Moderasi Beragama Sebatas Retorika oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Ketika rezim Taliban kembali menguasai Afghanistan masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, menyayangkan dan melihat masa depan suram bagi rakyat Afghanistan. Kelompok ini banyak didominasi oleh intelektual Islam liberal dan para pengikut fanatiknya. Mereka melihat doktrin keislaman konservatif radikal yang pernah diterapkan Taliban saat berkuasa tahun 1996-2001 dulu.
Kelompok kedua, kaum moderat yang dalam posisi wait and see menunggu perkembangan selanjutnya. Mereka berada pada posisi antara kecemasan dan harapan. Cemas akibat traumatik masa lalu. Harapan karena melihat generasi Taliban kali ini lebih realistis melihat dunia dan masa depan. Apa lagi transformasi kekuasaan tidak menimbulkan banyak korban jiwa. Juga ’restu’ negara-negara Barat.
Kelompok ketiga, kelompok permisif yang tidak peduli dengan urusan negara lain karena sedang terjepit dengan urusan sendiri akibat pandemi Covid 19 dan keterpurukan ekonomi.
Muhammadiyah dan NU secara kelembagaan tampaknya masuk dalam kelompok kedua, mengingat kedua ormas pernah terlibat dalam proses mediasi kelompok Taliban dengan dunia Islam yang diprakarsai pemerintah. Keduanya dengan Islam berkemajuan dan Islam Nusantara yang berusaha menginternasionalisasikan gagasannya. Mengusung tema Islam moderat yang diharapkan menjadi solusi bagi peradaban modern.
Din Syamsuddin dari Muhammadiyah memahami moderasi atau wasathiyyah Islam ditegakkan dengan beberapa prinsip di antaranya, pertama, i’tidal, berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab.
Kedua, tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Ketiga, syura, mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus.
Keempat, islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Kelima, qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia. Keenam, muwatonah, merangkul saudara sebangsa dalam menciptakan kedamaian.
Islam adalah penerus ajaran Nabi Ibrahim yang membawa ajaran hanifiyah samhah (lurus moderat yang toleran). Jika Yahudi menekankan ajaran keadilan (al adalah) dan Kristen menegaskan doktrin kasih sayang (ar rahmah), maka Islam menengahi dan memadukan keadilan berdasar kasih sayang untukmembangun peradaban (al adalah wal rahmahlil hadharah).
Panggung Hegemoni
Di Indonesia sendiri gagasan Islam moderat tampaknya belum menjadi konsep yang mapan bahkan dalam pelaksanaanya sering tidak mencerminkan pemahaman moderasi yang baik. Masih banyak kegiatan sosial keagamaan yang temanya moderasi tapi seluruh narasinya justru penegasan terhadap hegemoni satu kelompok. Susah membayangkan bagaimana konsep yang masih belum selesai dengan dirinya sendiri diusung dalam kancah internasional. Apalagi untuk menyelesaikan konflik negara.
Paling tidak ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar konsep moderasi atau Islam wasathiyah bisa menjadi harapan peradaban dunia. Pertama, gagasan Islam moderat yang lebih dikenal dengan moderasi agama hendaknya dijadikan sebagai sebuah kesadaran bukan pemaksaan.
Memang semua gagasan adalah produk pemikiran yang juga dijalankan oleh para aktor yang memiliki pemikiran beragam, sehingga memerlukan konsensus yang mutawatir supaya beragam tafsir tetap berada pada jalur utama.
Kedua, gagasan moderasi yang dikampanyekan jangan sampai bermertamorfosis dari gerakan idealis kultural menjadi proyek struktural. Moderasi sebagai sebuah kesadaran jika menjadi kebijakan biasanya dipaksakan sebagai konsekuensi struktural. Akibatnya, moderasi menjadi sebatas retorika yang terucapkan dalam forum-forum resmi, tertulis pada baner-baner dan media sosial, namun tidak tecermin dalam tindakan sehari-hari.
Ketiga, jangan sampai proyek moderasi hanya menjadi panggung propaganda bagi kelompok tertentu untuk mengokohkan hegemoninya. Jika ini terjadi maka logika hukum rimba yang kuat menguasai yang lemah akan terjadi.
Moderasi itu menjaga rasa keadilan, ketentraman dan kenyamanan bagi semua kelompok tanpa terkecuali. Jika kampanye moderasi hanya panggung bagi satu kelompok, bahkan diiringi dengan menegasikan kelompok lainnya, menyerang kelompok yang berbeda dengan stereotipe radikal dan cap negatif lainnya, bisa jadi ini akan melahirkan kelompok yang tersakiti.
Kelompok yang tampak jinak, penurut, aman namun sebenarnya sedang tiarap membangun sel-sel ideologis secara senyap, masif, terstruktur, istiqomah sambal menunggu momentum yang tepat untuk bangkit.
Teruji dalam Konflik
Faktanya hampir semua kelompok mayoritas bersikap hegemonik sebagai watak aslinya. Sejarah membuktikan, hegemoni minoritas hanya melahirkan konflik, sedangkan hegemoni mayoritas menawarkan ketertiban semu. Bukan keadilan.
Kasus Sunni -Syiah di Irak menjadi contoh nyata bagaimana ketika minoritas mengatur mayoritas. Begitu pula beberapa negara yang dikuasai mayoritas maka kelompok minoritas sering menjadi korban kebijakan yang tidak moderat.
Moderasi konseptual yang dikampanyekan secara kultural penuh hikmah dan mauizhah hasanah dengan uswah hasanah tentu berbeda dengan proyek moderasi yang dipropagandakan dengan serangkaian aturan. Yang pertama menawarkan kedewasaan beragama, yang kedua hanya menegaskan hegemoninya. Perkawinan keduanya melahirkan kelompok fanatis.
Moderasi beragama tidak diuji dalam masa damai, tapi konflik kepentingan masuk. Tidak ada moderasi ketika rebutan jabatan-jabatan publik dan tampaknya kita belum teruji dalam hal ini. Desas-desus perebutan jabatan di lingkungan kementerian sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai moderasi beragama. Bahkan sukses menyingkirkan kelompok lain. Beberapa aktornya justru terlilit skandal jual beli jabatan pada ring kelompoknya sendiri dan ditangkap oleh KPK.
Karenanya tidak mungkin ada moderasi dalam penegasan identitas kelompok. Moderasi beragama mestinya dibangun di atas kedewasaan dengan mengesampingkan kepentingan kelompok.
Kesadaran bahwa Islam berkembang pada etnik, budaya, bahasa, dan madzhab yang beragam mestinya menjadi nilai yang menjadi pijakan sebuah kebijakan. Nilai-nilai universal seperti kompetensi, profesionalitas, kapabilitas, mestinya mengalahkan kepentingan kelompok.
Muslim Indonesia seharusnya menjadi model keberagaman dalam keberagaman lewat model moderasi beragamanya. Keinginan untuk terlibat dalam penyelesaian konflik internasional tidak mungkin dilakukan oleh para aktor yang masih berjiwa konflik.
Gagasan yang baik di tangan orang yang baik akan melahirkan kebaikan. Begitu pula sebaliknya gagasan yang baik di tangan aktor buruk melahirkan ketidakadilan. Karenanya penting menunjukkan moderasi itu dalam tindakan nyata bukan dalam retorika semata. (*)
Editor Sugeng Purwanto