Aturan Partai Bukan Produk Undang-Undang oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tanggapan atas tulisan Dr Fahri Bachmid berjudul Judicial Review AD/ART Parpol untuk Tegakkan Demokrasi
PWMU.CO– Tidak perlu pakar hanya untuk sekadar menanggapi pembelaan Dr Fahri Bachmid terhadap Prof Dr Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan Judicial Review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung.
Hasil uji dan pembuktian yang ditunggu atas Yusril adalah apakah benar terobosan atau hanya mengada-ada dalam hukum.
Dr Fahri Bachmid wajar membela Yusril karena di samping Fahri akan diajukan sebagai saksi ahli, partner dari Kantor Hukum Yusril sendiri, dan juga pengurus DPP Partai Bulan Bintang. Namun terlepas dari hal itu, argumen hukum yang disampaikan dalam menanggapi artikel penulis masih dapat diperdebatkan.
Ada empat hal kekeliruan argumen Dr Fahri Bachmid SH MH, yaitu
Pertama, naif jika menganggap yang dipermasalahkan adalah soal kuasa hukum dari empat anggota Partai Demokrat yang dipecat. Semua juga tahu bahwa hal itu adalah hak prinsipal yang sekaligus hak dari kuasa hukum.
Meskipun sebenarnya karena status keempatnya sudah bukan lagi anggota Partai Demokrat maka menjadi tidak memenuhi syarat legal standing untuk mempersoalkan AD/ART Partai.
Kewenangan mengadili soal pemecatan ada pada Mahkamah Partai. Yang menjadi persoalan di sini adalah kelirunya Yusril Ihza sebagai kuasa hukum untuk menggugat judicial review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung.
Kedua, AD/ART Partai bukanlah bentuk dari peraturan perundang-undangan yang bisa diiuji ke Mahkamah Agung. Semestinya yang diuji adalah Keputusan Kemenhukham yang mengesahkan AD/ART Partai tersebut dan itupun dalam tenggang waktu yang ditentukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
AD/ART Partai adalah aturan yang diproduk dalam sebuah Munas, Kongres, Muktamar atau sejenisnya, karenanya AD/ART hanya bisa digugat dalam ruang Munas, Kongres, Muktamar dan sejenisnya tersebut.
Ketiga, apa yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra bukanlah murni hukum meski bernama uji materil ke lembaga yudisial, melainkan sebuah keterlibatan dalam sengketa politik antara kubu Moeldoko dengan kubu AHY (Agus Hari Murti Yudhoyono).
Empat orang yang menguasakan kepada Yusril adalah anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko yang kemudian dipecat kubu AHY. Moeldoko sendiri gagal mendapat pengesahan dari Kemenkumkham.
Keempat, anggapan terjadinya kekosongan hukum dengan narasi bahwa ’peraturan perundang-undangan dalam hal penormaan luput menjangkau serta mengatur soal pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART Parpol’ tidaklah tepat.
Peraturan perundangan undangan telah memberi kewenangan penuh soal AD/ART Partai kepada internal partai itu sendiri. Jika ngotot juga dengan pandangan bahwa ada kekosongan hukum, maka yang seharusnya diuji materil adalah UU Parpol bukan AD/ART Partai.
Nah, demikian Pak Fahri Bachmid tanggapannya. Terhadap pandangan Prof Yusril kepada Prof Mahfud MD yang telah menilai tak ada gunanya menggugat AD/ART Partai, tampaknya Pak Yusril Ihza tak perlu berucap dan meminta Pak Mahfud MD untuk ’tidak ikut campur terhadap kisruh di tubuh Partai Demokrat’ karena justru Pak Yusril sendiri yang sedang aktif ikut campur terhadap kisruh di tubuh Partai Demokrat.
Meski dengan dalih sebagai advokat yang berhak membela siapapun, akan tetapi sangatlah tidak etis jika seorang ketua umum sebuah partai politik ikut campur pada kisruh partai politik lainnya.
Moral politik harus menjadi ruh dari praktik hukum agar tetap diakui sebagai pakar hukum bukan berubah menjadi pakir hukum. (*)
Editor Sugeng Purwanto