TNI Kembali ke Khittah oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.
PWMU.CO– 5 Oktober 76 tahun lalu Badan Keamanan Rakyat berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Penting untuk mencermati perkembangan TKR menjadi TNI saat ini.
Unsur pembentuk utama TKR adalah sipil terlatih yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (Peta) didikan Jepang dan tentara profesional eks KNIL didikan Belanda.
Unsur utama Peta adalah Hizbullah yang berasal dari kalangan santri yang dibina dan dilatih oleh para ulama pondok pesantren. Soedirman yang kemudian menjadi Bapak TNI berasal dari Hizbullah ini.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia sejak 1942, Jepang memahami bahwa hanya kalangan santri yang memiliki semangat juang melawan penjajah Belanda. Kalangan lain tidak, apalagi kalangan komunis poros-Rusia yang justru mendukung Belanda karena Rusia tergabung dalam Sekutu melawan Nazi Jerman dalam PD II.
Fakta ini perlu dicatat TNI bahwa, komunis selalu menjadi kaki tangan asing. Menjelang G30S, PKI bekerja sama dengan Partai Komunis RRC. Bahkan kelompok komunis sempat berusaha menjegal proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan menculik Bung Karno ke Rengasdengklok beberapa jam sebelum proklamasi.
Pemberontakan PKI di Madiun terjadi pada 1948 pada saat TNI sedang disibukkan untuk melawan upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Tanggal proklamasi itu juga dipilih oleh Kiai Abdul Mukti dari Persyarikatan Muhammadiyah Madiun hasil konsultasi Bung Karno. Panitia Persiapan Kemerdekaan yang melahirkan Pancasila diwarnai oleh peran penting KH Abdul Wachid Hasyim (NU), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mr Kasman Singodimedjo dari Muhammadiyah.
Peran penting ulama dan umat Islam selama perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankannya harus diingat oleh TNI. Adalah umat Islam yang diawali oleh HOS Tjokroaminoto yang mendefinisikan arti nasionalisme sebagai paham anti penjajahan.
Nasionalisme Indonesia tidak mungkin dipisahkan dari Islam. Kaum komunis di Indonesia tidak memahami hal ini karena selalu menjadi kaki tangan komunis Rusia atau China.
Kita berharap, TNI kembali ke khittah sebagai tentara rakyat dan tidak mengingkari bagaimana kelahirannya tidak mungkin dipisahkan dari Islam.
Jauh sebelum kemerdekaan, Islam adalah faktor enabling (memfasilitasi) yang memungkinkan nasionalisme tumbuh sebagai paham kebangsaan yang bertuhan melampaui paham kesukuan. Bukan kebangsaan yang sekuler.
Jadi tuduhan kaum komunis dan liberal bahwa umat Islam anti-NKRI, anti-kebhinnekaan, bahkan anti-Pancasila adalah ahistoris sekaligus fitnah atas umat Islam Indonesia.
Selamat HUT TNI ke-76!
Jadilah kebanggaan bangsamu dengan mengingat sejarah kelahiranmu. (*)
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya, 5/10/2021
Editor Sugeng Purwanto