Memahami Hadits Nabi, Begini Prinsip-prinsipnya oleh Dr H Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Problem pemaknaan hadits sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemaknaan teks-teks keagamaan pada umumnya, yaitu sangat kompleks dan tidak sederhana.
Teks adalah bahasa yang memiliki banyak aspek di dalamnya yang berhadapan dengan konteks sosial budaya pada saat teks itu muncul.
Belum lagi persoalan pelapor dan penulis yang memiliki latar belakang budaya beragam, juga persoalan perjalanan waktu yang berabad-abad hingga sampai pada masa kini.
Distansi waktu, tempat, dan suasana kultural antara kekinian manusia dengan sabda kenabian sudah barang tentu menyebabkan keterasingan dan kesenjangan di satu sisi dan bahkan deviasi pemaknaan di sisi yang lain.
Persoalan keterasingan inilah yang menjadi perhatian sejumlah pemikir kritis untuk ikut berkontribusi dengan memberikan pandangan baru bagi teori pemaknaan hadits. Kontribusi ini di landasi kesadaran akan adanya determinasi yang turut menentukan sebuah proses pemahaman, baik determinasi yang berasal dari wilayah sosial, budaya, politik, bahkan dari wilayah psikologis.
Dengan analisis pengaruh-pengaruh determinasi-determinasi tersebut akan memunculkan pemahaman yang sifatnya plural, dalam arti pemahaman yang bersifat inklusif dan tolerans satu sama lain. Kontribusi pemikiran seputar pemaknaan hadits sebagaimana dijelaskan dapat dilihat dari konsep-konsep yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qaradawi dan Syuhudi Isma’il.
Pemaknaan Hadits Yusuf Al-Qaradawi
Dalam usahanya memahami makna hadits dan signifikansi kontekstualnya, Yusuf al-Qaradawi mengatakan bahwa untuk memahami sunnah dengan baik, yang jauh dari penyimpangan dan pentakwilan yang keliru, pemahamannya harus disesuaikan dengan petunjuk al-Qur’an, dalam bingkai petunjuk Ilahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat pasti.
Al-Qur’an adalah ruh eksistensi ajaran Islam dan pokok bangunannya, sementara sunnah adalah pejelasan rinci atasnya baik yang sifatnya teoristis maupun praktis. Oleh karena itu, tidak mungkin penjelasan bertentangan dengan sesuatu yang hendak dijelaskan, atau cabang bertentangan dengan pokoknya.
Selanjutnya al-Qaradawi menganjurkan ditempuhnya delapan prinsip pemaknaan hadits:
- Mengkonfirmasi hadits dengan al-Quran, mengingat sumber prinsip dari hadits adalah al-Quran, sehingga hadis yang kelihatannya berlawanan dengan al-Quran maknanya diselaraskan dengan keumuman ajaran al-Quran.
- Menghimpun hadiys yang topik bahasannya sama agar maknanya dapat ditangkap secara holistik tidak parsial dan untuk menghindari munculnya deviasi makna.
- Mengkompromikan dan metarjih hadits-hadits yang kelihatannya saling bertentangan.
- Memahami hadits berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuannya agar dapat ditemukan makna hadirs dan signifikansinya bagi kebutuhan kekinian hidup umat, sebagai solusi bagi problematika yang dihadapinya.
- Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dengan tujuan yang sifatnya tetap.
- Membedakan antara ungkapan hakiki dan majazi sesuai dengan prosedur lingusitik bahasa Arab.
- Membedakan antara hadits alam ghaib dengan hadits alam nyata.
- Memastikan makna dan konotasi kosa kata dalam hadits.
Pemahaman Hadits Syuhudi Ismail
Sedikit berbeda dengan al-Qaradawi, Syuhudi Ismail cenderung mengarahkan pemikirannya pada perbedaan makna tekstual dan kontekstual. Menurutnya hadits nabi ada yang pemahamannya menggunakan pendekatan tekstual, kontekstual, serta tekstual dan kontekstual sekaligus.
Pemahaman tekstual dilakukan jika sebuah hadits setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan, misalnya sabab al-wurud, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan teksnya. Demikian pula halnya pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan jika di balik teks ada petunjuk kuat yang mengharuskan dilakukan pemahaman kontekstual.
Pemahaman hadits secara tekstual atau kontekstual ditentukan oleh faktor-faktor yang disebut qarinah atau indikator penyerta yang dibawa oleh teks itu sendiri, yang penentuannya masuk dalam wilayah ijtihadi.
Hal-hal yang menjadi qarinah dalam pemahaman hadits adalah: (a) Bentuk matan yang meliputi jawami’ al-kalim (ungkapan singkat tapi padat makna), bahasa tamsil (perumpamaan), ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan analaogi; (b) Peran dan fungsi Nabi Muhammad SAW; (c) Latar belakang historis lahirnya sabda kenabian.
Pentingnya merumuskan metode pemaknaan hadirs didasarkan pada realitas hidup manusia yang plural yang disamping memiliki kesamaan juga memiliki perbedaan dan kekhususan, sebagaimana disebabkan oleh perbedaan ruang dan waktu.
Harus disadari bahwa dalam agama Islam ada ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh tempat dan waktu, di samping ada juga yang terikat oleh tempat dan waktu sehingga ada ajaran yang sifatnya universal, temporal, dan lokal.
Berdasarkan konsep pemahaman yang telah dipaparkannya, Syuhudi Ismail meyakini bahwa semua hadits bisa dicarikan solusi pemahamannya, dan mengkritik sementara orang yang tergesa-gesa dalam menolak eksistensi hadirs sahih.
Pertimbangannya adalah, pertama, dalam menilai isi teks hadits banyak kalangan bertumpu pada pemaknaan literal yang tentu saja cara ini bukan representasi sepenuhnya dari teks. Jika makna literal berbenturan dengan ayat-ayat al-Quran atau hadis sahih lainnya, maka dengan serta merta dinyatakan tidak otentik, padahal pemaknaan tekstual tidak sepenuhnya merepresentasikan kedalaman makna.
Kedua, penilaian ada atau tidaknya kontradiksi antarteks adalah subjektif dan relatif banyak bergantung pada kapasitas keilmuan, wawasan, dan latar belakang yang membentuk tradisi keilmuan seorang ulama. Hasil penilaian yang subjektif semestinya tidak dapat digunakan untuk menggugurkan otentisitas hadits yang dari sudut pandang kritik sanad terbukti meyakinkan.
Ketiga, pengujian rasionalitas kandungan makna hadis bisa menyeret kepada pemahaman yang tidak tepat karena tolok ukurnya bersifat nisbi, tidak rasional menurut masyarakat pada kurun tertentu, namun ada kemungkinan rasional menurut masyarakat pada kurun yang lainnya.
Keempat, kritik matan hadis memiliki kecenderungan kuat melawan norma-norma objektif ilmiah, karena ia didasarkan pada pandangan teologis tertentu yang sebelumnya telah membentuk kerangka berpikir seseorang. Dengan begitu ia akan menolak setiap hadits yang dirasa tidak sesuai dengan arus utama pemikiran zaman.
Jika menerima pun ia akan memaksa makna matan hadits sesuai dengan kerangka teologisnya. Dengan kata lain penelitian semacam itu lebih merupakan sikap apologis dari pada sebagai penelitian ilmiah sebagaimana terlihat pada hadits-hadits antropomorfistis.
Tujuh Prinsip Pemaknaan Hadits
Dari prinsip-prinsip pemahaman yang dikemukakan di atas bisa disederhanakan dalam tujuh prinsip:
- Prinsip konfirmatif, yaitu menkonfirmasi makna hadits dengan petunjuk al-Quran, mengingat sumber prinsip hadits adalah al-Quran, dan hadits adalah bayan bagi al-Quran.
- Prinsip tematis komprehensif, teks-teks hadits dipahami sebagai kesatuan yang integral, sehingga dalam pemaknaannya harus dipertimbangkan hadirs lain yang relevan guna pencarian makna yang komprehensif.
- Prinsip linguistik, mengingat hadits terlahir dalam wacana kultural dan bahasa Arab, maka prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab harus diperhatikan.
- Prinsip historik, yaitu memahami latar belakang sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatar belakangi munculnya hadis nabi, termasuk di dalamnya kapasitas dan fungsi Rasul Allah ketika menyampaikan sabdanya.
- Prinsip realistik, yakni selain memahami latar situasional masa lalu di mana suatu hadits muncul, juga memahami latar situasional kekinian masyarakat dengan melihat realitas kehidupan dan problem krisis yang di alami.
- Prinsip distingsi etis dan legis, bahwa hadits-hadits hukum tidak saja dipahami sebagai kumpulan aturan hokum. Lebih dari itu, ia mengandung nilai-nilai etis yang dalam.
- Prinsip distingsi instrumental dan intensional. Hadis nabi disamping memiliki dimensi instrumental (wasilah) yang sifatnya temporal dan partikular, juga memiliki dimensi intensional (ghayah) yang sifatnya permanen dan universal. Dalam hal ini niscaya untuk diketahui antara cara yang ditempuh dengan tujuan asasi yang hendak diwujudkan oleh Rasul Allah terkait dengan sabdanya.
Prinsip-prinsip yang telah ada masih perlu disempurnakan dengan mengintegrasikannya dalam suatu bangunan metodologi yang sistematis. Untuk itu, ia menawarkan tiga macam rumusan metodologi sistematis dengan pendekatan holistik-komprehensif, yang meliputi kritik historis, kritik eidetis, dan kritik praksis.
Pertama, kritik historis adalah penggunaan kaidah-kaidah kesahihan hadis yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis.
Kedua, kritik eidetik adalah mengkaji muatan makna melalui tiga langkah kajian: (1) Analisis isi yaitu pemahaman muatan makna hadits melalui kajian linguistik, kajian tematis komprehensif, dan konfirmasi makna yang diperoleh dari keumuman petunjuk al-Qur’an; (2) Analisis realitas historis, yaitu upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadis baik keadaan Jazirah Arab pada umumnya (makro), ataupun keadaan-keadaan yang memicu lahirnya sabda (mikro); (3) Analisis generalisasi, yaitu dengan cara menangkap makna universal yang tercakup dalam hadits.
Ketiga, kritik praksis, adalah kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi sehingga dapat dinilai dan diubah kondisinya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk mengimplementasikan nilai-nilai hadits secara baru pula.
Wallahu a’lam (*)
Editor Mohamamd Nurfatoni
Tulisan berjudul asli Pengembangan Metode Pemahaman Hadits Nabi ini disampaikan dalam “Webinar Refreshing Metodologis” yang digelar Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Sabtu 21 Agstus 2021.