PWMU.CO – Teologi Innalillahi Bukan untuk Kematian Saja. Prof Dr Haedar Nashir MSi menyampaikannya pada Takziah Virtual Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah bertajuk “Mengenang Kebaikan Prof Dr H Baedhowi MSi (Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah)”, Senin (5/6/21) malam.
Usai menyampaikan duka cita dan doanya untuk almarhum Baedhowi, Haedar menyatakan empatinya, “Bagi keluarga tentu kehadiran sosok beliau menjadi teladan dan kepergiannya tentu menjadi kehilangan,” ujarnya.
Tapi, lanjutnya, kami percaya keluarga semuanya ikhlas merelakan, sabar, dan tawakal. “Sebenarnya meninggalnya Allahu yarham Prof Baedhowi bagi kita—Muhammadiyah dan kaum muslim siapa pun di sekitar kita, meskipun merasa kehilangan, tapi apapun wasilahnya semuanya sudah ada dalam garis Allah,” jelasnya.
Dia lantas membaca surat al-A’raaf ayat 34:
فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
Ketika ajal itu tiba, siapa pun kita tidak bisa mengakhirkan, menunda, dan tidak bisa mendahulukan; sehingga semuanya kita pasrah, tawakal, karena itulah garis yang telah ditentukan Allah SWT.
Amal Dawamah dan Ijarah dengan Allah
Haedar mengajak untuk mengingat sabda Nabi: “Idza mata ibnu adam in qatha’a ‘amaluhu illa min tsalatsin,”
Dia menerangkan, apabila meninggal, anak cucu Adam terputus semua amalnya, kecuali tiga: pertama, shadaqatin jariyatin. Yaitu amal shalih dan apapun yang dilakukan sebagai jejak kebaikan yang ikhlas dan memberi kemanfaatan untuk orang banyak.
Kedua, wa waladin shalihin yad’u lahu. Yaitu anak shalih yang selalu mendoakan kedua orangtuanya. Ketiga, aw ilmin yuntafa’u bihi. Yaitu ilmu yang dimanfaatkan.
Ilmu dan amal jariah yang telah digoreskan dan menjadi jejak perjalanan Almarhum tentu merupakan ijarah beliau dengan Allah. Haedar juga mengimbau keluarga dan kita semua agar melanjutkan, meneruskan, dan mengembangkan jejak dan perjalanan kebaikan beliau.
Harapannya, menjadi amal dawamah, yang bagi kita semua juga menjadi ijarah kita secara pribadi maupun kolektif dengan Allah.
Teologi Ilahiah
Setiap kita kehilangan seseorang, selalu menyampaikan duka dengan Innalillahi wa innailaihi rajiun, semua dari Allah dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Potongan ayat ini sudah menjadi tradisi sehari-hari kita saat menghadapi musibah.
Haedar ingat pesan Prof Mukti Ali, Menteri Agama yang juga tokoh Muhammadiyah, mengucap innalillahi wainnaIlaihi rajiun sebenarnya bukan hanya ketika mengalami musibah, termasuk kematian.
“Itu merupakan teologi kehidupan bagi setiap Muslim, bagaimana kita memaknai (dan) menghayati tentang hakikat kehidupan,” terangnya.
Di dunia ini, sambungnya, semua fana, tapi harus kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Segala ikhtiar, usaha, amal shalih—bahkan musibah serta hal-hal yang tidak diinginkan—itu semua dalam kehendak dan iradat Allah.
Dia berpesan, agar kita menjadikan teologi Ilahiah ini sebagai teologi kehidupan yang utuh. Harapannya, setiap Muslim bukan hanya ketika musibah menjadikan teologi innalillahi wa innailaihi rajiun, tapi juga dalam mencandra kehidupan yang ikhlas.
Artinya, lanjut Haedar, bagi kita yang masih diberi umur oleh Allah, kita tidak tau persis—tidak tua-muda—bentuk garisnya berbeda-beda. Dan kita tidak pernah tahu kapan datangnya kematian, sebagaimana Allah bersabda dalam surat Luqman ayat 34:
“… وَمَا تَدۡرِىۡ نَفۡسٌ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدًا ؕ وَّمَا تَدۡرِىۡ نَـفۡسٌۢ بِاَىِّ اَرۡضٍ تَمُوۡتُ ….”
Haedar menjelaskan, kita tidak pernah tau besok apa yang akan terjadi dalam hidup kita, dan kita tidak pernah tau di bumi mana kita akan meninggal.
Maknai Hakikat Kehidupan agar Tak Sia-Sia
Haedar berpesan, seyogyanya bagi kita yang masih diberi kehidupan oleh Allah, mari memaknai tentang kepergian orang-orang tercinta maupun ketika menghadapi kehidupan di mana juga kita berhadap orang-orang sekitar yang kita cintai.
“Baik keluarga yang satu nasab maupun keluarga yang satu ikatan kemanusiaan sebagai anak cucu Adam, maka bagaimana kita menghargai kehidupan ini sebagai mestinya Allah memberi anugerah untuk hidup,” ajaknya.
Haedar menekankan, hidup tidak untuk disia-siakan. “Ketika diberi musibah pun juga tidak penuh kemasygulan, perselisihan, pertengkaran, juga sebagian penuh amarah oleh satu dan sekian sebab,” tuturnya.
Dia mengajak untuk memberi makna pada banyak jejak kehidupan yang tidak semuanya terjangkau oleh rasional yang instrumental, yang mungkin selalu kita pakai sebagai tolak ukur untuk memaknai kehidupan.
Perspektif Ilahiah Maknai Pandemi
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menerangkan, ketika sekarang menghadapi pandemi Covid-19, sesungguhnya kita diajari makhluk Allah—yang kecil tapi berdampak besar—itu agar memiliki kearifan dalam memaknai pandemi. “Agar kita tidak terus dalam suasana yang penuh centang perenang!” ucapnya.
Pertama, yang ada di hadapan kita, realitas yang faktual dan tidak bisa kita bantah. “Orang bisa menggunakan berbagai teori yang mungkin berbeda dengan teori yang mu’tabarah secara saintifik, bahwa pandemi Covid-19 ini terjadi karena ini dan itu,” ungkapnya.
Sedangkan, lanjutnya, ahli-ahli kedokteran menerimanya sebagai realitas faktual yang nyata. Di sisi lain, orang menghadapi realitas ini dengan berbagai macam pikiran. Tapi Haedar menegaskan kenyataannya, sudah lebih dari 3,8 juta orang meninggal karena Covid-19.
“Kita bisa mendapat pengalaman dari orang-orang sekitar, betapa saudara kita yang terkena positif pun mengalami suasana psikologis yang tidak ringan,” ujarnya.
Jadi dari kondisi ini, menurutnya, perlu membuat kita semakin memberi kesadaran hikmah Ilahiah untuk lebih rendah hati dan tasamuh. Selain itu, mengedepankan dimensi insani dan irfani lebih dari sekadar dimensi bayani dan burhani atau nalar instrumental kita.
Karena, sambungnya, kalau kita mengikuti nilai instrumental kita itu tidak ada habisnya. Lebih-lebih kalau diwarnai sikap-sikap tertentu karena keadaan.
“Coba kita buka horizon di mana Allah memberi kita ilmu dan hikmah. Cobalah kita hayati bahwa ketika menghadapi pandemi maupun kehidupan yang lebih luas, yang tidak selalu sederhana, yang tidak selalu menyenangkan, kita coba beri perspektif bahwa kehidupan memang warnanya ada yang suka dan duka,” imbaunya.
Yang penting, Haedar menekankan bagaimana kita punya perspektif ilahiah yang menghadirkan dimensi Tuhan dalam kehidupan kita secara lebih rendah hati, irfani.
Penting Pahami Maqashidussyariah
Haedar bersyukur agama Islam mengajarkan maqashidussyariah kita itu selain hifzuddin (memelihara agama), juga hifzunnafs (memelihara jiwa), hifzulaql (memelihara akal), hifzunnasl (memelihara keturunan), dan hifzulmal (memelihara harta). Itu semua merupakan kesatuan satu sama lainnya.
Jadi nantinya, ketika menyelamatkan kehidupan hanya dengan menjaga protokol kesehatan, maka berarti kita tidak menambah penularan. Sekaligus, meringankan beban saudara-saudara kita di rumah sakit, para tenaga kesehatan yang sudah overload.
Bahkan, saat kita juga merasakan penderitaan orang-orang yang positif Covid-19 ketika dia harus mengisolasi diri. Juga mereka yang meninggal dalam keadaan yang tidak bisa kita hantar.
“Maka pada titik ini, sesungguhnya pemahaman hifzuddin, hifzunnafs, hifzulaql, hifzunnasl, dan hifzulmal menjadi penting!” tegasnya.
Ketika menghadapi kehidupan yang kompleks, tentu juga harus terus mencari solusi. Alangkah bijak ketika mencari solusi, pesannya, kurangi centang perenang pertengkaran yang tiada habis.
“Saat menghadapi pandemi Covid-19 yang penuh dimensi tidak sederhana, inilah kerendahan hati untuk mengedepankan pemahaman tentang teologi kehidupan dan kematian sebagai wilayah insani dan ihsan,” jelasnya.
Kaya Makna, Pemikiran Kemanusiaan yang Lembut
Haedar pun mengajak belajar dari pemikiran orang-orang awam di luar agama, ketika mereka lihat kehidupan yang begitu kompleks. Banyak orang bicara tentang perdamaian, penyelamatan dunia, bumi, dan nilai-nilai kemanusiaan semesta.
Juga pemikiran tentang pencerahan saat ini yang memasukkan humanistik, bagaimana orang-orang sekarang menanamkan nilai empati san simpati untuk menumbuhkan kasih sayang, belas kasih, dan toleransi di tengah kehidupan yang snagat keras.
Ini menunjukkan pemikiran para saintis yang sekuler justru ada hidup dimensi pemikiran kemanusiaan yang lebih lembut, damai, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan semesta. Dia pun menegaskan agar kaum Muslim lebih kaya lagi dalam memaknai kehidupan.
Haedar setuju saat ada yang menyatakan masalah terbesar kini, yaitu masalah filosofi. Bagaimana manusia kembali terpanggil untuk menyelamatkan peradaban yang begitu banyak diperebutkan oleh manusia yang penuh angkara murka dan nafsu ambisi.
Mudah-mudahan, Haedar berharap, elit Muhammadiyah memahami filosofi kehidupan yang lebih kaya untuk menghadirkan Islam sebagai agama yang mengedepankan perdamaian, kemanusiaan, dan kesemestaan yang menghadirkan teologi innalillahi wainnailaihi rajiun dalam mencandra kehidupan.
“Maka cara pandang keagamaan kita benar-benar memperkaya kehadiran kita sebagai ummatan wasathan Litakunu syuhada alan nas,” tuturnya.
Berkhidmat Tak Kenal Waktu
Dalam takziah virtual itu, Haedar mengenang Baedhowi sebagai sosok yang bersahaja, dekat dengan siapa pun, dan rendah hati. Menurutnya, banyak kebaikan yang menjadi teladan.
“Dengan pengalaman dan ilmunya di dunia pendidikan, beliau begitu berkhidmat. Purna di Dikbud, beliau sepenuhnya menghabiskan hari-harinya berkhidmat di Muhammadiyah, memajukan pendidikan dasar dan menengah,” ujarnya.
“Beliau bersama teman-teman Majelis Dikdasmen, sebagaimana kita menjadikan misi dari para aktivis dan pimpinan Muhammadiyah, nyaris tidak kenal waktu untuk berkhidmat,” ungkapnya
Dalam bulan-bulan terakhir setelah pandemi, Almarhum masih semangat menyelesaikan tugas-tugas penting dan strategis tentang masa depan pendidikan Muhammadiyah. Sejak menyusun draft peta jalan Muhammadiyah yang juga disinergikan, sekaligus memberi masukan pada peta jalan pendidikan nasional.
Terakhir, menyusun pangkalan data pendidikan Muhammadiyah, juga menggarap pengembangan sekolah-sekolah utama atau unggulan persyarikatan Muhammadiyah.
Kerendahhatian Baedhowi
Haedar, sebagai orang yang lebih muda di PP Muhammadiyah, mengaku tidak enak hati mengingat Baedhowi selalu mengabarkan setiap perkembangan dan kegiatan yang tercatat oleh Majelis.
“Selalu kalau tidak telpon, mengirim pesan laporan perkembangan dari apa yang dilakukan,” ucap dia.
Itulah kerendahan hati beliau di mata Haedar. “Kami di PP Muhammadiyah terdorong untuk terus menekuni dunia pendidikan, agar kita makin mampu ber-fastabiqul khairat dengan lembaga-lembaga pendidikan yang baik,” sambungnya.
Atas semua itu, Haedar menyatakan, tidak bisa membalas kebaikan beliau selain mengucap, “Jazakumullahu ahsanul jaza.”
Mudah-mudahan, lanjutnya, apa yang telah dilakukan Pak Baedhowi semasa hayatnya, baik di Muhammadiyah maupun semasa perjalanan hidupnya yang panjang, InsyaAllah menjadi amal jariah yang tidak terputus, terus bersambung. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni