Pendidikan Baru Bersama Covid oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.
PWMU.CO– Kebijakan pembelajaran tatap muka di sekolah diluncurkan belum sebulan, dilaporkan telah terjadi lonjakan kasus cluster sekolah. Lalu kebijakan ini diminta dihentikan. Sekolah disarankan ditutup lagi. Padahal selama ini sudah tutup satu setengah tahun.
Kali ini pemerintah dan sebagian wali murid minta agar sekolah ditutup lagi. Sebelumya diwacanakan oleh pemerintah bahwa kita akan hidup cukup lama bersama Covid. Apa makna peristiwa ini?
Pertama, saat program vaksinasi sudah berjalan dan masuk ke tahap vaksinasi berikutnya, ketakutan penularan paparan Covid justru tidak berkurang, tapi malah makin menjadi-jadi. Seolah siapapun yang tertular virus ini hampir pasti mati. Padahal buktinya justru sebaliknya. Yang sembuh jauh lebih banyak. Case Fatality Rate Covid-19 hanya 1-3 persen lebih rendah dari TBC atau penyakit tidak menular seperti jantung koroner dan stroke. Jika sakitpun, umumnya gejalanya ringan. Tapi pemerintah dan wali murid ternyata siap mengorbankan sekolah dan kampus untuk jadi gudang dan guru serta dosen jadi satpam. Are not they?
Kedua, bahkan sebelum pandemi, peran konvensional sekolah sudah semakin berkurang dengan kehadiran internet. Banyak bahan belajar yang kini tersedia di internet. Ruang Guru adalah aplikasi yang makin populer. Pendidikan tinggi juga semakin menyediakan Massive Open Online Courses (MOOC). Apalagi gelar akademik makin tidak penting. Kecuali bagi para politikus domestik. Yang lebih penting adalah sertifikat kompetensi yang dapat diperoleh melalui online short courses tersebut.
Jadi, baik kebijakan Pembelajaran Tatap Muka dengan prokes ketat di sekolah atau kelas-kelas hybrid di kampus-kampus dengan kapasitas pertemuan dikurangi hingga separonya itu adalah kebijakan yang tidak efektif. Toh peran konvensional sekolah dan kampus sudah jauh berkurang. Yang dibutuhkan adalah pola pendidikan yang baru.
Jika pola pendidikan yang baru itu bisa disebut Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, maka memang persekolahan dan kampus harus mereposisi diri untuk memikul peran pendidikan yang baru. Dengan value proposition dan model bisnis yang baru. Conventional schooling and campuses are quickly outdated and will soon be things of the past. Bahkan kini banyak universitas yang tutup.
Jika kata merdeka itu serius, bukan sekadar basa-basi, maka memang tujuan pendidikan itu adalah menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Pendidikan adalah sarana belajar merdeka. Ini oleh Pembukaan UUD 45 disebut mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar menyediakan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik dan taat bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Sudah agak lama pendidikan direduksi menjadi persekolahan. Bahkan full day schooling ataupun boarding school dinilai model pendidikan terbaik. Tidak bersekolah langsung dianggap kampungan. Tidak bergelar akademik berarti tidak bakal menduduki jabatan dengan gaji besar.
Padahal pendidikan terbaik itu justru oleh keluarga dan masyarakat secara informal dan non-formal. Belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan yang rumit, apalagi birokratik. Sekolah hanya berperan complementary and supplementary.
Tidak mungkin sekolah menggantikan peran keluarga dan masyarakat. Tepatnya tidak boleh. Merampas peran keluarga dalam pendidikan adalah melemahkan keluarga itu. Membiarkan masyarakat tidak ikut mendidik warga muda adalah membiarkan masyarakat tadi kehilangan teladan anggota-anggota masyarakat itu sendiri.
Guru terbaik adalah pengalaman hidup di dalam keluarga dan masyarakat, bukan guru ataupun guru besar di kampus. (*)
Jatingaleh Semarang, 23/9/2021
Editor Sugeng Purwanto