PWMU.CO – Lima virus pendidikan menurut Haedar Nashir telah mengikis identitas nasional para pelajar Indonesia dan dari jati diri bangsa.
Hal itu dia sampaikan saat memberikan keynote speech dalam pembukaan Webinar Nasional Forum Guru Muhammadiyah (FGM), Sabtu (24/7/2021)
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu menyinggung lima virus pendidikan Indonesia tersebut ditengarai sebagai unsur yang pelan-pelan mengikis identitas bangsa.
“Saya tidak akan bilang dosa. Kalau ada yang bilang dosa pendidikan Indonesia itu nanti terlalu sakral. Saya menyebutnya virus saja,” kata Haedar.
Pertama, virus agnostik atau agnostisisme. Virus ini ditengarai Haedar sebagai bentuk laten dari cara pandang dan kebijakan yang berusaha menjauhkan siswa dari nilai-nilai ketuhanan dan agama.
Dua nilai ini dinegasikan dengan dunia ilmu pengetahuan karena dipandang sebagai sumber masalah yang sebenarnya justru dimunculkan oleh sejumlah kecil oknum-oknum umat beragama saja.
“Ini semacam alam pikiran sekuler di mana ada praktek-praktek terorisme, orang sempit beragama, lalu disebutkan bahwa agama itu adalah sumber masalah,” papar Haedar Nashir.
Nah, di dunia pendidikan modern itu, imbuh Haedar, virus agnostik atau agnostitisme ini sudah mulai masuk dalam dunia pendidikan.
Kedua, virus ekstrimisme dan radikalisme apa saja
Haedar menengarai, kurikulum di dunia pendidikan belum banyak berubah dari sikap yang generalisir dan stigmatif.
Haedar menggunakan kata apa saja untuk menolak pandangan bahwa ekstremisme dan radikalisme hanya identik dengan agama, dan lebih khusus kepada Islam.
“Maka di sini apa saja, ada ekstremisme dan radikalisme, karena pandangan agama yang ekstrem, misalnya jangan takut virus, takut hanya kepada Tuhan, itu ekstrem. Padahal kata Nabi ikat dulu untamu (berusaha), baru pasrah,” kata Haedar.
Tapi juga ingat, papar Haedar, ada ekstremisme dan radikalisme atas nama kebangsaan. “Namanya chauvinisme nasionalisme yang itu memandang bahwa nasionalisme lah yang utama, agama dan lain-lain itu nomor dua. Itu ekstrem,” tandas Haedar Nashir.
“Selain itu juga ada ekstremisme radikalisme karena politik, separatisme atau ideologi misalnya komunisme, liberalisme, dan lain-lain,” jelas Haedar.
Ketiga, virus kekerasan di dunia pendidikan, baik oleh guru kepada murid ataupun murid kepada murid yang lain (perundungan, bullying).
Keempat, virus asusila atau pelecehan seksual. Meskipun kasus ini terbilang kecil, tapi tetap mencoreng dunia pendidikan dan integritas akhlak.
“Memang kecil jumlahnya, tapi jangan sampai hal ini menjadi kultur yang terkondisi bahwa kita selalu mentoleransi hal seperti ini karena kalau dunia guru sudah jebol di aspek low model seperti ini saja, jadi siapa lagi yang bisa digugu dan ditiru atau jadi teladan?” tanya Haedar.
Kelima, virus pembodohan. Yakni, mengajari murid dengan berbagai hal yang tidak selayaknya diajarkan sehingga membuat civitas akademika tidak tercerahkan.
“Maka ini perlu menjadi perhatian kita. Tentu, dibalik itu ada banyak kemajuan dalam dunia pendidikan kita. Ada banyak kisah-kisah sukses dalam dunia pendidikan kita dan banyak prestasi dari anak didik kita yang ini adalah modal kita untuk memajukan dunia pendidikan dalam rangka optimisme dan tetap semangat karena banyak guru juga yang menjadi teladan,” pungkasnya. (*)
Penulis Affan Safani Adham Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni