PWMU.CO – Begini Bedah Komponen AKM. Sekretaris Pusat Studi Literasi Dr Endah Budi Rahayu MPd mengupasnya dalam Webinar Nasional 2021 bertema “Sukses Menyongsong AKM yang Efektif dan Produktif”, Rabu (11/8/21).
Dia meluruskan, yang bertanggung jawab di pembelajaran tidak hanya guru Bahasa Indonesia maupun Matematika, tapi bisa semua guru kelas. Penerapan pembelajarannya pun tidak hanya fokus pada Matematika dan Bahasa Indonesia, tapi juga di mata pelajaran lainnya.
“Bagaimana pembelajaran SBdP yang bisa meningkatkan kompetensi literasi membaca dan kompetensi numerasi bagi siswa bapak ibu?” tanya Dosen Matematika FMIPA Unesa itu sebelum mengupas materi lebih dalam.
Endah juga menjelaskan perbedaan AKM kelas dan sekolah. AKM sekolah adalah survei untuk SD-MI kelas V. Beda dengan AKM kelas, yang harapannya nanti setiap jenjang bisa menerapkan AKM kelas.
Kata dia, ada contohnya di laman pusmenjar. Ada 6 level, di mana level 1 untuk kelas I dan II. Level 2 untuk kelas III dan IV. Level 3 untuk kelas V dan VI. Dan seterusnya sampai Level 6 untuk kelas XI dan XII.
Komponen AKM
Dalam asesmen kompetensi minimum (AKM), baik literasi membaca maupun numerasi ada 3 hal yang dibahas. Yaitu konten, proses kognitif, dan konteks. Konten literasi membaca ada 2 macam teks, teks informasi (50 persen) dan sastra (50 persen).
Sedangkan proses kognitif literasi membaca levelnya ada 3. Yaitu retrieve and access atau menemukan informasi (50 persen), menginterpretasi dan mengintegrasikan informasi (40 persen), dan level paling atas yaitu merefleksi atau mengevaluasi informasi dalam teks (10 persen).
Semakin tinggi jenjangnya, semakin besar level penalaran (proses refleksi dan evaluasi). “Proporsi terbesar untuk jenjang SD ada di level 1, mayoritas di memahami informasi,” terang Anggota tim pengembang dan fasilitator pelatihan dan ToT Matematika Direktorat Pembinaan SMP Kemendikbud itu.
Konteksnya—baik numerasi maupun literasi—berbeda dengan Programme for International Student Assessment (PISA) yang ada 4 konteks, AKM hanya ada 3. Yaitu personal (60 persen), sosial budaya (30 persen), dan saintifik—yang paling sulit—(10 persen). “Semakin tinggi jenjangnya, semakin tinggi prosentase konteks saintifik, tapi semakin mengecil konteks personalnya,” jelasnya.
Kalau di Pisa, tambahnya, ada 1 konteks lagi yaitu karir. Sebab, Pisa berfungsi melihat kesiapan siswa usia 15 tahun menghadapi kehidupan di luar kelas.
Konten numerasi pada AKM sama dengan Pisa, ada 4. Yaitu konsep dan operasi bilangan (40 persen), pengukuran dan geometri (25 persen), data dan ketidakpastian (25 persen), dan aljabar (10 persen).
Proses kognitif numerasi ada 3, yaitu pemahaman (30 persen), aplikasi (50 persen), dan penalaran (20 persen). “Yang jarang dilakukan adalah penalaran. Padahal saat siswa ikut UN, sudah ada soal penalaran, biasa disebut HOTS,” ungkapnya.
Proporsi Soal
Endah menginformasikan, di pusmenjar bisa melihat proporsi bentuk soalnya. Pilihan ganda kompleks (jawaban benar lebih dari 1) paling besar proporsinya, 60 persen.
Sedangkan untuk pilihan ganda (hanya 1 jawaban benar) proporsinya 20 persen, menjodohkan 10 persen, dan isian singkat (angka, nama/benda yang sudah fixed) 5 persen.
Khusus menjodohkan, pilihan jawaban di sebelah kanan harus melebihi banyaknya pilihan soal yang di sebelah kiri. “Karena kalau pas sama, maka untuk yang terakhir siswa tidak perlu mikir lagi, kan sisanya 1 soalnya 1,” ungkapnya.
“Ada bocoran kalau SD 25 soal,” lanjut wanita kelahiran Magetan, 25 April 1964 itu.
Konten Literasi Membaca
Endah menerangkan, dalam literasi membaca, siswa diajak menikmati cerita dan melakukan perenungan tentang permasalahan kehidupan yang ada dalam teks sastra.
Jadi stimulus bacaan teks sastra bisa berupa cerita rakyat, legenda, fabel, mitos, fiksi ilmiah, satir, puisi, prosa, drama, novel, pantun, soneta, epos, cergam, fantasi, ironi, lirik lagu, catatan pengalaman, dan auto biografi.
Dalam literasi membaca teks informasi, lanjut Endah, siswa diajak menambah wawasan berdasarkan data faktual dan peristiwa yang benar-benar terjadi di kehidupan sehari-hari.
Sehingga stimulus bacaannya berupa iklan, pengumuman, berita, artikel, pidato, brosur, infografis, resep, ulasan buku/film, buku panduan, editorial, dan lain-lain.
Proses Kognitif Literasi Membaca, Taksonomi Barret VS AKM
Jika numerasi menggunakan taksonomi Bloom, Endah menyatakan literasi membaca menggunakan taksonomi Barret. Ada 5 level yang berurutan dari terendah yaitu, pemahaman literal, reorganisasi, pemahaman inferensial, evaluasi, dan apresiasi.
Pemahaman inferensial—level 3 di taksonomi Barret—meliputi memprediksi, kalau di AKM kata Endah menduduki level 2. Sedangkan evaluasi (level 4 di taksonomi Barret) jadi level 3 di AKM. “Evaluasi ada di level 4, ada menganalisis, mengevaluasi, mengkritisi, reasoning (menalar),” terangnya.
Pengujian kemampuan literasi dalam AKM ada 3 tingkat. Endah memaparkan, pada bagian mencari informasi (tingkat paling bawah), informasinya sudah tersurat. Tingkat selanjutnya, dalam tahap menginterpretasi, informasinya tersirat. Sedangkan pada tingkat yang paling tinggi, siswa diminta merefleksi dan mengevaluasi isi teks.
Konteks AKM
Dengan konteks personal, nantinya siswa diberi bacaan berisi latar belakang, aksi karakter, suasana, perasaan, atau ide yang bersifat personal. Endah menjelaskan, bersifat personal artinya berkaitan dengan kegiatan keseharian siswa, ada di sekitar siswa.
“Kalau SD (konteksnya) mengendarai motor itu nggak cocok, kalau mengendarai sepeda itu baru cocok!” terangnya.
Konteks personal, lanjut Endah, diharapkan membentuk karakter serta menggali kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa.
Kemudian, melalui konteks sosial budaya, siswa mendapat bacaan berisi informasi yang mencerminkan kondisi dan nilai sosial-budaya. Isinya bisa berupa transportasi publik, permainan tradisional, perekonomian, makanan khas, kebiasaan masyarakat, dan lainnya.
Misal, siswa diharapkan bisa membaca informasi jadwal pemberangkatan dan kedatangan kereta. “Jadi saat dia ke stasiun, bisa memaknai jadwal yang tertera pada stasiun kereta api,” ujar Endah.
Lain halnya dengan konteks saintifik. Siswa mendapat bacaan informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kecakapan ilmiah. Jadi isi bacaannya bisa berupa ilmu antariksa, medis, gizi, cuaca, gejala alam, biologi, teknologi, dan lainnya.
Dia mencontohkan, misal ada bacaan manfaat olahraga bagi kesehatan tubuh. Maka bisa masuk ke mata pelajaran PJOK ataupun IPA. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni