PWMU.CO– Amanat Jihad yang dikeluarkan tanggal 28 Mei 1946 oleh Pengurus Besar Muhammadiyah merupakan dokumen sejarah yang menunjukkan peran Persyarikatan dalam perang kemerdekaan.
Amanat Jihad menjadi topik Diskusi Bedah Karya yang diadakan oleh Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Jumat (6/8/2021) malam.
Diskusi ini menghadirkan M. Yuanda Zara PhD yang menulis artikel berjudul Mengulas Dokumen 28 Mei 1946: ”Amanat Jihad” Muhammadiyah. Tulisan ini pernah dimuat suaramuhammadiyah.id.
Yuanda Zara menjelaskan, menulis topik ini ketika menemukan dokumen fatwa Amanat Jihad dalam surat kabar Bulan Sabit. Surat kabar ini meski terbit secara singkat adalah corong media kelompok muslim di masa revolusi.
Dia juga menemukan dokumen Amanat Jihad di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Juli 1946. Isinya, seruan-seruan kepada warga Muhammadiyah dan muslim pada umumnya untuk berperan dalam upaya pembelaan tanar air.
”Pentingnya pembahasan fatwa Amanat Jihad bukan saja soal isinya, tetapi juga konteks politik Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya,” kata Yuanda.
Kemerdekaan yang diproklamasikan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sambung dia, ternyata tidak diakui Belanda. Perundingan-perundingan tokoh Indonesia dan Belanda selalu gagal hingga kemudian pecah perang. Perang besar saat terjadi agresi militer Belanda ke Yogyakarta tahun 1946.
Situasi yang semakin meruncing memasuki Mei 1946 inilah yang melatarbelakangi Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Amanat Jihad. Fatwa ini dimuat beberapa surat kabar.
Isi Empat Pokok
Yuanda membaca isi Amanat Jihad dari Pengurus Besar Muhammadiyah terdiri empat pokok. Pertama, imbauan kepada seluruh warga untuk meyakini bahwa Indonesia sudah merdeka meskipun masih banyak tentara-tentara Jepang berseliweran. Informasi kemerdekaan Indonesia juga belum sampai ke pelosok.
Kedua, seruan wajib kepada warga Persyarikatan untuk membela negara dari Belanda yang ingin menjajah kembali. Muhammadiyah membawa elemen keagamaan, di samping narasi nasionalisme sekuler.
Ketiga, dorongan kepada perempuan untuk mengambil bagian dalam peperangan ini. Peran yang dimaksud berupa tugas perawatan, pengobatan, konsumsi, dan sejenisnya.
Keempat, doa dan harapan agar negara Indonesia menang. ”Mudah-mudahan segera menang dan bahagia … kekal merdeka dan berjasa … kembali aman dan sentausa.”
Selain Muhammadiyah, kata Yuanda, kelompok-kelompok Islam lainnya maupun jamaah ulama tertentu mengeluarkan fatwa serupa. Intinya seruan untuk bangkit mempertahankan kemerdekaan negara di tengah gempuran politik dan militer Belanda.
Menurut Yuanda, penulisan sejarah Muhammadiyah di masa revolusi ini belum banyak ditulis karena keterbatasan sumber. Karena itu, Yuanda mengingatkan lagi, ”Tugas kita memang mencari sumber primer. Bukan semata untuk merebut narasi sejarah, tetapi, lebih kepada menghadirkan pemahaman sejarah,” tandasnya.
Pembicara Prof Sjafri Sairin, guru besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi ini mengingatkan, sejarah tanpa sensitivitas antropologi adalah dongeng dan antropologi tanpa sejarah adalah buta.
Pembicara lainnya Prof Aminuddin Kasdi, Asep Purnama Bahtiar, dan diikuti peserta berbagai perwakilan dari berbagai daerah termasuk PWM Papua Barat. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto
Discussion about this post