-19,” ujarnya.
Ideologi Muhammadiyah Itu Ikhlas
“Andaikan negeri ini tidak ada Muhammadiyah, bagaimana? Andaikan negeri ini tidak ada Nadlatul Ulama, bagaimana?” tanya Busyro di tengah kajian virtual yang diikuti guru, karyawan, dan kepala sekolah Mugeb Schools pagi itu.
Busyro menegaskan, ideologi Muhammadiyah itu salah satu kuncinya ikhlas. “Tanya bapak-bapak, ustad-ustad itu Pimpinan Ranting, Cabang, sampai seterusnya, di Muhammadiyah itu tidak ada gaji!” tuturnya.
Yang ada, lanjutnya, adalah penghormatan selayaknya-secukupnya, tidak berlebih-lebihan. “Mangkanya, di Muhammadiyah tidak ada korupsi seperti di pemerintahan. Kuncinya itu ikhlas,” ungkapnya.
Kekurangan itu menurutnya pasti ada, wajar jika ada yang lengah. “Tapi sengaja korupsi dalam jumlah banyak Alhamdulillah tidak ada dan jangan sampai ada!” ucapnya.
Busyro menekankan, lengah itu wajar. Jika lengah, dia mengajarkan untuk mengakui, bukan malah ditutup-tutupi. Tapi kelengkapan itu tidak menggambarkan bahwa di Muhammadiyah terjadi korupsi. “Kalau ada korupsi di Muhammadiyah, tidak ada 170 PTM!” katanya.
Ideologi Muhammadiyah Vs Nawacita
Busyro menyatakan, ribuan sekolah itu bukti ideologi Muhammadiyah yang bersumber pada Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, garis perjuangan Muhammadiyah, dan keputusan Muktamar.
“Isi keputusan pada muktamar itu bagus, melebihi nawacita,” komentarnya.
Kalau nawacita, lanjutnya, yang mengarang Jokowi bersama teman-temannya. Tapi kalau keputusan muktamar itu sebelumnya melalui focus group discussion (FGD), diskusi-diskusi berkelompok di sejumlah perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Bahkan, pakar-pakar di dalam maupun di luar Muhammadiyah ikut terlibat.
Kemudian, sambungnya, seminar-seminar Pra Muktamar itu dirumuskan tim yang canggih. Lalu hasilnya dibawa ke Muktamar, dibahas dalam Muktamar. Hasilnya itulah yang jadi keputusan Muktamar 47.
Muhammadiyah Tak Ragukan Pancasila
Dari hasil Muktamar 47 itu, Busyro menerangkan ada pernyataan tertulis resmi Muhammadiyah seluruh Indonesia. Bahkan, sudah ada bukunya: “Darul Ahdi wa Syahadah”.
“Ini bicara tentang pengakuan dan persaksian orang-orang Muhammadiyah tentang Pancasila, itu bagi Muhammadiyah selesai,” ucapnya.
Mengingat dalam perumusan Pancasila, ada tiga orang Muhammadiyah yang dulu ikut berkontribusi. Yaitu, Ki Bagus Hadikusumo, Prof Kahar Muzakir, dan Prof Kasman Singodimedjo.
Jadi kalau bicara tentang ideologi negara Pancasila, dia menegaskan Muhammadiyah sudah selesai membicarakannya. “Tidak perlu ragu-ragu atau gerogi kalau ada yang menuduh Muhammadiyah itu Wahabi atau Salafi!” tuturnya.
Muhammadiyah Tidak Perlu Balas
Dia pun menyampaikan surat al-Furqon ayat 63-64:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا
Busyro mengingatkan, hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih-Penyayang itu memiliki sifat tawadhu. “Kalau berjalan di dunia ini tawadhu, tidak sombong. Punya 170 PTM, tawadhu!” terangnya.
Kemudian, dia melanjutkan membaca potongan ayat di atas.
وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
Apabila datang orang-orang jahil, jahat, bodoh, pembuat hoax, pemfitnah politik, buzzer politik yang membuat fitnah lewat media sosial, maka orang Islam—termasuk Muhammadiyah—tidak perlu membalas.
Tapi, dia menyarankan sesuai ayat itu, yaitu mengatakan “Qalu Salamah“. Jadi, membalasnya dengan kalimat yang mengandung keselamatan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post