Sindroma Terus Berkuasa oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Rezim paranoid selalu pusing pada peristiwa yang diduga berhubungan dengan kekuasaan dirinya. Meskipun peristiwa itu terjadi di luar negeri. Setelah ramai mewaspadai pengaruh kemenangan Taliban atas Amerika dengan isu ikutan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, kini kudeta militer di Guinea Afrika adalah guncangan berikutnya.
Masalahnya kudeta tersebut terjadi pasca keterpilihan presiden Guinea hasil amandemen konstitusi untuk perpanjangan jabatan tiga periode. Ini contoh sindroma terus berkuasa.
Amandemen memperpanjang jabatan ini persis dengan yang ramai diwacanakan di Indonesia. Bahkan ada tim kampanye Jokowi segala untuk jabatan presiden tiga periode melalui Pilpres 2024 yang menyandingkan Jokowi dengan Prabowo. Amandemen PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) diprediksi akan menjadi pintu masuk bagi amandemen masa jabatan.
Kudeta Guinea menggulingkan Presiden Alpha Conde dipimpin Letkol Mamady Doumbouya. Rakyat menyambut gembira karena muak atas kepemimpinan Conde. Oposisi dan ratusan pemprotes ditahan. Kini Alpha Conde yang justru ditahan di tempat tersembunyi. Tahanan politik mulai dibebaskan di antaranya Oumar Sylla yang melakukan mogok makan Desember 2020.
Presiden yang baru saja sukses mengamandemen konstitusi dan memenangkan Pemilu untuk jabatan tiga periode itu kini menghadapi tuntutan serius soal merajalela korupsi, pelanggaran HAM, dan salah urus negeri. Menaikkan tarif dan pajak juga menjadi kecaman. Conde yang awalnya terpilih secara demokratis setelah berkuasa mengalami sindroma terus berkuasa, salah urus, dan korup.
Taliban masih menjadi bulan-bulanan tembakan politik. Setelah BIN mengungkap melakukan penyusupan agen ke Taliban yang ralatnya ‘hanya ngobrol’ saja, kini ada pengamat intelijen Stanislaus Riyanta menyatakan bahwa perlu kewaspadaan pada euforia dukungan Taliban.
Pengamat intelijen lain Susaningtyas Nefo menyebut keberadaan madrasah yang berkiblat pada Taliban dan pelajaran Bahasa Arab sebagai ciri dari terorisme. MUI menganggap pengamat ini sebagai penyesat.
Pengamatan dangkal, hasil pemikiran dengkul, dan berangkat dari rasa dongkol yang membabi buta menyerang umat Islam adalah fakta keberadaan komunitas Islamofobia akut. Entah berdiri sendiri atau pesanan. Selalu mengaitkan terorisme dengan segmen atau elemen keumatan. Aneh, semakin masif saja serangan keji yang hidup di rezim ini, baik yang dilakukan oleh buzzer, politisi, pengamat, aparat ataupun pejabat.
Kekuasaan yang runtuh adalah pelajaran yang menggentarkan. Keserakahan selalu menyebabkan kemarahan. Arogansi merupakan musuh dari keadilan dan kebenaran. Penjajahan asing dan boneka domestik yang dikalahkan oleh Taliban mengejutkan. Kudeta tentara Guinea atas kepala negara yang ingin terus berkuasa menakutkan.
Adakah esok muncul di negeri lain cerita gerakan rakyat yang merasa tertindas dan terus dibohongi oleh presidennya mampu menumbangkan kekuasaan yang dinilainya zalim, korup, melanggar HAM dan selalu merasa benar atas segala kebijakannya?
Sejarah banyak menuturkan kisah yang sarat pelajaran namun diabaikan. (*)
Bandung, 9 September 2021
Editor Sugeng Purwanto