Judicial Review AD/ART Parpol untuk Tegakkan Demokrasi oleh Dr Fahri Bachmid SH MH, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia.
Tanggapan atasi tulisan M Rizal Fadillah dengan judul Kontroversi Yusril Ihza Mahendra.
PWMU.CO– Analisis serta penilaian M Rizal Fadillah yang menyalahkan pengacara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra dalam perkara uji materi AD/ART Partai Demokrat 2020 ke Mahkamah Agung (MA) harus diluruskan secara proporsional agar publik mendapat suguhan informasi yang sehat, konstruktif serta edukatif. Agar tidak tercipta suatu produk analisis yang distorsif dan bias.
Penilaian M Rizal Fadillah sangat subjektif dan politis dan tidak memandang persoalan tersebut secara substansial dan komprehensif dengan menggunakan optik teori ilmu hukum, atau dalam bingkai kekuasaan lembaga peradilan.
Dia tidak memandang permohonan yang dilayangkan Yusril ke MA secara akademik dengan menggunakan parameter yang jauh lebih filosofis untuk memahami pokok persoalan yang sesungguhnya.
Bagaimana bisa langkah serta upaya legal konstitusional bagi pencari keadilan melalui sarana hukum yang sah bisa dinilai sebaliknya? Atau dianggap sebagai sesuatu yang destruktif dan berbahaya?
Jika itu cara pandangnya maka sesungguhnya telah terjadi logical fallacy (sesat pikir) yang pada hakikatnya jauh lebih berbahaya daripada potensi kekacauan hukum dan politik seperti prediksi imajiner M. Rizal Fadillah.
Wajar jika kader yang dipecat AHY dan dibela Yusril mencari keadilan. Semua pihak harus menghormatinya sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip sebuah negara hukum.
Segala perdebatan secara yuridis, akademik, dan argumentatif oleh pihak-pihak yang berkepentingan idealnya dilangsungkan di pengadilan secara fair dengan saling mengajukan alat bukti serta uji fakta.
Pada level ini semua pihak harus menerima legal action ini sebagai sebuah langkah dan keputusan yang bersifat terobosan (breakthrough) tentunya suatu terobosan yang cerdas dan tepat jika dilihat dari aspek ilmu hukum.
Partai Demokratis
Perdebatan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat ke MA idealnya jangan dicampuradukkan secara politis, agar sebangun dengan spirit serta kehendak pencari keadilan.
Permohonan pengujian formil atas prosedur pembentukan AD/ART Demokrat 2020 dan dan pengujian materiil atas muatan pasal-pasal yang termaktub dalam AD/ART 2020 yang telah disahkan oleh Menkumham bernomor Nomor: M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 adalah murni masalah yuridis yang tidak perlu ditafsirkan, atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis.
Sesungguhnya isu hukum yang dikemukakan oleh Pemohon dalam Permohonan Judicial Review AD/ART ke MA ini terkait dengan Perubahan AD ART Partai Demokrat Tahun 2015 menjadi AD ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang secara formiil dibentuk dengan cara-cara yang tidak diketahui oleh peserta Kongres 2020.
Di dalamnya terdapat perubahan-perubahan fundamental organ-organ partai. Terutama kedudukan Majelis Tinggi Partai Demokrat, kedudukan Ketua Umum, mekanisme pelaksanaan kongres luar biasa, dan mekanisme penyelesaian sengketa internal Partai Demokrat.
Dari perubahan-perubahan tersebut Majelis Tinggi dan Ketua Umum Partai Demokrat diberikan kewenangan yang sangat besar sehingga menggeser asas kedaulatan seluruh anggota.
Perubahan ini menyebabkan Partai Demokrat bukan lagi sebuah partai demokratis, melainkan berpotensi menjadikanya sebagai sebuah partai yang oligarkis, feodal dan opresif yang bertentangan dengan norma-norma konstitusi dalam UUD NRI 1945 dan UU Parpol.
Karena itu tepat, jika pihak-pihak yang berkepentingan mengeser perdebatan ini menjadi perdebatan yuridis yang lebih argumentatif akademis ke ruang persidangan.
Permohonan JR AD/ART Demokrat era AHY ke MA merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui terobosan hukum. Keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan kesisteman partai politik di Indonesia dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta demokrasi konstitusional.
Sebab partai politik adalah properti nasional yang membutuhkan kesungguhan untuk didesain sedemikian rupa agar sejalan dengan kaidah-kaidah demokrasi konstitusional.
Kelemahan UU Parpol
Ketika Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mafhum bahwa masalah AD/ART Partai Politik dari sisi peraturan perundang-undangan dalam hal penormaan memang luput menjangkau serta mengatur masalah pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART Parpol ini.
Secara hipotetis jika kita mengajukan pertanyaan yuridis bahwa bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik?
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, asas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.
Tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan mewajibkan bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya.
Di sisi lain AD/ART adalah peraturan dasar yang mengatur secara internal parpol, anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik. Dengan demikian jika corak dan karakter kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodalistik tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi.
Jika dilihat secara seksama terkait ketiadaan aturan hukum (legal vacuum) yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol. Jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan (breakthrough) secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang.
Pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum (rule breaking) penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA.
Secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan. Artinya, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang berakibat kepada kekacauan hukum (rechtsverwarring). Itulah urgensi dan pentingnya dari legal action ini.
Pranata Pengujian AD/ART
Berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum. Partai Politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK.
Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum.
Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.
Selanjutnya pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Eksistensi parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018, dimana MK telah menerima permohonan sebagai pihak pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai badan hukum publik sesuai ketentuan pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang Undang.
Dengan demikian judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik.
Urgensi judicial review sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman (judicative power) yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.
Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.
Akhirnya, persoalan dan konteks ini harus diletakkan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan sebuah ijtihad konstitusional. Suatu langkah secara legal konstitusional ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART Parpol serta kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme, oligarkis, dan opresif partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik itu sendiri. (*)
Editor Sugeng Purwanto