Kematian Covid dan Bisnis Vaksin oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Dua pekan lalu saya kehilangan ibu saya, 88 tahun. Resmi dinyatakan oleh RSND Undip Semarang wafat karena Covid dan dimakamkan mengikuti prokes. Saat ini saya tengah merawat istri yang dinyatakan positif melalui tes PCR di sebuah klinik terkenal di Semarang.
Dari pengalaman ini, persoalan pandemi Covid-19 itu kompleks dan multi-disiplin, bukan hanya soal kedokteran. Karena itu ini sebuah pandangan dan usulan perubahan pada strategi menghadapi musibah ini.
Saya mengambil risiko disalahpahami oleh dua anak perempuan saya yang dokter karena pandangan saya tentang wabah ini. Juga kedua menantu. Keempatnya terlatih dengan evidence-based learning. Satu anak saya bekerja di sebuah Puskesmas Surabaya yang nyaris kolaps menghadapi banjir pasien Covid.
Selama sepekan lebih ini, hampir semua rumah sakit di kota-kota besar di Jawa menghadapi krisis menerima banjir pasien dengan gejala Covid-19. Tabung-tabung oksigen memenuhi lorong rumah sakit dengan pasien tergeletak di lantai.
Laju kematian Covid naik menakutkan. Tiada hari berlalu tanpa permohonan doa bagi kawan dan saudara yang sakit terpapar Covid dan permohoan ampunan dan rahmat bagi mereka yang wafat. Termasuk para dokter dan perawat .
Adalah WHO yang mengatakan bahwa penyebaran Covid ke seluruh dunia ini adalah pandemi. Lalu WHO mengajukan usulan lockdown. Namun ada tambahannya: menggunakan masker, menjaga jarak (tidak berkerumun), dan sesering mungkin mencuci tangan.
Hampir seluruh negara dipaksa mengikuti arahan WHO ini. Bahkan WHO meluncurkan program vaksin melalui prosedur baru yang tidak lazim dengan alasan darurat. Selama 15 bulan ini, ekonomi kita anjlok, pengangguran meroket, sekolah dan kampus kosong, utang menggunung, dan kini selama masa PPKM Darurat, masjid pun ditutup.
Pemerintah merespons pandemi dengan ragu-ragu. UU Karantina Kesehatan tidak pernah diberlakukan. Menkes Terawan yang dokter tentara bahkan harus diganti oleh Menkes yang selama ini lebih banyak mengurusi bisnis.
Komunitas kesehatan mengakui bahwa tata laksana penanganan Covid masih belum well-established. Masih trial. Dokter yang berbeda memberikan resep yang berbeda. Sebagai warga negara yang cukup terdidik, dengan insting peneliti yang tajam, rasa ingin tahu yang besar, dan ketajaman hidung wartawan, saya sadar bahwa sistem kesehatan nasional kita mendapat tekanan kuat oleh industri farmasi global.
Ada WNI bisa menghabiskan sekitar Rp 70 T pertahun untuk berobat ke Singapura dan Malaysia. Kapitalisasi industri kesehatan bisa mencapai Rp 500 T pertahun.
Objek Bisnis
Sebelum pandemi, bank tertarik untuk membiayai investasi di sektor pendidikan dan kesehatan. Kini hanya sektor kesehatan yang masih menarik. Kelompok Sinar Mas kini mengikuti Lippo dalam pembangunan jaringan rumah sakit. Anggaran pemerintah untuk penanganan pandemi ini mencapai Rp 350 T. Sepuluh persennya untuk vaksin.
Tidak ada sistem kesehatan di dunia yang mampu mengatasi pandemi ini jika pendekatannya kuratif. Publik dijadikan pasien layanan kesehatan, konsumen obat dan vaksin sehingga menjadi objek rentan bagi intimidasi yang dihembuskan oleh freeriders yang suka memancing di air keruh.
Politik kesehatan kita seharusnya lebih preventif dan promotif serta memandirikan industri kesehatan domestik. Terutama dalam pengelolaan Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti stroke, jantung, diabetes, dan kanker.
Publik diberdayakan agar menjadi penyedia kesehatan sebagai public goods. Bagi warga usia produktif perlu edukasi hidup sehat, bersih, rendah gula, aktif secara fisik dan mental, minum air putih cukup dan makan dengan gizi seimbang. Tidak mungkin mereka ini dipaksa terus berdiam diri di rumah tanpa pekerjaan.
Rasulullah saw dengan cerdas mengenalkan konsep karantina wilayah. Ini bisa setingkat kota atau provinsi. Tapi Nabi tidak pernah menganjurkan menjarangkan shaf shalat. Yang wafat terkena Covid mati sebagai syahid. Tapi ekonomi kota tetap berjalan seperti biasa.
Pandemi Covid telah menciptakan nestapa dengan kematian beruntun tiap hari. Tapi TBC, stroke, jantung, diabetes, dan kanker yang memiliki prevalensi dan case fatality rate yang lebih tinggi dari Covid-19 jangan sampai terbengkalai.
Jatingaleh Semarang, 11/7/2021
Editor Sugeng Purwanto