PWMU.CO – Ngeri, Hoax Jadi Doktrin! Tiga Dokter kiritk Pemerintah.Tiga dokter—dr Adam Prabata, dr Tirta M Hudhi, dan dr RA Adaninggar Sp PD—menyampaikannya pada Pandemictalks bertema Senjata Pembunuh: Hoax Covid-19 Merajalela, Ahad (25/7/21) malam.
Dokter Tirta berpendapat, ketika nakes (tenaga kesehatan) sendiri yang bergerak melawan hoax, berarti ada yang salah dari sebuah kebijakan. Maka dia berharap kepada Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo) untuk ikut mengklarifikasi untuk mencerdaskan masyarakat.
“Banyak data base bocor, yang diblok akun nggak jelas terus. Sementara akun hoax boleh, akun provokator bertebaran juga. Itu tugas kominfo!” tegasnya.
Dia menekankan, yang bergerak melawan hoax ini Keminfo, bukan polisi. Karena polisi baru bisa menegakkan kasus hoax kalau ada laporan.
Masyarakat Takut ke Rumah Sakit, Tugas Kemenkominfo
Kata dr Tirta, masalah krusial kini terjadi di Indonesia: masyarakat takut ke rumah sakit. “Hoax paling viral, paling fatal, paling mengganggu sampai detik ini adalah tentang menyebarkan info kalau masuk rumah sakit itu mati!” terangnya.
Menurut dia, ini kewajiban Kemenkominfo untuk meluruskan hoax. “Ini tugasnya Kemenkominfo, bukan tugas nakes, bukan tugas polisi,” tegasnya.
Kalau Kemenkominfo bisa menyebarkan informasi, lanjutnya, apalagi punya data base maka bisa menyebarkan pesan penentang hoax lewat sms. “Bisa menyebarkan sms: hoax hari ini … dibantah sama mereka, beres!” tuturnya.
Tapi kalau Kemenkominfo edukasinya cuma lewat medsos, menurut dr Tirta percuma.
Banyak Dana, Lebih Banyak Medan Perang
Menurut dr Adam, pemerintah sebagai regulator yang memiliki sumber dana paling banyak, seharusnya bisa lebih menjalankan tugasnya secara optimal. “Regulator, saya tahu Kalian yang sumber dananya paling banyak. Mereka punya APBN-APBD, saya punya apa?” ujarnya.
Dia menyarankan agar mempertajam sasarannya. “Kalau lihat gini, yang usaha ke grup WA dr Tirta. Halo, pemerintahnya mana?” tanya dia.
Dengan adanya dana, menurut dia, harusnya bisa mencakup medan perang lebih banyak lagi. “Jangan kalah sama dr Tirta!” tuturnya.
Dokter Ning sepakat. Menurutnya yang bisa menyelenggarakan diskusi seperti ini harusnya yang punya resources (sumber daya) lebih banyak.
Dia memohon agar pemerintah melakukan introspeksi, perbaikan, dan evaluasi. “Please pemerintah, jangan gini-gini aja! Kita sudah 1,5 tahun lebih, kondisinya masih begini,” sambungnya.
Pemerintah Belum Serius Tangani Hoax
Firdza, sang moderator, menanyakan kesalahan langkah nyata pemerintah melawan hoax. Karena pemerintah juga sebenarnya sudah aktif di banyak media sosial.
Menanggapi ini, dr Ning menyetujui banyak platform media sosial yang pemerintah punya. Hanya saja, mengapa masyarakat tidak membukanya. Ning menduga ada kesalahan dalam cara berkomunikasi dan kurang sosialisasinya.
Selain itu, mungkin karena penyebaran informasinya tidak semudah jika lewat WhatsApp. Keterbatasan akses ini menurutnya banyak dialami generasi yang lebih tua dan agak gaptek.
Pemerintah juga belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hoax. “Kalau saya lihat, sorry ya, orang-orang di pemerintahan tidak ada keseriusan satu tahun ini untuk menangani hoax,” komentarnya.
