PWMU.CO – Hukum Menerima Donasi dari Non-Muslim, ditulis oleh Dr H Achmad Zuhdi Dh MFil I, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
عَنِ بن كَعْبِ بن مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ (كَعْبِ بن مَالِكٍ)، قَالَ: جَاءَ مُلاعِبُ الأَسِنَّةِ إِلَى النَّبِيِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَدِيَّةٍ، فَعَرَضَ عَلَيْهِ الإِسْلامَ، فَأَبَى أَنْ يُسْلِمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنِّي لا أَقْبَلُ هَدِيَّةَ مُشْرِكٍ
Dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya (Ka’b bin Malik), ia berkata: “Ada seorang yang bergelar ‘pemain berbagai senjata’ (yaitu ‘Amir bin Malik bin Ja’far) menghadap Nabi SAW dengan membawa hadiah. Nabi lantas menawarkan Islam kepadanya. Orang tersebut menolak untuk masuk Islam. Nabi SAW lantas bersabda: “Sungguh aku tidak menerima hadiah dari orang musyrik.” (HR al-Thabrani No. 15487).
Status Hadits:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 15487. Selain at-Thabrani, ulama ahli hadits yang meriwayatkannya antara lain Abd al-Razzaq dalam Mushannaf Abd al-Razzaq No.19658, Ma’mar bin Rasyid dalam Jami’ Ma’mar bin Rasyid No. 256, dan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dalam Kitab al-Amwal No. 631.
Penilaian ulama terhadap status hadits ini beragam. Al-Haitsami menilai bahwa parawi hadis ini terdiri dari para perawi sahih atau siqqah(al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, VI/127). Pendapat ini diikuti oleh Imam al-Suyuti dalam kitabnya (Jami’ al-Ahadis, X/178). Ibn Hibban juga memasukkan hadis tersebut dalam kitabnya (at-Tsiqat Li Ibn Hibban, I/237).
Beberapa ulama lain menilai hadits tersebut shahih tetapi mursal, di antaranya Abd al-Rauf al-Munawi dalam kitabnya (Faid al-Qadir Syarh al-Jami al-Shaghir, III/16); Badr al-Din al-‘Aini al-Hanafi dalam kitabnya (Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, XX/158); Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII/110); dan al-Syaukani dalam kitabnya (Nail al-Authar, VI/77).
Sedangkan Syekh Nashirudin al-Albani cenderung pada penilaian hadirs tersebut shahih. Menurut al-Albani, setelah mencermati berbagai jalur periwayatan ditemukan sejumlah syahid yang menunjukkan kesahihan hadits tersebut. Haditts tersebut mursal melalui periwayatan Abd al-Razzaq, tetapi kemudian di-marfuk-kan atau di-maushul-kan oleh Ibn al-Mubarak. Menurut al-Albani, Ibn al-Mubarak lebih terjaga hafalannya (ahfad) daripada Abd al-Razzaq (al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah al-Kamilah, IV/226).
Kandungan Hadits
Hadits tersebut menjelaskan tentang peristiwa pemberian hadiah yang dilakukan oleh ‘Amir bin Malik bin Ja’far (ahli memainkan berbagai senjata) yang masih musyrik kepada Nabi Muhammad SAW. Saat itu Nabi SAW menawarkan kepadanya agar memeluk Islam, tetapi ia tidak mau. Karena ia menolak memeluk Islam, maka Nabi SAW menyatakan bahwa beliau tidak bisa menerima hadiah dari orang musyrik.
Selain hadits tentang penolakan pemberian tersebut, ada juga hadirs yang menjelaskan tentang penerimaan hadiah (pemberian) dari orang musyrik atau non-Muslim, di antaranya hadis dari Abu Humaid al-Sa’idi RA., beliau mengatakan:
غَزَوْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – تَبُوكَ، وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ
“Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi SAW. Raja negeri Ailah memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan kain. Sang raja juga menulis surat untuk Nabi SAW (HR Bukhari No. 1481).
Mengomentari adanya hadits yang terkesan bertentangan (antara yang menolak dan menerima pemberian (donasi) dari kalangan musyrik (non-Muslim), Ibn Hajar al-Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari Syarh Kitab Shahih al-Bukhari, menulis sebagai berikut:
قَوْلُهُ 🙁 بَاب قَبُولِ اَلْهَدِيَّةِ مِنْ اَلْمُشْرِكِينَ) أَيْ جَوَاز ذَلِكَ وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى ضَعْف اَلْحَدِيث اَلْوَارِد فِي رَدِّ هَدِيَّة اَلْمُشْرِك
“Ungkapan Imam al-Bukhari pada Bab Menerima Hadiah dari Orang-Orang Musyrik, maksudnya adalah bolehnya menerima hadiah dari kaum musyrikin. Dalam tulisan ini seakan-akan al-Bukhari memberi isyarat tentang lemahnya hadits yang menolak hadiah dari orang musyrik (al-Asqalani, Fath al-Bari, V/230).
Al-Asqalani juga mengutip beberapa pendapat ulama yang mengkomparasikan beberapa hadits yang bertentangan mengenai masalah tersebut. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah bahwa hadits yang melarang menerima pemberian non-Muslim konteksnya adalah pemberian yang terindikasi kuat bertujuan menghancurkan umat Islam atau berdampak merugikan mereka. Sedangkan hadits yang membolehkannya diarahkan kepada tujuan menghibur dan untuk kepentingan mendakwahkan Islam.
Ibn Hajar al-Asqalani lebih lanjut mengatakan: “Sang pengarang menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan menerima hadiah non-Muslim. Imam al-Thabari membuat komparasi bahwa penolakan Nabi diarahkan kepada hadiah yang secara khusus diberikan kepada beliau. Dan hadits yang menerima diarahkan kepada pemberian untuk umat Islam secara umum. Pendapat at-Thabari ini perlu dikaji ulang, sebab di antara dalil yang membolehkan adalah hadiah yang secara khusus diberikan kepada Nabi.
Ulama lainnya memberikan jalan tengah bahwa penolakan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang bertujuan konspirasi (jahat), dan penerimaan Nabi konteksnya adalah non-Muslim yang dengan menerima hadiahnya dimaksudkan menghibur dan memberinya simpati agar masuk Islam.” Al-Asqalani menyatakan: (وَهَذَا أَقْوَى مِنْ اَلْأَوَّل), pendapat yang ini lebih kuat dibandingkan yang pertama (al-Asqalani, Fath al-Bari, V/231; baca juga al-Syaukani, Nayl al-Authar, VI/77).
Keterangan tersebut membuka ruang diskusi tentang hukum menerima donasi dari kalangan non-Muslim. Termasuk di dalamnya adalah pembahasan mengenai bagaimana hukum seorang Islam menerima hadiah (pemberian) berupa makanan, baju, dan selainnya dari keluarga atau temannya yang masih non-Muslim?
Bagaimana hukum panitia pembangunan masjid menerima sumbangan (donasi) dari kalangan non-Muslim, dan bagaimana hukum panitia kurban Idul Adha menerima bantuan hewan dari kalangan non-Muslim yang juga ingin berbagi pada suasana Idul Adha?
Menerima Hadiah dari Keluarga Non-Muslim
Dilihat dari cara mendapatkannya, suatu benda bisa menjadi haram diterima sebagai sedekah atau pemberian, jika suatu benda yang diberikan tadi diketahui atau diduga berasal dari hasil mencuri, korupsi, manipulasi, memeras, menipu, menyogok, atau dari tindak kejahatan lainnya.
Dalam hal ini, pemberian barang yang berasal dari hasil tindak kejahatan, baik dari Muslim maupun non-Muslim, maka barang tersebut tidak boleh diterima. Sedangkan dilihat dari zatnya, jika suatu benda sudah dinyatakan haram oleh al-Quran atau as-Sunnah, seperti khamer atau minuman keras, daging babi, dan lain sebagainya, maka benda-benda tersebut tidak boleh diterima sebagai pemberian atau sedekah, baik dari seorang Muslim maupun dari non-Muslim.
Oleh karena itu, jika ada seorang non-Muslim bersedekah atau memberi sesuatu kepada seorang Muslim berupa uang halal, makanan halal atau barang-barang yang halal menurut Islam, maka pemberian tersebut boleh diterima.
Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad diterangkan dari Amir bin Abdullah bin al-Zubair, ia berkata, “Qutailah (Ibu dari Asma’) pernah mendatangi anak perempuannya, Asma’ binti Abu Bakar dengan membawa beberapa hadiah, di antaranya daging, kejum dan minyak samin. Sedangkan ia (Qutailah) seorang yang musyrik, maka Asma’ menolak hadiahnya serta tidak mempersilakan ibunya masuk rumah. Aisyah RA pun menanyakan peristiwa tersebut kepada Nabi SAW. Maka Allah SWT menurunkan Surat al-Mumtahanah ayat 8 (artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama).
فَأَمَرَهَا أَنْ تَقْبَلَ هَدِيَّتَهَا وَأَنْ تُدْخِلَهَا بَيْتَهَا
Maka Nabi Saw. pun memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiah ibunya dan mempersilakan masuk rumah” (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, IV/4); Menurut al-Hakim, hadis ini sahih (Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir, XXVI/135).
Dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, dari Asma binti Abi Bakr, ia berkata:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قُلْتُ، وَهِيَ رَاغِبَةٌ: أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّك
“Aku pernah didatangi ibuku yang masih musyrik pada masa Rasulullah SAW lalu aku meminta fatwa dari Rasulullah SAW. Aku berkata: ’Sesungguhnya ibuku datang, dia begitu ingin (menemuiku), apakah aku sambungkan silaturahim dengan ibuku?’ Beliau bersabda: ’Ya, sambungkanlah ibumu” (HR al-Bukhari No. 2620 dan Muslim No. 2372).
Dua hadits tersebut menunjukkan bahwa menyambung silaturahmi dan menerima pemberian atau sedekah dari seorang non-Muslim itu diperbolehkan.
Donasi dari Non-muslim untuk Pembangunan Masjid
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid ketika ditanya tentang hukum menerima bantuan dari kalangan non-Muslim, beliau menjawab: “Menerima pemberian orang-orang kafir (non-Muslim) dan bantuan mereka, tanpa meminta terlebih dahulu, itu tidak mengapa. Dan boleh menggunakan harta pemberian tersebut untuk berbagai keperluan umat Islam.
Adapun meminta bantuan dari orang kafir, di sana terdapat perkara-perkara yang perlu dijauhi di antaranya bersikap dzull (merendahkan diri) di depan mereka dan timbulnya kecenderungan hati dari peminta sehingga mudah dipengaruhi oleh mereka, jika permintaannya diberikan.
فلو خلا من هذه المحاذير فلا بأس ، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يستعين ( دون ذلّ ) في أمور الدعوة – وهو بمكة – ببعض المشركين كعمه أبي طالب وغيره
Jika tidak ada perkara-perkara yang terlarang ini, maka tidak mengapa. NabiSAW dahulu pernah meminta bantuan (tanpa merendahkan diri) kepada sebagian kaum musyrikin di Mekah dalam urusan dakwah, semisal kepada paman beliau Abu Thalib dan yang selainnya” (al-Munajjid, Fatawa al-Islam Sual Wa Jawab, I/1918).
Secara khusus Lajnah Daimah Ulama Saudi pernah ditanya tentang hukum menerima bantuan atau donasi dari non-Muslim untuk pembangunan masjid dan madrasah, berikut jawabannya:
يجوز للمسلمين أن يمكنوا غير المسلمين من الإنفاق على المشاريع الإسلامية ، كالمساجد والمدارس إذا كان لا يترتب على ذلك ضرر على المسلمين أكثر من النفع
“Boleh bagi kaum Muslimin menerima infak (donasi) dari non-Muslim untuk kegiatan Islam semisal membangun masjid dan sekolah atau pesantren, jika tidak ada bahaya yang lebih banyak yang menimpa kaum muslimin daripada manfaatnya” (Fatawa al-Lajnah al-Daimah No. 21334, Vol.XXXI/256).
Menerima Hewan Kurban dari Non-Muslim
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ada pertanyaan mengenai hukum menerima hadiah hewan kurban dari orang non-Muslim untuk disembelih saat Idul Adha. Jawaban fatwa menyatakan:
فلا مانع من قبول الهدية من الكفار بأنواعهم سواء كانت الهدية شاة أضحية أو غيرها مما أباح الله الانتفاع به بشرط ألا يكون ذلك على حساب دين المسلم، وقد كان النبي- صلى الله عليه وسلم- وصحابته الكرام يقبلون الهدية من الكفار وربما أهدوا للكفار أيضا
Tidak masalah menerima hadiah dari orang kafir dalam bentuk apapun, baik berupa kambing kurban atau yang lainnya, yang Allah bolehkan untuk dimanfaatkan. Dengan syarat, jangan sampai ada latar belakang balas budi agama. Dulu Nabi SAWdan para sahabat yang mulia, mereka menerima hadiah dari orang kafir, dan terkadang mereka juga memberikan hadiah kepada orang kafir (Fatawa Syabakah Islamiyah, No. 116210).
Dengan demikian, status hewan dari orang non-Muslim yang diserahkan kepada panitia untuk disembelih pada suasana Idul Adha pada dasarnya boleh saja diterima. Namun dari aspek ibadah, hewan tersebut tidak sah sebagai ibadah kurban baginya, karena ia tidak beriman kepada Allah (baca a-Taubah, 54). Hewan pemberian non-Muslim tersebut halal dimakan dengan syarat penyembelihnya dilakukan sesuai syariat Islam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini pernah dimuat di majalah Matan yang terbit di Surabaya.