Jenderal Muhadjir, oleh Dhimam Abror Djuraid, kolumnis tinggal di Kota Surabaya.
PWMU.CO – Mungkin tidak banyak yang memperhatikan penampilam Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy dalam beberapa kunjungan kerja ke daerah. Selain tampilan yang bersahaja dengan baju putih atau batik lengan panjang, Muhadjir ternyata sering memakai topi dengan lambang empat bintang.
Di kalangan militer empat bintang adalah simbol untuk seorang jenderal. Tidak banyak menteri yang memakai topi dengan simbol jenderal. Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan baisanya memakai topi bersimbol bintang. Tapi, Prabowo formalnya adalah pensiunan Letnan Jenderal bintang tiga.
Latar belakang Muhadjir yang sipil tentu mengundang tanda tanya mengapa ia memakai empat bintang di topinya. Ketika wartawan menanyakan hal itu pada sebuah kesempatan, Muhadjir menjawabnya dengan gayanya yang khas. Ia tersenyum lebar dan mengatakan bahwa tidak ada maksud apa-apa dengan topi itu. Tidak ada filosofi di balik pemakaian topi itu. Ia memakainya karena staf sudah menyiapkan untuk dipakai.
Dengan bintang empat itu Muhadjir layak disebut sebagai ‘’Jenderal Muhadjir’’. Sebagai koordinator menteri, layak saja Muhadjir disejajarkan dengan jabatan seorang jenderal. Sama dengan menteri koordinator, Muhadjir mengomandoi banyak kementerian strategis di lingkungan sosial, pendidikan, agama, budaya, dan kesehatan.
Anak buah Muhadjir banyak yang jenderal aktif maupun pensiunan. Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi adalah anak buah Muhadjir ketika sang jenderal menjadi menteri agama. Sekarang Ketua BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Letjen Ganip Wasrsito adalah bawahan Muhadjir. Karena itu tidak ada yang salah kalau Muhadjir menyandang empat bintang di topinya, bukan di pundaknya.
Darurat Militer
Beberapa hari belakangan ini ‘’Jenderal Muhadjir’’ mengagetkan banyak orang dengan pernyataannya bahwa Indonesia sekarang sedang berada pada kondisi darurat militer. Banyak yang terkejut dengan pernyataan itu. Ada juga yang mengira Muhadjir salah ucap.
Dalam kunjungannya ke Universitas Gadjah Mada (UGM) (16/7) Muhadjir menyatakan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami darurat militer meski tidak terdeklarasikan. Kondisi PPKM Darurat (peraturan pembatasan kegiatan masyarakat) sekarang ini oleh Muhadjir dianggap sebagai kondisi darurat militer.
Dalam sistem tata negara demokratis, tugas keamanan diserahkan kepada polisi, dan tugas pertahanan diserahkan kepada tentara. Dalam kondisi normal, aturan standar keamanan yang diterapkan adalah tertib sipil, dan urusan keamanan diserahkan kepada polisi.
Kalau terjadi kondisi yang tidak normal karena munculnya berbagai gangguan negara bisa mendaklarasikan keadaan darurat sipil. Dalam kondisi seperti ini polisi masih tetap memegang kendali pengamanan dengan mendapatkan kewenangan yang lebih dari kondisi tertib normal. Dalam kondisi darurat polisi bisa menangkap seseorang yang dianggap menjadi sumber gangguan tanpa prosedur standar di saat normal.
Jika kondisi masih memburuk, negara bisa mengumumkan kondisi darutat militer. Dalam kondisi ini polisi dianggap tidak mencukupi lagi untuk mengendalikan keadaan, sehingga dibutuhkan bantuan militer. Dalam situasi seperti ini polisi dan militer terjun bersama-sama menyelenggarakan ketertiban sosial.
Kondisi yang lebih gawat lagi adalah darurat perang. Dalam situasi seperti ini kendali keamanan dan pertahanan sepenuhnya ada di tangan militer. Hukum yang berlaku bukan lagi hukum sipil tetapi hukum militer, karena situasi memang berada pada situasi perang.
Di dalam semua situasi darurat itu pemerintah mengumumkan deklarasi secara resmi dan mengambil tindakan-tindakan yang extra-ordinary di luar kondisi normal. Pemerintah bisa melakukan penangkapan tanpa barang bukti, pemerintah bisa mengeluarkan anggaran secara darurat, dan pemerintah bisa melakukan tindakan yang bisa dikategorikan above the law, di atas hukum.
Di Amerika Serikat, atas nama perang melawan terorisme pascaserangan WTC 2001, Presiden George W Bush mengundangkan Patriot Acts yang bisa menangkap siapa saja yang dicurigai sebagai teroris.
Dengan undang-undang itu Amerika bisa menyerang Iraq tanpa bukti cukup. Dengan undang-undang itu Bush menjadi diktator demokratis.
Perang Melawan Teror Virus
Indonesia tidak sedang dalam kondisi perang melawan teror. Tapi perang melawan virus sekarang ini tidak kalah beratnya dengan perang melawan teror. Indonesia harus mengambil langkah extra-ordinary untuk memenangkan perang melawan pandemi.
Melihat kondisi itu Muhadjir menyimpulkan bahwa Indonesia sekarang berada pada situasi darurat militer. Dalam PPKM Darurat ini polisi dianggap tidak cukup untuk mengatasi keadaan. Pemerintah juga sudah mengambil langkah-langkah darurat di luar prosedur resmi.
Atas nama kondisi darurat, pengeluaran anggaran penanganan pandemi ratusan triliun rupiah memakai standar darurat di luar prosedur normal. Atas nama situasi darurat, semua anggaran penanganan Covid-19 tidak bisa dijerat oleh pasal-pasal korupsi.
Muhadjir mengatakan arti darurat militer bukan berarti perang melawan musuh manusia, tetapi perang melawan pandemi yang tidak kelihatan. Ia juga mengatakan bahwa pertempuran ini tidak menggunakan kaidah hukum perang.
Dalam kaidah hukum perang, orang-orang sipil tidak disebut sebagai musuh karena mereka adalah kekuatan non-kombatan. Hanya tentara yang disebut sebagai musuh karena menjadi kekuatan kombatan. Jika ada korban dari pihak sipil biasanya hal itu terjadi karena ketidaksengajaan.
Dalam istilah militer korban sipil disebut sebagai ‘’collateral damage’’, atau kerusakan tidak langsung yang terjadi sebagai imbas serangan militer. Dalam kasus terjadinya collateral damage tidak ada tuntutan yang bisa diajukan terhadap pelakunya.
Tapi, dalam kondisi perang pandemi ini kaidahnya berbeda. Semua manusia dianggap kombatan atau petempur oleh virus Covid-19. Karena itu pula maka semua korban yang jatuh adalah korban perang. Kalau selama ini sudah ada lebih dari 60 ribu warga Indonesia yang meninggal akibat pandemi, maka mereka dikategorikan sebagai korban perang.
Warga sipil itu tidak disebut sebagai collateral damage karena dalam perang melawan pandemi ini justru warga sipil yang menjadi kombatan utama, dan menjadi sasaran serangan lawan dalam bentuk serangan virus.
Ini juga yang membedakan perang konvensional dengan perang melawan pandemi. Dalam perang konvensional musuh terlihat nyata, dan collateral damage biasanya tidak sebesar korban langsung. Tapi, dalam perang melawan pandemi collateral damage justru lebih besar dari korban utama. Resesi dunia yang terjadi dalam setahun terakhir ini bisa disebut sebagai collateral damage dalam perang pandemi.
Perang Asimetris dan Teori Konspirasi
Perang melawan pandemi bukan perang simetris dengan musuh yang terlihat dan bisa diperkirakan kekuatannya melalui intelijen militer. Perang melawan pandemi ini adalah perang asimetris karena lawan yang dihadapi tidak simetris.
Muhadjir menceritakan perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia.
Dulu, virus Corona diperkirakan tidak menyerang anak-anak dan ibu hamil. Namun, saat ini muncul varian baru Delta yang jaub lebih ganas dan tidak pandang bulu. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban meninggal adalah ibu hamil dan anak-anak. Inilah yang oleh Muhadjir disebut perang asimetris.
Dalam teori peperangan juga disebutkan istilah ‘’proxy war’’. Dalam perang proksi ini selain lawan tidak kelihatan, kekuatan lawan juga tidak bisa diperkirakan. Perang proksi adalah perang melawan ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa. Dalam kasus Indonesia, perang proksi adalah perang melawan rongrongan ideologi yang tidak sesuai dengan ideologi nasional Pancasila.
Selama pandemi berlangsung muncul berbagai teori konspirasi. Salah satu yang paling ramai adalah bahwa virus ini sengaja diciptakan untuk menghancurkan umat manusia. Virus sengaja diciptakan dan disebarkan ke seluruh dunia dengan tujuan menciptakan vaksin yang kemudian menjadi dagangan yang laris.
Teori ini berkembang luas dan mendapat dukungan diam-diam dari banyak orang. Akibatnya banyak orang yang resisten terhadap pelaksanaan vaksinasi. Banyak pula orang yang menentang pelaksanaan PPKM Darurat.
Namanya juga teori konspirasi, tidak bisa dibuktikan dan tidak perlu dibuktikan. Tetapi, kalau dibiarkan berkembang tentu akan memengaruhi psikologi masyarakat dan mengganggu upaya pemulihan.
Perang asimetris dan perang proksi semacam ini tidak bisa hanya dihadapi dengan kekuatan militer. Dibutuhkan kekuatan seluruh komponen bangsa untuk menghadapinya. Bangsa yang terkotak-kotak dan terbelah-belah akan sulit memenangkan perang proksi dan perang asimetris.
Karena perang melawan pandemi ini adalah perang asimetris, maka, kata Muhadjir, Presiden Joko Widodo menerjunkan TNI dan Polri untuk ikut menangani Covid-1,9 karena sudah tidak bisa dihadapi dengan penanganan biasa. Ini daruratnya sudah darurat militer.
Muhadjir tentu tidak asal bicara atau salah omong. Dia paham apa yang dikatakannya. Dia memahami betul anatomi TNI dan menguasai teori-teori militer. Dia paham mengenai epistemologi teori-teori kemiliteran.
Jangan lupa, Muhadjir adalah profesor dan guru besar di Universitas Muhammdiyah Malang. Ia pernah menjadi rektor universitas itu dan menjadikannya sebagai salah satu universitas swasta yang bergengsi di Indonesia.
Tidak banyak yang tahu juga bahwa Prof Muhadjir adalah salah seorang akademisi dengan keahlian khusus di bidang militer. Muhadjir adalah pengamat militer yang tekun. Ia memperoleh gelar doktor dengan melakukan penelitian terhadap militer. Disertasi Prof Muhadjir dibukukan oleh UMM Press berjudul ‘’Profesionalisme Militer: Profesionalisme TNI’’ (2008).
Prof Muhadjir tahu betul apa yang dibicarakan. Dan, sudah pasti Prof Muhadjir tidak sedang salah omong. Mungkin ia sedang ngudarasa atau curhat, karena portofolionya diambil orang lain.
Seharusnya, dalam kondisi darurat seperti sekarang, yang memegang komando PPKM Darurat adalah ‘’Jenderal Muhadjir’’ sebagai Menko PMK, bukan jenderal yang lain. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post