Ponthuk Bawean, tapak tilas orang Bawean di Singapura, sebuah catatan Burhanuddin Asnawi, budayawan-penulis asal Tambak Bawean, Gresik.
PWMU.CO – Burhanuddin Asnawi pada 19 hingga 24 Oktober 2018 diundang ke Singapura oleh Persatuan Bawean Singapura (PBS) dalam rangka launching buku Pondhuk Bawean di Singapura. Di buku itu diterbitkan oleh PBS ini Burhanuddin Asnawi merupakan salah satu penasihat, selain penulis.
Dalam kesempatan lima hari di Singapura itu, Bobo, panggilan akrab Burhanuddin Asnawi, alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun 2003 ini, melakukan tapak tilas ke beberapa tempat yang dulu pernah menjadi bangunan bernama Pondhuk Bawean (tempat penampungan migran awal dari Bawean di Singapura).
Berikut ini catatan yang disampaikan Burhanuddin Asnawi kepada PWMU.CO. Catatan yang diberinya judul “Tadek Se Cena’a, Belende Kabbhi”.
Buku Ponthuk Bawean di Singapura telah pula terbit ketika Puan Sundusia Rosdi (penyusun buku) dan Hadi Osni (warga Singapura keturunan Bawean) membawa saya ke kawasan China Town (Kampung Cina)–saat ini diabadikan sebagai kawasan perumahan bersejarah yang menjadi pemeliharaan Negara di Singapura.
Saya meluangkan banyak waktu untuk berjalan kaki, mengambil foto, atau sekadar menghirup segarnya udara pagi ‘Kota Singa’, mengenang kejayaan para sesepuh Bawean yang tinggal di bilik-bilik ponthuk–rumah kedai yang mereka sewa untuk tempat tinggal bagi penghijrah awal yang datang dari Bawean.
Hadi Osni, sang peraih Berkeley Award 2017 dengan esainya bertajuk “The Baweanese Ponthuk : Ponthuk Tampilung” terlihat mulai berkeringat ketika kami mulai melintasi Everton Road.
Kawasan China Town, menjadi penting untuk mengenang harmoni kehidupan orang-orang Bawean di tengah masyarakat China di Singapura.
Lima Ponthuk Bawean
Terdapat lima ponthuk Bawean di kampung Cina: Ponthuk Gellem (di Club Street), Ponthuk Tambhilung ( di Everton Road), Ponthuk Paginde (di Everton Road), Ponthuk Sokaoneng(di Blair Road), dan Ponthuk Nanggher (di Everton Road)
Saya lalu teringat bidalan Bawean sebagaimana tajuk di atas: Tadek se Cena’a Belenda Kabbi.
Bidalan ini merupakan majasi jika dilanjutkan berbunyi:
Tadek se Cena’a Belende kabbi.
Tadek se aberemma’a jememnje kabbi
(Tiada yang seperti orang Cina, semua seperti orang Belanda. Tiada yang bertindak, begitulah semua adanya)
‘Belende’ pada bidalan itu bermakna : Orang Belanda. ‘Cena’ bermakna: orang Cina. Sebuah majasi untuk membaca karakter orang Bawean, Cina dan Belanda. Terkadang orang Cina itu dengan fasihnya berucap: “Tak mellea buje?”(Apakah hendak membeli garam)
Atau dalam percakapan yang lain,“Emas tak Larang” (Emas tidak mahal. Maksudnya menawarkan untuk membeli emas).
Ponthuk Terakhir
Tentu dengan Bahasa Bawean ketika mereka saling bertutur sapa di pasar, di kedai-kedai perhiasan, di sudut-sudut kota Singapura. Tapi, sejak 1990-an semua ponthuk Bawean di Singapura lebih dari 150 ponthuk yang pernah eksis – telah tiada lagi.
Penghuninya pun telah pula menyebar , tinggal di flat , atau di rumah sendiri. Dan satu ponthuk terakhir yaitu Ponthuk Gellem di Club Street, di China Town, dijadikan bangunan bersejarah Pemerintah Singapura sejak tahun 2000.
Empat ponthuk Bawean di kawasan China Town, baik orang Bawean atau pun orang Cina, mengenal kawasan ini dengan menyebut: kawasan Tampa Sokana
Tampa Sokana adalah akronim dari: Tam = Tambhilung, Pa = Paginde, Soka = Sokaoneng, Na = Nanggher.
Akronim ini, sekaligus adalah nama-nama kampung halaman, tanah kelahiran penghuni ponthuk di Pulau Bawean.
Uniknya, dalam bahasa Bawean Tampa Sokana adalah sebuah ungkapan yang mengandung makna: menerima apa adaya perasaan senang hati/dengan suka cita. Tampa= menerima atau membawa dengan kedua telapak tangan terbuka. Sokana (dari kata dasar: soka = suka dan akhiran na= nya)
Istilah tampa sokana, sekaligus ungkapan untuk menggambarkan keharmonisan kehidupan orang Bawean bersama orang Cina di kawasan China Town.
Mereka saling menerima dengan kedua tangan terbuka. Saling hormat- menghormati dengan perasaan suka-cita. Bidalan ini seakan menjadi sindiran yang diucapkan sambil bercanda. Tapi ia juga mengandung ‘autokritik’ bagi karakter etos kerja orang Bawean sendiri.
Oreng Pote
Ketika ada banyak orang Bawean sedang bekerja tidak sesuai dengan cara-cara kerja yang benar, atau ketika kita melihat keadaan yang kurang baik tapi didiamkan begitu saja, maka diucapkanya: “Tadek se Cena’a Belende Kabbhi”.
Secara tidak langsung di di alam bawah sadar orang Bawean, Cena menjadi gambaran etos kerja yang baik. Sementara Belende (gambaran bangsa Eropa: oreng pote/ bangsa kulit putih) hanya dikenalnya sebagai kaum penjajah yang akan menjadi mimpi buruk bagi orang Bawean.
Uniknya, di China Town atau juga di tempat-tempat lainnya di Singapura, ketika orang-orang Bawean mengadu nasib di tanah rantau, mereka mendapat ujian terberat untuk hidup berdampingan tidak hanya dengan mayoritas kaum Cina, tapi mereka telah pula harus bekerja di bawah kekuatan dan kekuasaan bangsa Eropa yang disebutnya: oreng pote.
Istilah sebutan: ‘Boyan’ yang ditujukan Bangsa Eropa kepada orang Bawean, seakan menjadi gambaran bagi orang Bawean yang tidak lebih hanya dikenalnya sebagai buruh atau pekerja kasar yang bekerja di kebun-kebun indah milik oreng pote . Di Istal, kandang-kandang kuda sebagai seis kereta-kereta kuda megah milik oreng pote. Atau driver jalanan angkut barang dan penumpang.
Tapi, karena karakter andhap asor, mental selalu merasa rendah hati dan tidak menyombongkan diri, mereka terima apa saja sebutan yang ditujukannya kepada orang Bawean–dengan tanpa perlu mengoreksi atau tidak menerimanya.
Tapi dari sini sebetulnya ada yang dilupakan, yakni upaya resitensi yang tidak banyak diketahui. China Town atau Kampung Cina dalam istilah Bawean disebut: Pacenan: tempat bermukimnya kaum Cina. Biasanya, pacenan berdekatan dengan kawasan pasar. Seperti yang ada di Sangkapura dan di Keppo, Pulau Bawean.
Kiai Bawean di Singapura
Lima ulama kharismatik asal Bawean telah mewarnai harmoni kehidupan religius di kawasan Cina Town, Singapura. Mereka adalah: Kiai Asyik Mukri, (di Ponthuk Gellem, Club Street); Kiai Mahfudz Dahlan ( di Ponthuk Tambhilung, Everton Road), Kiai Burhan Mansur (di Ponthuk Nanggher, Everton Road) dan Kiai Mohammad Amin (di Ponthuk Sokaoneng, Blair Road).
Bolehlah oreng Cena , begitu pun oreng Pote bangga dengan kejayaan dan kemajuan bangsanya. Tapi, Tikar emas bantal suasa manalah sama dengan berbantalkan lengan.
Karakter Bawean tetaplah bertahan di mana pun mereka berada. Adat, tradisi dan budaya Bawean akan ekabhental mate (dijadikan bantal hingga mati).
Kalaulah orang Bawean yang mereka panggil: Boyan, dikenalnya sebagai pekerja kasar atau tidak bisa menulis dan membaca. Tiadalah mengapa, karena tulisan dan bacaan yang dimaksud adalah aksara atau abjad Romawi (latin).
Tradisi dan pengetahuan orang Bawean tentang menulis dan membaca menggunakan huruf pegon –tulisan dengan Aksara Arab berbahasa Jawa (tulisan Jawi). Kita bisa menemukannya di Cina Town.
Kiai Asyik Mukri merupakan Presiden pertama Persatuan Bawean Singapura (PBS). Kelak, ia pulang ke kampung halaman dan tutup usia di Desa Gelem Bawean. Ia merintis madrasah ibtida’iyah (sekolah tingkat dasar) dengan sistem klasikal – inilah madrasah ibtida’iyah pertama Nahdhatul Ulama’ (NU) di Pulau Bawean.
Perintis Kongres NU di Bawean
Kiai Mohammad Amin, berasal dari Sokaoneng, menerbitkan karya tulisnya berbahasa Bawean tentang Pokok-pokok Keimanan dan Sholat (Singapura: 1353 H.) Ia pulang kampung dan wafat di Sokaoneng. Ia juga merintis kongres NU pertama di Bawean pada 1934.
Kiai Mahfudz Dahlan, lurah pertama Ponthuk Tambhilung (di Everton Road) menetap dan wafat di Singapura, merupakan ahli ilmu falak , yang sering menjadi Juri pada Musabaqah Tilawatil Qur’an Singapura. Ia menerbitkan karya tulisnya, sebuah kitab hadits yang diterjemahkan ke Bahasa Bawean, tentang kisah Isra’ Mi’raj, al-Haditzul waridah fi Qisshatil Isra’ wal Mi’raj (Singapura: 1938).
Kiai Burhan Mansur, berasal dari Tambhilung tapi tinggal di Ponthuk Nanggher. Ponthuk yang semula adalah kuil Cina di Everton Road. Ia menerbitkan 2 kitab klasik yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Bawean: Idhahus Shalawaat wa-Da’awat (Singapura,1356 H) dan Ar-Risalatus Shiyamiyyah wal-Ajwiyah (1359 H).
Karya kedua Kiai Burhan Mansur, melibatkan Kiai Abu Bakar Asyik, yang biasa disapa Kiai Akkong dan Kiai Ahmad Zuhri Mutammim. Kiai Abu Bakar Asyik, berasal dari Tellok Kalompang adalah paman dari Kiai Asyik Mukri.
Sedangkan Kiai Ahmad Zuhri, tidak lain merupakan ulama kharismatik Singapura yang selalu mengisi pengajian di ponthuk-ponthuk Bawean, Ia adalah pendiri Persatuan Guru Agama Singapura (Pergas).
Dari sini resistensi kehidupan religius orang Bawean menumbuhkan terjalinnya jejaring Ulama Bawean dan Ulama Melayu di Singapura. Lebih dari 10 manuskrip kitab klasik karya Ulama Bawean terbit di Singapura dengan Bahasa Melayu, Bahasa Jawa dan Bahasa Bawean.
Laut Jawa, 2 Agustus 2021
Burhanuddin Asnawi (*)
Penulis Kemas Saiful Rizal. Co-Editor Darul Setiawan. Co-Editor Mohammad Nurfatoni.