PWMU.CO – Tiga Kelompok Pembuka Borgol Demokrasi Indonesia. Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung Prof Dr Asep Warlan Yusuf SH MH menjawab keraguan Edy Mulyadi terkait borgol demokrasi bisa dibuka, Sabtu (7/8/21).
Dalam Peluncuran Buku Melepas Borgol Demokrasi karya M Rizal Fadillah itu, Prof Asep sebagai cendekiawan memberikan dua sikap. Pertama, dia sangat mengapresiasi dan menghormati buku itu.
“Luar biasa! Ini bagian dari substansi pemikiran terhadap perbaikan kehidupan bangsa dan negara. Saya salut dengan Pak Rizal,” ujarnya.
Kedua, dia sangat menyesal membaca buku ini. “Kenapa tidak banyak, kenapa tidak saya yang menulis itu? Kenapa Pak Rizal? Ada iri saya kepada buku Pak Rizal yang bagus ini,” katanya.
Wake Up Call Cendekiawan
Prof Asep menyatakan, buku Rizal sesungguhnya wake up call (membangunkan) para cendekiawan di kampus dan lembaga riset. Memang mereka harusnya berpikir untuk solusi kepentingan negara, tapi ternyata tidak banyak yang muncul. “Kekosongan di ruang publik diisi Pak Rizal,” ujarnya.
Dia merasa Rizal menyindir para cendekiawan, akademisi, dan ahli dengan mengatakan, “Baca, ayo baca keadaan kita ini sudah sangat serius! Kok diem-diem bae?”
Kira-kira, lanjutnya, ini tamparan bagi kalangan orang kampus yang seharusnya jadi agen perubahan. Dia juga merasa ini sebuah refleksi, pecut, dan penyengatan kepada dirinya. Sehingga dia harus melakukan sesuatu, seperti yang Rizal lakukan dengan tulisannya yang sangat produktif.
Penulis Dorong Perubahan Rezim
Kedua, menurutnya buku ini menunjukkan sang penulis memang punya kemampuan menuangkan pemikiran dalam tulisan yang pendek namun padat. Sistematis, tapi menjangkau substansi yang diharapkan. Ini yang susah, katanya.
Prof Asep menilai, Rizal ingin mendorong perubahan rezim—yang bersangkutan berkepanjangan—yang justru tidak publik harapkan. Jadi, menurut dia, Rizal mencoba dengan cara sistematis dan argumentasi rasional, konstruktif, dan solutif. Juga dengan menyajikan bukti fakta yang penting menjadi telaah bersama.
Dia menyatakan, Rizal Fadillah mampu menunjukkan masalah dan memberikan rekomendasi solusinya. Meskipun tidak bisa dibilang solusi yang langsung jadi dan perlu ditindaklanjuti oleh pengambil kebijakan.
“Pak Rizal menyajikan kepada bangsa (dan) pemerintah, ini ada fakta salah yang harus kita selesaikan, bukan sekadar memegang dan memperlambat kekuasaan,” ungkapnya.
Berani Ambil Risiko
Di mata Prof Asep, Rizal Fadillah orang yang berani mengambil risiko. Dia menjabarkan ada 2 risiko yang akan Rizal hadapi. Pertama, datang dari penguasa. Meskipun oleh penguasa ini bisa dianggap sebagai puntung tidak berguna yang bisa diinjak-injak, diabaikan, dan dibuang begitu saja.
Kedua, datang dari orang-orang yang irasional mendukung penguasa membagi buta. Orang-orang inilah yang dia sebut menjadi ancaman Rizal Fadillah. Bukan berarti dia ingin melihat sesuatu yang naif, tapi dia menegaskan menulis dan membongkarnya bukan tanpa risiko.
Padahal menurutnya tidak banyak para cendekiawan, pakar, ahli dari kampus yang berani mengambil risiko dalam tulisannya. “Banyak edit sana-sini, banyak kata yang tertutup karena takut menyatakan yang sebenarnya,” ujar ahli ketatanegaraan tersebut.
Insyaallah, lanjutnya, Rizal akan menjadi bagian pendorong lokomotif bagi para cendekiawan untuk bergerak bersama, membangunkan cendekiawan yang tidur lelap di kampus-kampus.
Siapa yang Dapat Membuka Borgol?
“Saya tampaknya agak tidak yakin pemerintah punya kunci borgol untuk membuka demokrasi ini,” ujar Prof Asep. Lalu menegaskan, dia tidak yakin pemerintah berani membuka borgolnya.
Maka, pakar hukum itu menilai, yang punya potensi kemampuan terukurlah yang bisa membuka borgol itu. Yaitu tiga golongan penekan. Pertama, TNI. “TNI punya potensi yang kuat untuk membuka borgol,” ungkapnya.
Kedua, para mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa itu nothing to lose, berjuang dalam kebenaran dan untuk orang banyak.
Ketiga, para tokoh ulama, tokoh agama, dan cendekiawan. “Bagaimanapun juga, negara masih punya hubungan yang sangat kuat antara dirinya dengan para ulama,” ucap pria kelahiran Bandung, 9 Juli 1960 itu.
Dengan sebuah pernyataan kecil saja, sambungnya, semua bisa bergerak. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni