PWMU.CO – Inilah Hoax-Hoax Covid yang Diperangi dr Tirta di WhatsApp. Dokter Tirta M Hudhi memaparkannya pada diskusi Pandemictalks bertema Senjata Pembunuh: Hoax Covid-19 Merajalela, Ahad (25/7/21) malam.
Pada diskusi via Instragram Live itu, dokter Tirta menjabarkan hoax itu banyak. “Mulai vaksin itu microchip, air kelapa menyembuhkan Covid, vaksin membunuh pasien,” ujarnya.
Dokter Tirta menyatakan, mau tidak mau, dia harus meluruskan hoax lewat WhatsApp (WA). Tidak bisa lewat medsos (seperti Instragram atau Twitter). “Mereka percaya lewat grup WA, jadi aku counter (bantah) di grup WA,” ungkapnya.
Broadcast Vs Broadcast
Broadcast WhatsApp terus-menerus dia terima, bahkan setiap dua jam. Ciri khas broadcast hoax itu, kata dia, ada tanda seru (!!!!) empat kali. Bahkan sampai menggunakan template. Jadi hanya mengganti nama negaranya saja, sedangkan narasi isinya sama.
“Ada yang bilang Rusia melakukan otopsi, terus besoknya ada broadcast lagi Singapura melakukan otopsi,” terangnya.
Tapi dia juga menemukan ada netizen yang cerdas, “Dok, bukannya vitamin c setahu saya sehari cuma satu gram ya?”
Akhirnya, dia broadcast resep yang boleh dan tidak boleh beli sendiri. Broadcast itu dia kirim kepada 1,400 kontak yang dia simpan. “Sekarang broadcast versus broadcast,” ungkapnya.
Setelah dia membuka call center WhatsApp, sekarang netizen menghubunginya untuk mengklarifikasi kebenaran broadcast yang beredar, lalu dia counter. “Dok ada broadcast WA ini, bener apa nggak?” ujarnya menirukan netizen.
Berikut hoax-hoax lainnya yang dr Tirta bantah.
Lansia Meninggal Dicovidkan Vs Dehidrasi
Yang paling mengganggu, menurut dr Tirta, lansia percaya rumah sakit merupakan tempat penanganan Covid-19 yang paling buruk. “Banyak yang bilang, lansia kalau ke rumah sakit dicovidkan,” ujarnya.
Dia menyatakan, lansia berusia 54-78 tahun percaya rumah sakit tempat mencovidkan dan rentan meninggal di sana. Dampaknya, banyak lansia malah meninggal saat isoman karena takut ke rumah sakit.
Padahal, data yang dia punya—berdasarkan keluhan pasiennya di WhatsApp—menunjukkan lansia meninggal karena dehidrasi. Dia menerangkan, ternyata ketika kritis, lansia itu sudah masuk hari ke-8, di mana saat itu sudah dehidrasi.
Padahal, semakin cepat mengaku dan swab, semakin cepat mendapat penanganan; maka semakin cepat sembuh. “Kalau dia ngaku di hari 1, hari 7 kelar,” ungkapnya.
Delapan puluh persen pasien yang tertangani dari awal, lanjutnya, itu sembuh di hari keenam. “Kalau (baru tertangani) hari ke 8-10, itu lansia masih Covid, rata-rata mereka berakhir di ICU,” kata dia.
Dokter Tirta menegaskan, yang meninggal di rumah sakit tidak semuanya Covid-19. “Ada ibu dan anak yang melahirkan. Gagal jantung ada. Kecelakaan pun ada. Atau karena kanker,” ungkapnya.
Mati karena Obat Covid Vs Telat Penanganan
Dokter Tirta pernah ditembak pernyataan, “Apa-apa Covid itu yang mati!”
Dia menjawab, ada bukti empat pasien yang meninggal karena terlambat mendapat penanganan, bukan karena pemberian obat.
Sebagai bantahan penguat, maka dia kolaborasikan dengan hasil penelitian-penelitian di rumah sakit, seperti RSCM. “Ternyata 60 persen komorbidnya itu diabetes melitus (DM) dan obesitas yang ada di RSCM,” ungkapnya.
Di kasus lain, ada sebuah pasien pria lansia dari Blora yang konsultasi. “Tensinya 240/140. Dia positif Covid-19 tapi tidak mau dibawa ke rumah sakit,” paparnya.
Akhirnya, setelah berbicara dengannya melalui WhatsApp, bapak itu baru luluh, mau dibawa ke rumah sakit. Tapi sekarang masih di ICU.
Tidak Semua Pasien Covid, kok Nggak Dipost?
Dokter Tirta punya bukti tidak semua pasien yang telemedicine ke dia terkena Covid-19. “Tidak semua Covid. Jadi ada yang gagal ginjal dan ada buktinya,” ungkapnya.
Tapi memang kasus lainnya itu tidak diberitakan di media. “Kita ngepost meninggal karena Covid aja dibilang menakuti. Apalagi kalau kita ngepost meninggal karena jantung setiap hari?” jawabnya.
Dia memaparkan, 1.600 orang tiap hari meninggal karena serangan jantung. Sebelum ada Covid, yang nomor dua adalah kanker, yaitu 550 orang meninggal per harinya. Nomor tiga, ada TBC, sebanyak 250 orang per hari. Nomor empat karena kecelakaan: 98 orang/hari.
“Covid sekarang nomor dua, itu alasan kenapa PPKM!” tegasnya.
Bayi Covid Kasih Kopi Instan, Lansia Kasih Ventolin
Hoax paling ngawur menurut dr Tirta, bayi yang terkena Covid dibau-baui kopi instan. Benar terjadi, bayi dua tahun yang positif Covid-19 diarahkan membaui kopi instan.
Yang ngawur lagi, kata dia, ada hoax lansia kalau terkena Covid dikasih Ventolin, sehingga Ventolin jadi rebutan. Nyatanya, Ventolin itu obat khusus untuk penyakit asma, bukan Covid.
Campur Kebijakan PPKM, Bisnis, dan Penanganan Covid
Di tengah diskusi itu, dr Tirta menyatakan tantangannya kepada orang-orang yang masih tidak percaya Covid-19. “Buat para netizen, Lu nggak percaya silakan, tapi gua tantang, Lu bantuin gua ngadminin, Lu yang menenangkan pasien, jangan gua, ayo!”
“Ada gejala berat, ini ada liam di ICU, Lu tenangin mereka, bisa nggak? Kalau lu nggak bisa bertindak apapun, jangan mencampuradukkan penanganan Covid dengan (kebijakan) pemerintah, beda!” sambungnya.
Sebelumnya, dokter Tirta bercerita pernah meluruskan pertanyaan yang muncul terkait kebijakan PPKM dan dugaan bisnis di balik Covid-19. “Kalau Kamu nggak suka sama PPKM silakan aja, itu hakmu, tapi jangan menganggap semua itu dibisniskan!” sambung dia.
Dia pun menekankan telemedicine itu gratis, sehingga hoax itu sukses dia selesaikan.
Nakes Pro Pemerintah?
Dia juga menyatakan nakes ikut mengkritik pemerintah, selain memuji kinerja pemerintah yang bagus. “Kita pun mengkritik pemerintah. Nakes pro pemerintah? Nggak, nakes justru mengkritisi,” ujarnya.
Kenapa mengkritik? Karena menurutnya dari awal pemerintah tidak tegas. “Kita pengin, kalau nggak tegas ya nggak tegas sekalian, kalau tegas ya tegas sekalian!” kritiknya.
“Kita dituduh, yang nggak suka PPKM itu nyalahin nakes. Seolah nakes yang bersalah di atas semua. Padahal, nakes sudah ribet mengurus pasien,” sambung dr Tirta.
Nakes Katanya Nyusahin Rakyat Kecil, Terima Insentif
Dokter Tirta meluruskan, urusan PPKM, yang menanggung kebutuhan masyarakat itu pemerintah: Dinsos dan Kemensos. Bukan urusan tenaga kesehatan dan Kemenkes. “Jadi kalian tau tempat kritiknya!” tuturnya.
Dia juga menyatakan nakes boleh dikritik, asal yang berkaitan dengan ranahnya di medis. Contoh, “Kok dokter A ngeresepi antibiotik?”
Menanggapi curhatan nakes tidak tahu sengsaranya rakyat, dr Tirta mengungkap, semua tenaga kesehatan itu rata-rata insentifnya belum cair. Selain itu, tingkat kematian nakes di Indonesia juga tinggi. “Gajinya dipending, nggak bisa pulang. Jadi kita sama-sama susah,” kata dia.
Nakes dapat gaji? Dia menekankan, relawan tidak digaji. “Semua relawan di sini nggak digaji bos! Kalau saya terima gaji terus-terusan, mana mungkin saya kritik pemerintah?” ucapnya.
Telemedicine Langsung WhatsApp Vs Aplikasi
Telemedicine paling efektif, menurutnya, ketika dokter langsung face to face sama pasien dengan jembatan WhatsApp atau Telegram.
Untuk mengetahui siapa saja dokter yang membuka jasa pelayanan gratis, dr Tirta menyarankan bisa mengakses website tanyanakes.com. “Buat kawan-kawan yang mau membuka telemedicine langsung (lewat) WA, saya sangat respect,” kata dr Tirta.
Menurutnya, telemedicine via aplikasi juga bagus. Tapi, sayangnya masih mengarahkan untuk mengambil paket tertentu yang salah. Misal mengalami gejala ringan, langsung dapat antibiotik atau antivirus.
Padahal, antivirus itu harusnya untuk pasien dengan gejala sedang-berat. Jika salah sasaran—diberikan ke pasien dengan gejala ringan juga—maka menyebabkan obat-obatan langka di apotek.
“Aplikasi telemedicine kita aja gak bener. Kemenkes dan para ahli bilang antibiotik itu nggak disarankan, (tapi) aplikasi telemedicine kita menyarankan antibiotik untuk gejala ringan,” ungkapnya.
CT Value Faktor Kesembuhan?
Dokter Tirta menegaskan, CT value bukan faktor kesembuhan. Dia paling sering mendapat pertanyaan CT value ini di WhatsApp. Banyak nakes dan karyawan kantor yang masih memganggap CT value untuk menentukan kesembuhan.
“Dalam sehari, 426 chat, cuma tanya mengenai saya sudah 2 minggu isoman, gak ada gejala sama sekali, uda bebas obat, tapi CT value saya 31, apakah saya menularkan?”
Jadi, CT value bukan patokan. Yang jadi patokan adanya gejala atau tidak. “Kalau sampai 14 hari masih ada demam dan batuk ya perpanjangan isoman. Patokannya, pokoknya 10 hari isoman dan ditambah 3 hari terakhir bebas gejala demam dan batuk!” terangnya.
Untuk anosmia sendiri, imbuhnya, masih bisa berlangsung sampai berminggu-minggu. Meski demikian, dia melarang untuk membeli antibiotik dan antivirus sendiri jika gejalanya ringan.
“Itu obat hanya untuk di rumah sakit. Antibiotik itu untuk infeksi sekunder, kalau misal antivirus hanya untuk menekan aktivitas virus di gejala berat!” jelasnya.
Chemical-trail
Selain itu, ada juga hoax chem trail dari pesawat. “Ada yang bilang chemical trail, saya kasih linknya, jebret!”
Link bantahan itu langsung disampaikan admin TNI AU di Twitter. “Nggak main-main yang klarifikasi, TNI AU sendiri, bahwa chem-trail itu adalah asap cat karena perbedaan udara dan suhu,” ujarnya.
Dokter Adam Prabata yang juga hadir pun menyarankan, agar lebih hati-hati menyebarkan informasi. “Di grup WA, sering-sering tahan jempolnya, apalagi kalau ada ‘Sebarkan!’, tanda serunya ada empat Pastikan baca dulu, baru share! Lebih hati-hati, jaga jempolnya,” tuturnya. (*)
Inilah Hoax-Hoax Covid yang Diperangi dr Tirta di WhatsApp: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni