PWMU.CO– Ahlus sunnah waljamaah, sebutan singkatnya Sunni. Biasanya dipertentangkan dengan Syiah. Ada kalangan yang mengklaim hanya kelompoknya sebagai ahlus sunnah waljamaah. Kelompok lain dianggap bukan golongan ini.
Melihat sejarahnya, istilah ini muncul setelah berlangsung konflik politik dan paham keislaman yang menceraiberaikan umat. Di awali terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa itu dalam perjalanan sejarah Islam memicu munculnya kelompok-kelompok seperti Khawarij, Syiah, dan Muktazilah.
Di masa Khalifah Ali bin Abu Thalib pertikaian kelompok ini makin meruncing hingga terjadi pemberontakan Muawiyah yang mendirikan Dinasti Umayah.
Khawarij adalah orang-orang yang keluar dari kelompok pembela Utsman, Ali, maupun Muawiyah. Kelompok ini menganggap tiga orang itu kafir yang halal darahnya. Syiah adalah kelompok pembela Ali yang fanatik. Berpendapat Ali sebagai pemegang kekuasaan hingga turun temurun. Syiah memusuhi Muawiyah.
Sedangkan Muktazilah, bibit kelompok ini sudah ada di zaman Kahlifah Utsman. Ketika terjadi pertikaian politik antara Ali dan Muawiyah mereka menarik diri dari urusan keberpihakan politik. Bersikap non koperatif. Tapi selalu kritis dan menyerang pemerintah.
Dalam urusan pemahaman agama kelompok ini punya pendapat orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin maupun kafir. Tapi manzilah bainal manzilataini. Berada di satu tempat di antara dua tempat.
Dalam perkembangannya Muktazilah menyebarkan paham kebebasan berpikir seiring pengaruh filsafat Yunani dalam khazanah intelektual Islam. Paham yang menganggap ra’yu, rasionalitas, menjadi dasar pemahaman agama dan fikih.
Di masa Tabi’in, kelompok Muktazilah makin kuat posisinya setelah Washil bin Atho’ menang debat dengan ulama gurunya, Hasan Bashri, tentang status muslim berbuat dosa besar. Kemudian Washil membentuk jamaah sendiri yang dinamakan ahlul adli wat-tauhid.
Aliran Hijaz dan Irak
Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Waljamaah menyebutkan perselisihan politik, akidah, dan fikih membelah umat Islam dalam dua aliran besar yaitu Hijaz dan Irak.
Aliran Hijaz disebut ahlul hadits. Berkembang di Mekkah dan Madinah yang masih banyak berkumpul sahabat Nabi. Menetapkan hukum berdasar hadits yang diterima dari Nabi Muhammad saw. Menolak ra’yu atau pendapat dari qiyas terhadap perkara yang tidak didapati dalam hadits.
Aliran Irak disebut ahlur ra’yi. Membuat fatwa hukum dengan hadits. Jika tidak mendapati hadits yang mereka terima maka menggunakan qiyas dalam berijtihad.
Konflik politik antara Ali dan Muawiyah makin mempertajam perselisihan dua aliran ini. Ali didukung kelompok ahlul hadits sementara Muawiyah disokong ahlur ra’yi. Ketika Muawiyah menang dan berkuasa di Damaskus, dia menindas pendukung Ali.
Dalam perselisihan itu terus berkembang penafsiran ayat-ayat Quran dan hadits sehingga memengaruhi sumber pokok penetapan hukum Islam yang disebut fikih. Mulai muncul hadits-hadist palsu dibuat kaum zindiq.
Khalqiyatul Quran
Masuknya filsafat Yunanijuga memengaruhi perkembangan intelektual para ulama hingga muncul ilmu kalam. Ilmu yang mengupas kalam Allah, zat, dan sifat-sifatnya. Perdebatan ilmu kalam yang populer dan penuh intrik adalah khalqiyatul Quran atau pandangan al-Quran adalah makhluk yang dianut golongan Muktazilah.
Pandangan ini menjadi dominan setelah masuk ke Istana Khilafah Abbasiyah. Menjadi politik agama pemerintah di masa Khalifah Al Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq.
Menurut pandangan ini, Allah itu bersifat absolut yang berbeda dengan sesuatu apa pun. Allah memiliki sifat kalam tetapi bicara, suara, dan bahasa Allah beda dengan manusia atau sesuatu apa pun. Al-Quran adalah kalam Allah yang telah diungkapkan dan dibahasakan menurut lisan Arab bukan bahasa Allah. Karena itu al-Quran itu makhluk bukan kalam Allah itu sendiri.
Konsekuensi dengan pandangan ini maka al-Quran itu bersifat relatif yang dipengaruhi oleh pemahaman Nabi Muhammad saat menerima kalam Allah kemudian menerjemahkan dalam bahasa Arab sesuai tradisi dan pengetahuan di mana Nabi hidup. Dengan demikian menurut kelompok ini al-Quran tidak qadim, tidak abadi, seperti Allah. Namun bisa berubah atau musnah seperti sifat makhluk.
Sementara paham ahlul hadits meyakini al-Quran itu kalam Allah sendiri yang diturunkan dalam bahasa yang dipahami manusia. Seperti dikisahkan dalam al-Quran, Allah berbicara kepada Nabi Musa (an-Nisa: 164, al-A’raf: 143) atau bicara kepada Nabi Ibrahim (ash-Shafat: 104-105)
Menurut pandangan ini, al-Quran itu bersifat qadim, abadi, karena kalam Allah mengikuti sifat Allah yang mutlak. Tidak berubah, selalu terjaga oleh Allah, mengandung sepenuhnya maksud Allah, dan berlaku sepanjang zaman.
Ulama Korban Politik
Sekitar tahun 833 M perdebatan itu mencapai puncaknya ketika pemerintah masa Khalifah al-Mu’tashim campur tangan dalam perdebatan ini. Ini berkat kedekatan ulama Muktazilah ke istana dan menjadi pembisik khalifah. Pemerintah memaksakan satu tafsir pandangan kepada semua rakyat dan ulama bahwa al-Quran itu makhluk.
Rakyat yang berbeda pandangan dituduh menghina, berpaham sesat, dan memberontak kepada penguasa terkena hukuman penjara dan siksaan sampai mati. Maka para ulama dikumpulkan mengikuti seleksi ideologi. Dipaksa mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Ulama yang mencari selamat langsung saja menurut, berubah haluan.
Ulama yang menjadi korban di masa ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Dia menentang paham khalqiyat Alquran. Akibatnya dihukum cambuk dan dipenjara.
Abu Hasan Al Asy’ari
Ulama yang membendung aliran Muktazilah adalah Abu Hasan Al Asy’ari. Awalnya dia penganut Muktazilah. Kemudian keluar setelah berbeda pendapat dengan gurunya, Ali al-Jubba’i, saat membahas masalah takdir.
Muktazilah penganut qadariyah. Yaitu manusia yang menentukan nasib dirinya sendiri. Paham ini berbeda dengan aliran ahlul sunnah yang berpandangan Allah yang menentukan semua kehidupan makhluknya. Paham ini disebut jabariyah.
Abu Hasan Al Asy’ari pada akhirnya memahami bahwa akal manusia, ra’yu, rasionalitas itu ada batasannya. Kebebasan berpikir kalau diteruskan tak selamanya menemukan kebenaran. Bisa menjadi sesat karena pendapatnya tentang kekuasaan Allah dan sifat-sifatnya.
Al Asy’ari kemudian menyerukan untuk kembali berpegang kepada ahlus sunnah yaitu berpedoman kepada pendapat Nabi Muhammad dalam hadits-haditsnya serta mengikuti pendapat para ulama yang diikuti mayoritas jamaah umat muslim.
Seruan itu kemudian populer dengan sebutan ahlus sunnah waljamaah. Waljamaah yang dimaksud termasuk pendapat empat imam besar yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali. Jadi siapapun yang berpegangan kepada Quran dan hadits dan berpegang kepada pendapat imam yang empat itu maka dia termasuk ahlus sunnah waljamaah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto