PWMU.CO – Merdeka Belajar dalam Asesmen Literasi Numerasi. Sekretaris Pusat Studi Literasi Dr Endah Budi Rahayu MPd mengupasnya dalam Webinar Nasional 2021 bertema “Sukses Menyongsong AKM yang Efektif dan Produktif”, Rabu (11/8/21).
Endah menyatakan, sebetulnya AKM dimulai dari pembelajarannya. Kalau saat pembelajaran siswa tidak pernah mendapat bacaan, sedangkan di AKM ada soal bacaan terkait operasi bilangan, dia yakin siswanya tidak akan paham.
Banyak yang mau diubah di Merdeka Belajar. Mulai dari ekosistem, guru, pedagogi, program atau kurikulum, dan asesmennya. Satu sistem pendidikan inilah yang harus benar-benar dicermati.
“Selama ini Bapak-Ibu hanya fokus ke AKM saja, sebetulnya nggak!” tegasnya dalam webinar yang digelar Forum Silaturrahim Kepala Sekolah Muhammadiyah (Foskam) SD-MI Jatim itu.
Ekosistem
Endah memaparkan maksud merdeka belajar dalam kategori ekosistem. Kalau dulu siswa merasa sekolah seperti beban, harapannya di merdeka belajar siswa merasa ada pengalaman menyenangkan.
Dia mencontohkan, selama ini siswa menganggap di Matematika intinya hanya menghafalkan rumus dan berhitung. Padahal harapannya mereka belajar konsep Matematika dan memahami manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Zaman dulu, siswa duduk rapi sebelum pulang. Lalu ada mencongak tentang perkalian. Siapa yang bisa menjawab bisa pulang lebih dulu. Sekarang? Dia yakin para murid hafal perkalian. Lantas dia menyajikan ilustrasi berikut:
“Siswa Bapak-Ibu yang hafal tadi diajak ke suatu ruangan. Di dalamnya ada tatanan kursi dengan jumlah tiap baris sama. Lalu coba ditanya, ‘Berapa banyak kursi dalam ruangan ini?’,” ujar perempuan kelahiran Magetan, 25 April 1964 itu.
Dia menduga, siswa yang hafal perkalian itu menghitung satu per satu kursinya. Kemudian menyimpulkan, “Siswa kita hanya menguasai Matematika di atas meja, tapi belum sampai ke aplikasi konsep di kehidupan sehari-hari.”
Selain itu, yang termasuk ekosistem adalah bagaimana manajemen sekolah lebih kolaboratif dan kompeten/profesional. Tidak cenderung administratif seperti selama ini.
Guru dan Kurikulum
Endah menyatakan, sebagai pelaksana kurikulum—selama ini sebelum pandemi—guru mengikuti kurikulumnya. Tanpa memodifikasi apapun. Selain itu, guru hanya menggunakan sumber buku siswa elektronik (BSE).
Guru juga tidak ada upaya memodifikasi strategi belajarnya agar waktu lebih efektif. Selama ini, tambahnya, keluhannya selalu kekurangan waktu mengajar. Sebab, urutan penyampaian materinya juga persis seperti di buku.
Dengan adanya pandemi, lanjutnya, sekolah diberi keleluwasaan untuk memilih sendiri menggunakan kurikulum yang mana. Jadi boleh menggunakan kurikulum 2013, kondisi khusus, atau kurikulum mandiri.
Dia menekankan, yang menentukan adalah guru-gurunya. Tentu dengan mempertimbangkan kondisi fasilitas di sekolah. Artinya, guru ikut memiliki dan membuat kurikulum. Kurikulumnya pun diharapkan berbasis soft skill (kecakapan generik), daripada berbasis konten.
Selain itu, jika selama ini guru sebagai penyampai dan satu-satunya sumber pengetahuan, maka harapannya guru menjadi fasilitator ke beragam sumber. Pelatihan guru juga diharapkan lebih berbasis praktik daripada teori. Kinerja guru juga dievaluasi secara holistik, mengingat selama ini hanya melalui kriteria administratif.
Pedagogi
Dalam pembelajaran, kata dia, guru biasanya hanya melakukan ceramah dan tanya-jawab. Padahal, dengan kompetensi abad 21, siswa dituntut punya 4C: collaboration, communication, critical thinking, dan creativity.
Kalau dulu menggunakan pendekatan yang sama untuk semua siswa, harapannya bisa menggunakan pendekatan yang beragam. Proses belajar juga bisa berubah, dari yang awalnya berorientasi pada sistem, jadi berorientasi pada siswa.
Dengan merdeka belajar, pengajaran juga sebagai aktivitas tim yang kolaboratif, tidak individual.
Asesmen dan Kurikulum
Jika dulu berupa asesmen sumatif dan judgement, maka harapannya bisa menuju asesmen formatif dan memberdayakan. Selain itu, jika selama ini bertumpu pada pengetesan terstandar, maka harapannya bisa menggunakan asesmen yang berbasis portofolio.
Di tatanan baru asesmen dan kurikulum, literasi dan numerasi menjadi muatan utama asesmen dan kurikulum. Endah lantas bertanya retoris, “Kenapa hanya literasi dan numerasi?”
“Bukan berarti menganakemaskan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika, tapi karena keduanya merupakan kompetensi dasar untuk mempelajari materi yang lain,” ungkap Dosen Matematika FMIPA Unesa itu.
Dia mengambil contoh pelajaran agama yang juga perlu literasi dan numerasi. Meski memang tidak di semua materi bermuatan numerik, tapi tujuannya agar siswa bisa praktik. Misal, menghitung zakat, warisan, dan ukuran kafan. “Bagaimana kalau jenazah yang tinggi besar? Itukan harus disesuaikan, selama ini mungkin tidak berpikir ke sana,” ujarnya.
Selain itu, ada penguatan kegiatan penumbuhan budaya literasi secara eksplisit dalam perangkat kurikulum. Dia mencontohkan, ketika guru meminta siswa membaca teks di luar pelajaran selama 15 menit, maka guru juga harus melakukannya.
“Kalau meminta siswanya menjadi literat, maka awali dnegan Bapak-Ibu guru dulu yang literat!” ajaknya.
Ada pula penguatan Pancasila dan berpikir komputasi dalam literasi dan numerasi. Tak hanya itu, dalam tatanan baru ini, literasi dan numerasi menjadi muatan utama PJJ di masa darurat pandemi.
Dia menyimpulkan, “Harapannya, pengajaran inovatif dan efektif. Kemudian, iklim belajar menumbuhkan motivasi intrinsik dan regulasi diri.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni