PWMU.CO– Sukarno menjadi aktivis Muhammadiyah yang intens saat pengasingan di Bengkulu tahun 1938. Di sini dia menjadi ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah dan ikut mengajar.
Kisah tentang presiden pertama RI Sukarno ini diungkapkan Hardiansyah, mubaligh Muhammadiyah di Bengkulu dalam acara bedah buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu yang diadakan secara virtual, Senin (19/7/2021).
Hardiansyah menerangkan, perkenalan Bung Karno dengan Muhammadiyah sebenarnya sudah terjadi di Surabaya sekitar tahun 1920. Kala itu Sukarno berumur 15 tahun bersekolah di AMS Surabaya dan indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Peneleh VI.
KH Ahmad Dahlan beberapa kali datang ke Surabaya mengisi pengajian atas undangan Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam. Salah satu pengajian itu ada di Langgar Plampitan depan rumah Roeslan Abdulgani.
Dalam pengakuan Bung Karno, dia menjadi santri ngintil Kiai Dahlan setiap pengajian di Surabaya. Sejak itu pemahaman Islamnya menjadi terang benderang. Bahwa Islam itu sangat mudah diterapkan dalam kehidupan dan tidak kolot.
”Tahun 1930-an Sukarno muncul sebagai pemimpin politik mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kegiatan politiknya ini dinilai berbahaya bagi pemerintah kolonial sehingga dia menjalani pengasingan. Awalnya dibuang ke Ende pada 1933. Pada 1938 dipindahkan ke Bengkulu,” tuturnya.
Menurut Hardiansyah, kepindahannya ke Bengkulu menjadi babak baru kehidupan Sukarno. Dia diminta oleh tokoh Muhammadiyah setempat, Hasan Din, untuk menjadi guru di sekolah Muhammadiyah.
Sebagai aktivis pergerakan, tawaran ini diterima Sukarno. Pengalaman selama kuliah di Technische Hooge School, dia juga pernah menjadi guru di Ksatrian Institut milik Dr Setiabudi Danutirto alias Dr Douwes Dekker di Bandung.
”Sejak itu Sukarno aktif di Muhammadiyah Bengkulu. Dia kemudian dipercaya menjadi ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah atau sekarang bernama Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen).
Selama di Bengkulu, sambung Hardiansyah, Bung Karno juga mengajara di Madrasah Kebun Ross. Mengajukan usulan diadakan konferensi Daeratul Kubro dan mendirikan Pekope (Penolong Korban Perang) bersama pimpinan Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien dan dr. Djamil.
Dia menerangkan, aktivitasnya dengan Muhammadiyah di Bengkulu ini yang selanjutnya membuat Bung Karno jatuh hati kepada putri Hasan Din, Fatmawati. Keduanya menikah tahun 1943 melalui nikah wali.
Hardiansyah menambahkan, di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, Bung Karno dibebaskan oleh pemerintah Dai Nippon lalu dibawa ke Jakarta. Sepeninggal Bung Karno, kegiatan Muhammadiyah di Bengkulu masih berjalan.
Kata Hardiansyah, aktivitas Muhammadiyah Bengkulu tidak dibubarkan oleh Jepang berkat lobi ketuanya, Oey Tjeng Hien. Dia memberitahukan kepada tentara Jepang bahwa umat Islam Bengkulu bakal marah apabila Muhammadiyah dibubarkan.
Pemerintah militer Jepang bisa menerima alasan itu. Namun Oey diminta mengumumkan kepada masyarakat agar menanam tanaman jarak. Tanaman ini menghasilkan minyak yang dibutuhkan tentara Jepang untuk melumasi mesin-mesin perang balatentara Dai Nippon. (*)
Penulis M. Rikaz Prabowo Editor Sugeng Purwanto