Sejarah Belum Berakhir oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
Kemenangan gerakan santri Afghanistan, sering disebut Thaliban, setelah 20 tahun melawan invasi AS membuktikan bahwa tesis Francis Fukuyama tentang the End of History tidak terbukti.
Kapitalisme global takluk menghadapi perlawanan sengit gerakan Thaliban yang segera mendeklarasikan Imarah Islamiyah Afghanistan.
Sementara itu, dua ekspor paling mematikan AS yaitu kapitalisme dan demokrasi justru sedang terpuruk di mana-mana, bahkan di AS sendiri. Fareed Zakarya sudah meramalkan A Post American World.
Pada saat Pembukaan UUD1945 menyatakan dengan tegas bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa, sehingga penjajahan harus dihapuskan, seorang menteri senior justru mengatakan bahwa semua gerakan teroris akan disikat tidak peduli Thaliban atau bukan.
Seolah gerakan Thaliban itu gerakan teroris. Pernyataan ini tidak saja menyiratkan kesombongan firaunik tapi juga kecerobohan politik serta kedunguan yang menyertai kebanyakan kesombongan. Ini untuk tidak menyebutnya sebagai pengkhianatan atas pembukaan UUD1945.
Secara budaya keagamaan, gerakan Thaliban ini mirip dengan NU yang dicirikan oleh hubungan santri-kiai yang unik jika sulit disebut feodalistik. Mereka penganut mazhab Hanafi tradisional dan nasionalis. Sebagian pergi bertempur masih membawa jimat.
Wawasan internasionalnya terbatas. Namun berbeda dengan NU yg sejak kakek mbah Hasyim Asy’ari tidak memiliki aspirasi politik kekuasaan, gerakan Thaliban ini memiliki aspirasi Masyumian.
Mereka lebih siap mengelola pemerintahan daripada kelompok Mujahiddin yang lama bergerilya melawan USSR lalu berhasil mengusir Rusia dari Aghanistan di awal 1990an segera setelah USSR bubar.
Sayang keberhasilan Mullah Umar membangun Imarah Islamiyah Aghanistan harus berakhir setelah George Bush Jr memustuskan menginvasi Aghanistan konon sejak serangan Al Qaedah atas WTC New York 11/9/2001. Mullah Umar yang tawadhu’ menolak menyerahkan Osama bin Laden tamunya ke AS.
Anasir-anasir Mujahidin asal Indonesia yang kemudian pulang, akhirnya sering dikait-kaitkan dengan gerakan teror di Indonesia. Berbeda dengan Thaliban, kaum Mujahidin dan juga Al Qaedah tidak pernah mempersiapkan diri untuk memerintah. Tidak ada mantan gerilyawan yang sanggup membangun pemerintahan yang berhasil.
Al Qur’an sudah mengingatkan bahwa tidak boleh semua lelaki maju bertempur ke medan perang, harus ada sebagian lagi belajar untuk menyiapkan diri untuk membangun di masa damai.
Secara publik, pimpinan Thaliban sudah menyatakan diri untuk membangun pemerintahan baru yang bersahabat dan bekerjasama dengan pemerintahan manapun di atas prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan bagi dunia yang lebih damai.
Tidak perlu ada lagi semburan narasi negatif atas pemerintahan Thaliban ini. Tindakan represif atas kelompok-kelompok tertentu di Indonesia yang memiliki hubungan sejarah dengan Thaliban perlu dihindari karena justru bertentangan dengan prinsip-prinsip deradikalisi maupun moderasi.
Justru Indonesia perlu membuka dialog dan kerja sama dengan pemerintahan baru tersebut di berbagai bidang untuk ikut memastikan bahwa Imarat Islam di Afghanistan berhasil mewujudakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Afghanistan yang majemuk.
Nubuwah akhir zaman menunjukkan bahwa perang besar tidak akan terjadi di Indonesia. Ummat Islam Indonesia pada umumnya sudah menerima NKRI sebagai pencapaian aspirasi politik final.
Namun Ummat Islam akan terus mewaspadai gerakan kelompok sekuler dan komunis radikal yang sering membegal UUD1945 dengan mengatakan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila dan Ummat Islam adalah kelompok intoleran yang anti Pancasila dan kebhinnekaan.
Ummat Islam akan melawan keras narasi islamofobik ini. Kedua kelompok radikal itu seharusnya belajar dari sejarah Indonesia modern dan Afghanistan bahwa keduanya pasti kalah. Seperti yang kini terjadi di Afghanistan, di Indonesia history has not yet ended.
Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar 2/9/2021
Editor Sugeng Purwanto