PWMU.CO – Umrah dan Haji Virtual, Menyesatkan!. Hal itu disampaikan Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag H Khoirizi HD SSos MM, Senin (12/7/21).
Khoirizi, sapaan akrabnya, membahas ini pada Indonesia Islamic Marketing Festival 2021 Episode 1 yang digelar MarkPlus Islamic. Dalam Zoom Webinar itu, dia meluruskan dan memohon agar masa pandemi ini tidak dijadikan momen mencari keuntungan.
Mengingat akhir-akhir ini sering muncul haji dan umrah virtual yang menyesatkan, maka Khoirizi menegaskan, yang boleh dilaksanakan secara virtual adalah manasiknya, bukan prosesi ibadahnya.
“Bukan prosesi ibadahnya, tetapi manasiknya. Boleh manasik virtual umrah atau manasik virtual haji,” terangnya.
Dia mengimbau agar penyelenggara tidak melakukan penipuan itu demi mencari keuntungan semata. “Jangan disamakan, untuk mencari keuntungan, membohongi atau menipu masyarakat,” tuturnya.
Mengatakan ada haji dan umrah virtual dengan biaya yang cukup rendah, lanjutnya, itu sangat menyesatkan.
Peran Narasi pada Wisata Religi Virtual
Sebelumnya, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparenkraf) Rizki Handayani Mustafa membahas wisata religi virtual.
Rizki menerangkan, sebagai pihak yang bekerja meningkatkan pergerakan antarprovinsi dalam rangka pariwisata yang bermanfaat untuk pengembangan industri pariwisata, maka Kemenparenkraf mendukung pihak penyelenggara wisata religi yang mengadakannya secara virtual.
“Banyak yang membuat wisata virtual religi di Indonesia dan Kemenparenkraf mendukung,” ungkapnya.
Yang penting menurutnya, peran narasi dan story telling, di mana para pelaku di usaha penyelenggara tur itu bisa membuatnya sendiri. “Jadi bagaimana pelaku usaha pariwisata menyediakan paket wisata yang mempunyai cerita narasi,” tuturnya.
Kemenparenkraf sudah mengadakan pelatihan membuat narasi. Kata Rizki, kalau ada masyarakat yang mengusulkan narasinya lebih baik. Selain itu, untuk membuat narasi itu bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat.
Sejauh ini, Kemenparenkraf sudah membuat narasi bekerja sama dengan Masjid Istiqlal. “Masjid itu tidak hanya tempat shalat tapi punya cerita sejarah luar biasa, bagaimana keberadaan dan toleransi terlihat dari masjid itu. Islam tidak hanya untuk umat muslim,” ujarnya.
Wisata Halal, Wisata Syariah
Rizki memaparkan, ‘Wisata Halal’ awalnya dicetuskan tahun 2012. Dulu dikenal sebagai ‘Wsata Syariah’ karena berkaitan dengan perbankan syariah.
Halal tourism (wisata halal) bukan menekankan pada berwisatanya (bepergian atau aktivitas mengunjungi suatu tempat), tapi bagaimana menyiapkan amenitas untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim.
“Wisata syariah itu bagaimana ketika berwisata terhindar dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran; jadi ketika melakukan perjalanan, menciptakan kemaslahatan,” jelasnya.
Kemudian, dia meluruskan ketika ada yang menyatakan, “(Di daerahnya) sudah ada masjid, mau dijadikan wisata halal karena tiap adzan siang tidak boleh ini itu ….”
Dia menekankan, bukan ketika di suatu desa membuat masjid, lantas desa itu menjadi destinasi halal, karena sebenarnya tidak ada destinasi halal.
“Saya ingatkan lagi kalau ada pemerintah daerah yang hadir, itu bukan (berarti) menjadikan destinasinya (adalah) destinasi Islam,” tuturnya menjelaskan kekeliruan pemahaman yang beredar.
Wisata syariah atau halal yang dimaksud, ada extended services (pelayanan tambahan) di tempat umum. Misal, ada air di kamar mandi hotel untuk membasuh.
Selain itu, bisa juga ada restoran makanan halal, sudah punya sertifikasi halal. “Pemerintah daerah memfasilitasi industri restoran untuk melakukan hal itu,” terangnya.
Wisata Religi Indonesia Sepi Peminat
Di tengah diskusi itu, moderator yang menjabat Deputy Chairman MarkPlus Inc, H Taufik, menyampaikan pertanyaan: “Bagaimana peluang, permintaan dan ekspektasi konsumen terhadap wisata Islami di Indonesia? Bagaimana sikap pelaku industri dan investor memandang potensi wisata Islami di Indonesia?”
Chairman Indonesian Islamic Travel Communication Forum H Priyadi Abadi MPar menjawabnya. “Jujur, peminat wisata Islami di Indonesia sedikit,” ungkapnya.
Menurutnya, ini menjadi PR bersama, karena potensi wisata religi di Indonesia luar biasa. “Ada banyak masjid yang potensi wisatanya bisa kita gali!” tuturnya.
Dia mencontohkan seperti di Paris—Muslim menjadi minoritas di sana—masjid bisa menjadi tempat ibadah sekaligus objek wisata. Non-Muslim datang untuk melihat interior dan eksterior masjidnya.
Sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, sambungnya, kita harusnya bisa belajar dari mereka. “Kenapa mereka bisa menjual masjid-masijdnya untuk tur domestik maupun lainnya? Ini kan menjadi PR kita bersama,” ujar Priyadi.
Priyadi menerangkan, sebetulnya di era pandemi ini ada potensi lain selain haji umrah yang ditutup dan perjalanan luar negeri yang dibatasi: domestik jadi salah satu alternatif.
Dia, selaku penyelenggara, juga tidak bisa berbuat banyak kalau peminatnya tidak ada. “Dijual ke siapa? Mereka lebih suka ke Turki sekarang, meskipun pulangnya harus dikarantina,” ungkapnya.
Priyadi mencontohkan, saat Hagia Sophia dibuka menjadi masjid, orang Indonesia berbondong-bondong ingin shalat di sana. “Seperti di Indonesia tidak ada masjid bagus saja,” komentarnya.
Minim Komitmen Dukung Produk Dalam Negeri?
“Saya bingung sama orang Indonesia, karena di media sosial kelihatannya keren kalau foto (wisata)nya di luar negeri. Saya kira mindset itu juga yang harus diperbaiki,” ujar Priyadi.
Priyadi menyadari, perlu komitmen bersama untuk mendukung produk dalam negeri sebagaimana anjuran presiden. “Tapi kita kenyataannya di lapangan, kita mengikuti demand,” ungkap dia.
Menanggapi kurangnya minat pada wisata religi dalam negeri, Khoirizi berpendapat, “Mudah-mudahan saya salah, mungkin wisata religi kita dalam negeri belum dikelola dengan baik.”
Selain itu, menurutnya, kalau ada penawaran wisata ke daerah-daerah itu justru benefitnya hanya untuk penyelenggara, bukan untuk peserta. Khoirizi menyarankan, bagaimana membuat suatu produk yang benefitnya sesungguhnya untuk peserta, tapi manfaatnya ada pada penyelenggara.
“Jangan di balik, benefitnya untuk penyelenggara, manfaatnya untuk peserta. Kalau itu yang dikedepankan, (ketika) kita tawarkan nggak akan masuk,” jelas Khoirizi.
Dia mencontohkan, ketika diajak ke pondok pesantren, benefitnya bisa mengaji, waktunya untuk menguatkan iman peserta wisata. Tapi kawan-kawan penyelenggara bisa mengambil manfaat di situ. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni