PWMU.CO– Tragedi Tanjung Priok, Jakarta Utara, dikenang sebagai pembantaian umat Islam oleh tentara di masa Orde Baru. Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984 tengah malam, 37 tahun yang lalu.
Lokasi kejadian di jalan depan Mapolres Tanjung Priok dan Makodim Jakarta Utara. Sekitar 1.500 massa yang menuntut pembebasan empat orang yang ditahan akibat kerusuhan di Mushala As-Saadah Koja Jakarta Utara. Demonstrasi ini disambut rentetan tembakan oleh pasukan tentara di dua lokasi itu. Korban tewas bergelimpangan.
Jumlah korban tewas, hilang, dan terluka masih simpang siur hingga kini. Petinggi militer waktu itu Panglima ABRI LB Moerdani dan Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno mengatakan, korban meninggal 18 orang dan 53 orang luka-luka.
Tapi catatan Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) menyebut sekitar korban sekitar 400 orang tewas berdasar kesaksian warga dan laporan kehilangan keluarga di peristiwa itu.
Laporan Komnas HAM yang dibentuk setelah Reformasi menyampaikan, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang; yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.
Sulitnya mendata korban karena aparat keamanan langsung membersihkan lokasi penembakan usai kejadian. Warga melihat korban luka dibawa dengan truk ke RSPAD Gatot Subroto. Korban tewas juga diangkut truk. Ada yang dikuburkan di lokasi yang tak diketahui.
Rentetan berikutnya dari tragedi Tanjung Priok banyak warga ditangkap termasuk juga tokoh-tokoh yang ceramah di pengajian. Alasannya ceramahnya memprovokasi warga. Topik ceramahnya rencana pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila dan dampaknya bagi umat Islam.
Tokoh yang ditangkap dan diadili sebanyak 28 orang. Antara lain Abdul Qadir Djaelani, AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat. Mereka dituduh sebagai aktor intelektual kerusuhan sehingga divonis 18 tahun.
Salah satu ceramah yang populer di Tanjung Priok adalah Tony Ardi, mantan Ketua HMI Jakarta yang dibukukan berjudul Dakwah Terpidana Sebuah Pleidoi. Dia melontarkan ungkapan,”Kondisi umat Islam ini maju kena mundur kena. Maju kena asas tunggal Pancasila, mundur kena ayat al-Quran.”
Kronologi Peristiwa
Eksepsi Abdul Qadir Djaelani yang dibukukan dengan judul Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia: Sebuah Pembelaan (1985) menceritakan asal mula Tragedi Tanjung Priok.
Abdul Qadir Djaelani dapat vonis 18 tahun dengan dakwaan melakukan tindak pidana subversi melalui ceramah, khotbah. Dia menceritakan, kerusuhan bermula pada hari Sabtu, 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Mushala As-Saadah di Gang IV Koja, Tanjung Priok.
Dua Babinsa, Sersan Hermanu dan temannya datang meminta agar tulisan yang dianggap anti Pancasila dihapus. Karena jamaah menolak, Babinsa masuk mushala tetap pakai sepatu untuk menghilangkan tulisan pamflet. Untuk menghapus tulisan itu mereka memakai lumpur comberan dari got.
Dalam persidangan AQ Djaelani saat menjadi saksi, Sersan Hermanu mengakui perbuatannya. Dia berdalih ”… pamflet-pamflet itu ditulis dengan cat pilox yang tidak bisa dihapus dan tidak ada peralatan di tempat itu untuk dipakai menghapusnya. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan.”
Perbuatan Babinsa menjadi perbincangan jamaah. Aparat keamanan juga tak meredam masalah agar tidak membesar. Apalagi Sersan Hermanu disebut beragama Katolik.
Dua hari kemudian tanggal 10 September 1984 terjadi pertengkaran antara beberapa jamaah saat bertemu Sersan Hermanu. Kemudian Syarifuddin, Sofwan Sulaiman,Ahmad Sahi, menengahi dengan musyawarah di Masjid Baitul Makmur yang tak jauh dari Mushala As-Saadah.
Di luas masjid, emosi warga tak terkendali. Ada yang membakar sepeda motor milik Babinsa. Saat makin ricuh, aparat keamanan datang. Orang-orang yang dituduh provokator yaitu Syarifuddin, Sofwan Sulaiman, Ahmad Sahi,dan pembakar motor yaitu Muhammad Nur ditangkap.
Diberondong Tembakan
Penangkapan ini menyulut emosi massa. Tanggal 11 September 1984, jamaah datang ke Amir Biki, tokoh warga Tanjung Priok, untuk mendekati Kodim maupun Koramil agar melepas warga yang ditahan.
Namun kedatangan Amir Biki ke Kodim supaya melepas warganya namun ditolak petugas. Merasa dipermainkan, malam harinya Amir Biki mengundang tokoh dan ulama Tanjung Priok membahas persoalan ini.
Dalam pertemuan malam itu Amir Biki menyampaikan pidato. ”Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya!”
”Kita tidak boleh merusak apapun. Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita,” ujar Amir Biki mengingatkan para jamaah.
Pertemuan memutuskan mengajukan permohonan pembebasan empat tahanan. Ditunggu hingga pukul 23.00. Karena permohonan diabaikan, lewat tengah malam memasuki hari 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak menuju dua tempat. Polres Tanjung Priok dan Kodim.
Massa yang menuju Polres dihadang pasukan militer. Aparat meminta massa bubar namun dijawab dengan teriakan takbir Allahu akbar sambil terus maju. Terjadi bentrokan, tentara langsung menembaki massa. Tak pelak banyak orang jatuh berdarah.
Datang bantuan pasukan dua truk dari arah pelabuhan yang juga menembaki kerumunan warga. AQ Djaelani di pengadilan menyebut aksi brutal aparat memang benar-benar terjadi.
Rombongan massa menuju Kodim yang dipimpin Amir Biki, awalnya diminta tiga perwakilan masuk. Begitu wakil warga berjalan mendekat malah disambut tembakan. Di sini puluhan orang tewas termasuk Amir Biki.
Lolos Pengadilan
Tragedi Tanjung Priok termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Oleh pejuang hak asasi manusia seperti Amnesty International Indonesia, IKOHI, dan KontraS berhasil dibawa ke pengadilan HAM Adhoc.
Tragedi Tanjung Priok telah terjadi pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Keempat kejahatan ini merupakan kejahatan sebagaimana kejahatan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM.
Setelah Reformasi, para korban meminta pelaku pembunuhan diadili. Tahun 2001 dibentuk Pengadilan HAM ad hoc oleh presiden. Sidang pengadilan mulai digelar 15 September 2003. Terdiri 14 personel tentara yang masih aktif maupun pensiun. Yaitu Sutrisno Mascung, mantan Komandan Regu III Yon Arhanudse-06, beserta sembilan anak buahnya yaitu Asrosi, Abdul Halim, Zulfata, Sumitro, Sofyan Hadi, Prayogi, Winarko, Idrus, dan Muhson.
Pengadilan HAM memvonis bersalah. Hakim juga memerintahkan negara memberikan ganti rugi kepada korban dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Tapi terdakwa banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim lantas memutus bebas tahun 2006.
Saat kasasi, Mahkamah Agung menyebut kasus ini bukan merupakan pelanggaran HAM (karena korban bersenjata). Kasus ini mestinya diproses di pengadilan pidana, bukan pengadilan HAM ad hoc. Di luar pengadilan, Pangdam Jaya Try Sutrisno hanya menawarkan islah kepada korban atau keluarganya. Hingga kini Tragedi Tanjung Priok masih meninggalkan nestapa. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto