Messi Akhiri Kutukan Argentina, Italia Kudeta Wembley oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Pendukung Brasil sudah menyiapkan lagu Don’t Cry for me Argentina untuk merayakan kemenangan di final Copa America, Ahad pagi (11/7) WIB. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Neymar da Silva Santos Junior, striker dan pemain paling diandalkan Brasil, menangis sejadi-jadinya setelah kalah 0-1 dari Argentina. Pendukung Brazil pun ikut menangis bersama Neymar.
Argentina juara, pendukungnya bergembira ria karena akhirnya bisa mengakhiri paceklik gelar selama 28 tahun. Lionel Messi, sang kapten, mengakhiri kutukan sepanjang kariernya yang belum pernah sekali pun memberikan trofi untuk negaranya.
Pertandingan final ini adalah sweet revenge pembalasan dendam yang berakhir manis. Argentina merebut trofi di tanah Brasil yang sakral dan sangar. Argentina bisa menundukkan Stadion Maracana, benteng Brasil, yang selama ini dianggap angker bagi tim lawan.
Kemenangan Argentina ini tentu seperti memberi inspirasi kepada timnas Italia menundukkan tuan rumah Inggris dalam final Euro 2020 di Stadion Wembley. Nasib Inggris menjadi sama tragisnya dengan Brasil. Bedanya Inggris kalah dalam adu penalti dengan Italia setelah laga seri 1-1.
Pemain Argentina, Angel de Maria, yang menunggu di sayap kanan benar-benar laksana malaikat yang menyelinap di antara back four Brasil yang dikomandani Tiago Silva. De Maria terbang melayang mengontrol bola memasuki kotak penalti.
Kiper Ederson mencium bahaya dan mencoba keluar menutup ruang gerak de Maria. Tetapi sudah terlambat. Dengan tenang, sambil tersunyum, de Maria mencongkel bola dengan punggung kakinya. Bola melayang melewati kepala Ederson menukik masuk ke gawang.
Satu gol menjadi pembeda dua tim musuh bebuyutan itu. Satu gol mengukir sejarah bagi Lionel Messi, sang kapten. Kemenangan ini begitu berarti bagi Messi yang merasa terkutuk, karena sepanjang kariernya yang cemerlang di Barca belum memberikan satu gelar pun bagi tim Argentina.
Si Kutu
Messi adalah La Pulga, si Kutu. Ia kutu kecil yang menjadi dewa sepak bola dengan kemampuan skill super human. Tidak ada manusia di planet yang punya kemampuan alamiah seperti Messi. Seolah-olah ia datang dari planet lain. Ia adi-manusia, melampaui manusia.
Dijuluki si Kutu, karena ketika masih kecil dia memiliki kelainan hormon, sehingga ia tidak bisa tumbuh besar seperti anak-anak lainnya. Karena itu, kakaknya, Rodrigo, memanggilnya dengan sebutan La Pulga.
Bagi anak-anak kecil, sebutan si Kutu bisa bermakna bullying atau rundungan. Mungkin mirip dengan pemain Indonesia Kurniawan Dwi Julianto yang dijuluki si Kurus, atau mantan pemain Arema Arif Suyono yang lebih dikenal sebagai Keceng karena badannya yang tipis.
Bagi Messi julukan itu menjadi berkah. Dia memang si Kutu yang membuat gatal semua pemain lawan. Ia si Kutu yang sulit dideteksi dan tidak bisa dilihat gerakannya, karena kecepatan dan ketajamannya. Si Kutu selalu menjadi problem bagi setiap lawannya.
La Pulga menundukkan jagat sepak bola internasional. Tinggi tubuhnya 170 sentimeter, kecil untuk ukuran Amerika dan Eropa. Tapi, seperti kata populer dalam bahasa iklan, Size Doesn’t Matter, ukuran tidak jadi soal. Messi mini tapi bisa membuktikan bahwa efeknya super-jumbo.
Di usianya yang sudah merambat 33 tahun sihirnya dianggap mulai redup. Messi masygul. Ia tidak ingin mengakhiri kariernya sebagai pemain terkutuk. Ia mendapatkan segala-galanya bersama Barcelona. Tapi, dia belum memberikan apa-apa untuk negerinya.
Messi sudah mendapatkan enam kali penghargaan pemain terbaik dunia Ballon d’Or. Ia bersaing dengan Cristiano Ronaldo yang juga sudah mengoleksi lima Ballon d’Or. Tapi Messi masih punya utang defisit prestasi, karena Ronaldo sudah memberikan trofi Piala Eropa bagi Portugal. Tahun ini Messi membayar impas utang-utangnya.
Messi juga sudah merasakan seluruh trofi bergengsi di level klub, seperti La Liga, Liga Champions, hingga Piala Dunia Antarklub. Sekarang, setelah memberikan trofi Copa America, Messi masih punya utang trofi Piala Dunia.
Pada Piala Dunia 2024 di Qatar mendatang Messi sudah berusia 37 tahun, Ronaldo juga sudah akan mendekati 40 tahun. Cukup berat untuk bisa memenangkan Piala Dunia. Tetapi, Messi sudah cukup bangga dengan persembahan Copa America kali ini.
Penghargaan ini sudah cukup untuk menyegel gelarnya sebagai GOAT atau Greatest of All Time, pemain terbaik sepanjang masa. Gelar ini selalu diperebutkan antara Messi dengan Ronaldo. Dengan capaiannya sekarang Messi bisa mengungguli Ronaldo.
Messi juga diperbandingkan dengan Pele, legenda Brasil. Perbandingan ini tidak bisa sepenuhnya sejajar karena keduanya beda generasi dan beda tantangan. Orang Argentina pasti menganggap Messi lebih besar. Tapi, orang Brasil menganggap Pele yang terbesar sepanjang zaman, karena Pele bisa memenangkan Piala Dunia untuk Brasil.
Kemenangan Argentina kali ini disebut sebagai Kudeta di Maracana. Sama halnya kemenangan Italia menjadi Kudeta Wembley untuk memperebutkan supremasi Eropa di Euro 2020.
Inggris belum bisa mengakhiri kutukan, kalah dari Italia 2-3 (1-1) melalui adu penalti yang menyesakkan dada. Italia sukses merebut kekuasaan di Wembley dan menahbiskan diri sebagai The King of Europe, Sang Raja Eropa. (*)
Editor Sugeng Purwanto