Dia menegaskan, satu tahun lebih, sudah cukup banyak bukti pemerintah kurang serius tangani hoax. “Tiap hari kita di dunia hoax ini saya rasa tidak ada tindakan real,” ujarnya.
Dia menyimpulkan dari fenomena dokter ‘L’ yang jelas-jelas menyebarkan hoax tapi tidak ada tindakan khusus dari pemerintah.
Bahkan, dari organisasi kedokteran pun menurutnya kurang bergerak cepat. “Dari awal seharusnya mereka sudah ada tindakan, tapi ternyata mereka lambat sekali muncul di TV,” komentarnya.
Kalau pemerintah merasa penyebaran hoax itu hal kecil, menurutnya Indonesia akan menghadapi bom waktu. “Semakin sulit kita menangani pandemi, jadi semakin nggak kompak, kita semakin lama mengatasi ini,” jelasnya.
Ngeri, Hoax Jadi Doktrin
Yang mengerikan menurut dr Ning yaitu saat hoax menjadi doktrin. “Orang jadi terpengaruh sampai (mewujud) ke perilaku. Itu kan bahaya,” ujarnya.
Dia mengambil contoh di Amerika. Ada yang menyiram tenaga medis dengan air keras. Padahal tenaga medis itu hanya lewat, tidak melakukan apa-apa. Begitulah menurutnya jika sudah terdoktrin tenaga medis itu jahat dan termasuk orang yang mengambil keuntungan.
Memang menurutnya tidak semua orang mengimplementasikan doktrin itu menjadi perilaku. Tapi ini mungkin terjadi pada orang yang secara mental mudah terpengaruh dan berani untuk melakukannya.
Kalau contoh di Indonesia, ada informasi tenaga medis ditusuk gunting. “Entah itu sengaja atau tidak, hal-hal seperti itu kan awalnya dari doktrin,” ujar dr Ning.
Takut ke Puskesmas
Dokter Tirta mengungkap, fungsi puskesmas tidak begitu bagus, baik dalam penanganan maupun edukasi. “Kalau ada orang ke puskesmas, di beberapa daerah, kalau positif Covid itu nggak boleh datang. Yang datang ngambil obat itu temannya,” terangnya.
Dia memaparkan, setiap puskesmas memiliki seorang nakes yang follow up pasien, tapi menurutnya masih slow response.
Selain itu, kalau ada yang mau tes PCR, puskesmas mengarahkan ke rumah sakit. “Di puskesmas, PCR itu dilempar ke RS. Obat-obatnya juga habis,” jelasnya.
Yang terjadi, sambung Tirta, orang takut ke puskesmas dan langsung short cut ke rumah sakit. Ini yang menyebabkan penumpukan. Akhirnya banyak orang tidak tergolong. “Pulang-isoman-nggak diawasi-meninggal. Gitu terus,” urainya.
Takut ke puskesmas ini kata dia tidak sekali dua kali. Ini terungkap ketika menyuruh para pasien telemedicine-nya ke puskesmas. “Dalam 3 hari, beda pendapatnya banyak,” tuturnya.
Kemenkes, Perbaiki Sistem!
Dokter Tirta menyarankan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memperbaiki sistem kesehatan. “Ternyata kalau mau sehat ya harus perbaiki sistemnya dulu, kalau nggak ya kayak gini terus!”
Kalau mau merapikan sistem penanganan Covid-19, lanjutnya, harus berjenjang. “Puskesmasnya dirapikan dulu. Stok obat paling banyak di puskesmas. Perbanyak obat yang bisa didapatkan pasien dengan gampang,” sarannya.
Selain itu, dia berharap nakes di puskesmas dilindungi dengan memperbanyak APD di sana. “Agar tidak takut menerima pasien Covid-19. Sebab, APD mereka juga terbatas,” ujarnya.
Dia lantas menyimpulkan, “Yang terjadi bukan hoax, yang terjadi memang sistem yang harus diperbaiki!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni