PWMU.CO– Bahaya dari Utara, istilah dari Jenderal Ahmad Yani ini membuat marah Bung Karno. Ini terjadi ketika digelar seminar oleh para jenderal di gedung Seskoad, Bandung, 1-5 April 1965.
Seminar itu selain dihadiri KASAD Jenderal Ahmad Yani juga dihadiri oleh delapan jenderal seperti Rachmat Kartakusumah, J. Mokoginta, Suwarto, Djamin Gintings, Suprapto, Sutojo, M.T. Harjono dan S. Parman.
Victor M Fic dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965 menulis, analisis paling sensitif yang dibahas di seminar itu adalah ancaman bahaya dari utara yang harus diwaspadai Indonesia. Ini topik bahasan di hari pertama.
Ancaman itu berupa ekspansi komunisme Cina melalui konflik bersenjata di Vietnam, Laos, dan Kamboja. Ini terjadi akibat kekosongan strategis dengan menurunnya kehadiran militer Inggris-Amerika di Asia Tenggara.
Ahmad Yani berpendapat, kawasan yang mengelilingi Indonesia harus diisi oleh kekuatan Indonesia sendiri, bukan oleh kebijakan ekspansionis Cina dan negara-negara sekutunya.
Yani menjelaskan,”Konsep pertahanan kita harus mencakup seluruh Asia Tenggara. …Kerajaan-kerajaan Indonesia dahulu kala telah mempertahankan hegemoni atas daerah itu selama berabad-abad lamanya melalui penguasaan lautan. Bangsa dan rakyat Indonesia tidak akan mengabaikan tuntutan sejarah, dan telah menjadi kesimpulan saya sejak tahun 1963 bahwa pada suatu waktu nanti Angkatan Laut Indonesia akan mengambil-alih tugas Armada ke-VII Amerika Serikat dan Armada Timur Jauh Inggris di Asia Tenggara.”
Dengan pikiran ini, Jenderal Yani menilai konfrontasi dengan Malaysia harus diakhiri. Karena itu dilakukan pendekatan kepada Malaysia dengan menugaskan perwira intel AD Kolonel Ali Murtopo dan Kolonel Benny Murdani.
Dipanggil Bung Karno
Tak pakai lama di hari kedua seminar, 2 April 1965, Bung Karno memanggil para jenderal itu ke Istana Bogor. Makalah-makalah yang disampaikan pada seminar itu dinilai menantang visi strategis Presiden Sukarno.
Bung Karno menilai para jenderal itu telah berpikir sendiri yang berbahaya. Presiden Sukarno mengatakan, elite kepemimpinan AD tidak boleh berpikir dari segi taktis saja, tetapi juga memperhatikan kondisi strategis global yang lebih luas, terutama sekali di Asia Tenggara.
”Teori yang diajukan dalam seminar itu bahwa Indonesia mendapat ancaman bahaya dari Utara tidak benar,” kata Bung Karno berapi-api. ”Itu dipropagandakan oleh Nekolim. Kekuatan-kekuatan imperialisme yang berniat untuk mematahkan kekuatan baru yang muncul di Asia.”
Neo-kolonialisme itu harus ditolak, tandas Bung Karno. AD Indonesia harus loyal mengikuti garis politik negara Non-Blok yang telah dikemukakan Presiden garis-besarnya dalam pidato di Kairo tahun 1964.
”Pimpinan AD harus memahami peran yang harus dimainkan Indonesia dalam perjuangan revolusioner memerangi Malaysia, ciptaan Nekolim itu. Dan memahami pentingnya Poros Pyongyang-Peking-Phnom Penh-Jakarta bagi konfrontasi global terhadap Kekuatan Lama yang dilakukan oleh Kekuatan Baru,” ujar Bung Karno.
Menyikapi teguran Presiden ini, jenderal peserta seminar bersikukuh dengan pendirian mereka. Hasil seminar lalu dibukukan dengan judul Tri Ubaya Çakti. Usulan Bung Karno hanya dimasukkan sedikit saja yaitu adalah penting bagi Indonesia untuk mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara the New Emerging Forces.
Terbitnya buku yang mengulas ancaman bahaya dari utara menjadikan presiden merasa dipermalukan. Buku yang menjadi dokrin strategis-politis militer ini menempatkan kepentingan nasional Indonesia di atas aspirasi revolusioner Presiden di luar-negeri.
Doktrin itu menolak kebijakan dalam negeri maupun luar negeri Presiden, karena di dalam negeri ia condong merapat ke PKI, di dunia internasional ia ikut kampanye tujuan strategis Peking di Asia Tenggara dan di dunia.
Dengan doktrin itu, Angkatan Darat menolak skema Presiden membentuk Angkatan Kelima, yaitu tentara rakyat yang dipersenjatai.
Peristiwa ini menjadikan hubungan Bung Karno dengan petinggi militer makin buruk. Presiden menuduh mereka tidak loyal. Ketika Ketua PKI DN Aidit menghembuskan isu Dewan Jenderal yang akan kudeta, Bung Karno memercayai.
Tak lama kemudian terjadilah pembunuhan terhadap para jenderal itu pada 30 September 1965 alias G30S/PKI oleh pasukan Cakrabirawa pimpinan Kolonel Untung.
Situasi ancaman bahaya dari utara dalam kondisi sekarang ini masih relevan. Ekspansi komunisme Cina melalui ekonomi, politik, dan sosial makin dominan. Impor barang made in China makin deras masuk lewat bisnis online, investasi Cina menjamur di mana-mana, tenaga kerja Cina terus mengalir meskipun di masa pandemi Covid-19. Selanjutnya menunggu apa yang bakal terjadi. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto