PWMU.CO– Sopir ambulans, tak ada anak-anak yang memilih cita-cita pekerjaan itu. Apalagi anak-anak milenial sekarang yang banyak bercita-cita jadi YouTubers atau gamers.
Kemarin ramai di media sosial, video yang memperlihatkan tiga mobil ambulans tabrakan dengan mobil minibus hitam di Desa Ngemplak Kec. Undaan, Kudus, Selasa (6/7/2021) pukul 13.30.
Narasi video itu menyebut, tiga ambulans kosong jalan ugal-ugalan sengaja berkeliling membunyikan sirine bikin warga resah. Akhirnya tabrakan beruntun.
Tiga ambulans itu milik RS Aisyiyah Kudus, MCCC PDM Kudus, dan Lazismu Jateng. Atas kejadian itu Direktur RS Aisyiyah Kudus dr Hilal Ariadi MKes dan Ketua MCCC PDM Kudus Satriyo Yudo BW memberi klarifikasi.
Hilal Ariadi menjelaskan, narasi video itu tidak benar. Tiga ambulans itu habis mengantar jenazah untuk dimakamkan di Grobogan. Lalu balik lagi ke Kudus untuk mengambil jenazah untuk pemakaman. Saat jalan beriringan, minibus di depan mengerem mendadak. Akibatnya terjadi tabrakan beruntun.
Hilal meminta masyarakat untuk menghentikan membuat hoax di medsos. Harus tabayun agar tidak merugikan orang lain.
Narasi hoax video itu mendorong saya menuliskan pengalaman menjadi sopir ambulans. Itu memang bukan pekerjaan saya, tapi ketika menjadi takmir Masjid An-Nur kompleks Muhammadiyah Sidoarjo, menjadi sering menjalankan ambulans milik masjid.
Mobil ambulans itu sering dapat panggilan dari jamaah, kadang sopirnya pas tidak stand by di tempat. Karena butuh layanan cepat, akhirnya orang yang ada di masjid ambil alih ambulans termasuk saya.
Berbeda dengan mobil biasa, ambulans harus memiliki kecepatan standar ketika berpacu di jalan. Standar kecepatan itu ya 100 Km per jam kalau keluar kota. Adanya sirene dan lampu putar di atas ambulan memberi tanda agar ambulans diberi prioritas. Bahkan ditoleransi menerobos lampu merah. Terkadang harus melawan arah kalau jalur yang dilewati macet.
Kecepatan ambulans menjadi prioritas untuk menyelamatkan nyawa pasien sakit atau menyegerakan jenazah menuju pemakaman.
Suatu kali saya pernah mengantar jenazah dari Sidoarjo ke Batang, Jawa Tengah. Saya berangkat beriringan dengan mobil Avanza keluarganya. Lewat jalan tol mobil ambulans Luxio berjalan dengan kecepatan standar. Sekitar 100-125 Km/jam.
Tengah malam kami beristirahat. Keluarga yang ikut di ambulans menelepon keluarga di mobil Avanza. Ternyata mereka baru sampai di kilometer 560 sementara kami sudah di kilometer 440. Selisihnya sekitar 100 kilometer. Sangat jauh.
Kecepatan ambulans seperti itu bukan ugal-ugalan. Laju ambulans lurus kencang, tidak zigzag memotong kendaraan lain. Itu tuntutan. Harus sampai di tujuan dengan cepat, dan selamat. Untuk itu membunyikan sirene menjadi satu keharusan agar ambulans diberi prioritas.
Kondisi ini kadang tidak dipahami masyarakat. Bahkan ada kendaraan yang sengaja menghalangi atau menutup akses jalan. Ambulans kosong tapi bertugas menjemput pasien atau jenazah harus berjalan kencang dan membunyikan sirine.
Pernah suatu kali saya membawa ambulans ke Pondok HW di Purwodadi Pasuruan untuk membantu kegiatan HW. Saat posisi ambulans di Purwodadi ada telepon agar ambulans segera pulang ke Sidoarjo. Ada panggilan mengangkut jenazah.
Saya bergegas pulang ke Sidoarjo. Di tengah jalan terjebak kemacetan. Tiba-tiba di jalur sebelah kanan ke arah Malang muncul ambulans dengan sirine berbunyi. Tak berpikir panjang, saya juga bunyikan sirene agar cepat sampai di Sidoarjo, padahal mobil kosong.
Berkat sirine itu kemacetan terurai. Kendaraan lain memberi jalan. Dalam kondisi jalan padat dan macet itu, saya sampai di Sidoarjo kurang dari 45 menit. Saya mampir Masjid An-Nur. Ganti tandu dengan keranda lalu berangkat ke rumah duka. Ngebut karena tuntutan harus cepat sampai.
Kemarin waktu memakamkan seorang sahabat yang diduga terpapar Covid-19, saya sempat ngobrol dengan sopir ambulans yang mengantar. Kebetulan dari RS Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo.
Sopir itu cerita setelah pemakaman itu langsung kembali ke RS karena masih ada tiga jenazah yang harus diantar. Karena itu ambulans menjadi terburu-buru, cepat, dan yang pasti semoga selamat. Itulah takdir sopir ambulans yang harus dipahami masyarakat. (*)
Penulis Ernam Editor Sugeng Purwanto