PWMU.CO – Khutbah tentang Menulis Opini, Lucu kan? Seminar Literasi Smamda Surabaya bertema “Membentuk Generasi Milenial Kreatif Menulis” itu menjelma jadi Pelatihan Literasi, Kamis (15/7/2021) pagi.
Karena menurut Fatoni pelatihan itu bukan sekadar teori, melainkan praktik. “Kalau nggak ada praktiknya berarti saya hanya ceramah atau khutbah. Khutbah tentang menulis opini, lucu kan?” ujarnya bergurau.
Maksudnya pelatihan atau workshop itu harus ada praktik dan karya yang dihasilkan. Kalau cuma ceramah, tak ubahnya sepeti khutbah—yang jamaahnya nggak boleh berbicara apalagi bertanya dan interupsi.
Praktik menulis itulah yang menurutnya cara melepaskan diri dari segala persoalan negatif, seperti tidak percaya diri dan malu tidak bisa menulis. “Itu tidak akan terbukti setelah kita tuangkan dengan memulai (nulis) huruf m-menulis!” tegasnya.
Tulisan Opini Ringan
Tulisan opini biasanya terdiri dari 500-600 kata atau sekitar 6.000-7.000 karakter (huruf). “Untuk awal-awal, minimal 400 (kata) bisa lah,” ujarnya.
Jika mengirim tulisan di media cetak, seperti majalah dan koran, maka perlu memperhatikan jumlah kata. Karena halamannya terbatas. Beda jika dimuat di media online yang lebih fleksibel terhadap batasan kata.
Gaya bahasa yang digunakan baku atau tergantung ke media mana kita akan mengirim tulisan. Menurutnya, penulisan tetap harus memperhatikan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), meskipun nantinya menggunakan gaya bahasa baru ala milenial. “Hal-hal seperti ejaan itu disesuaikan ya,” tuturnya.
Saat menulis, dia biasanya tidak banyak mengambil referensi. Hanya 1-2 referensi, agar tulisan tidak berupa parade kutipan. “Yang penting justru (gagasan) dari diri kita sendiri,” terangnya.
Jadi bukan mengumpulkan pendapat-pendapat orang. Tulisan yang bagus, tambahnya, kalimat dan alinea dibuat pendek. “Yang terpenting sudah jadi satu kalimat, bahkan kalau Pak Dahlan Iskan satu kata bisa jadi satu kalimat,” ungkapnya.
Kaya Bahasa, Berwarna
Fatoni juga mengimbau untuk menyertakan variasi kata atau diksi, sehingga tulisan lebih berwarna. Ini bisa dilakukan dengan merujuk pada kamus Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia (online) terbitan Kemendikbudristek, sehingga tulisan tidak membosankan.
“Menggunakan diksi yang jarang dipakai orang menunjukkan penulis bacaannya banyak, referensinya banyak tentang kosa-kata,” ungkapnya .
Alternatif pilihan kata yang banyak bisa dipilih, sekaligus menyesuaikan dengan rasa bahasa. Dia lantas mencontohkan penggunaan kata ‘mati’ daripada ‘gugur’ untuk melengkapi kalimat ‘Aku cinta kamu sampai ….”, karena menyesuaikan konteks.
Siswa Aktif dan Antusias saat Praktik
Di tengah praktik menulis, ada siswa yang bingung tentang temanya. “Tema berarti gagasan utama yang dibahas dengan keterampilan bahasa dan logika kita. Misal, kafe dan PPKM darurat,” terang Fatoni.
Selang beberapa menit, ada sebuah tulisan siswa yang masuk di email Masitha Gemilang, salah satu guru SMA Muhamadiyah 2 (Smamda) Surabaya. “Oh cepat sekali!” celetuk Fatoni kaget.
Ternyata, setelah dicek lebih lanjut, beberapa siswa itu mengirim ringkasan dari pemaparan materi Fatoni. “Bagus itu sebagai wartawan reportase, tapi tugasnya (menulis) opini,” komentar Fatoni.
Dia lalu menjelaskan kembali tentang cara menulis opini yang mengemukakan gagasan atas suatu masalah.
Jelang waktu penugasan usai, ada banyak opini berjudul menarik yang masuk, salah satunya “Sebuah Jalan Ikhtiar yang Diperdebatkan yang membahas entang sejarah panjang tetang vaksin.
Fatoni pun mengaku senang karena anak-anak sudah bisa menulis. “Kalimatnya mengalir dari kalimat demi kalimat dan bait demi bait,” ucapnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah