PWMU.CO– Aisyiyah mempunyai potensi yang besar untuk memiliki wakil di legislatif. Kekuatannya harus disatukan untuk mendapatkan kursi DPR yang butuh 120.000 suara.
Hal itu dikatakan Prof Dr Zainuddin Maliki, anggota DPR, menjawab pertanyaan wartawan PWMU.CO, Ahad (4/10/2021).
Prof Zainuddin pernah menyampaikan materi itu dalam diskusi Ideopolitor dengan topik Aisyiyah Melek Politik. Diskusi virtual diadakan oleh Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Daerah Aisyiyah (MPK PDA) Kota Malang pada 26 Septermber 2021.
Dia menjelaskan, kalau wakil Aisyiyah Malang Raya ingin masuk DPR harus bisa mengumpulkan suara untuk satu kursi butuh 120.000 suara. ”Kalau suara Muhammadiyah di Malang Raya ini disatukan saya yakin kok dapat itu, minimal 120.000 suara. Bila ada 8 kursi maka suara segitu dapat kursi nomor 8,” jelasnya.
Dikatakan, persoalannya di Muhammadiyah masih banyak yang belum berpikir DPR RI itu penting, politik itu penting. Bahkan masih banyak yang berpikir politik itu kotor, politik itu harus dijauhi, sehingga kebijakan yang diambil political disengagement yaitu mengambil jarak dengan politik.
”Padahal sangat riskan kalau organisasi sebesar Muhammadiyah tidak turut serta menentukan, memengaruhi arah dan kiblat politik di negeri ini. Politik di negeri ini jadi dikendalikan orang lain,” ujarnya.
”Saya merasakan dampak dari itu semua. Di DPR ini partai dan fraksi kecil dikendalikan oleh partai- partai besar. Sementara fraksi-fraksi besar itu aspirasinya dalam beberapa hal bertolak belakang dengan aspirasi umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah khususnya,” ungkap Zainuddin Maliki.
Dia menjelaskan, ketika ada menteri mencoba menghapus pelajaran agama, ketika ada menteri tidak mau memasukkan frase agama dalam pendidikan, ketika ada menteri mencoba menghapus mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi maka harus dipertanyakan dan diungkap.
”Ini memerlukan perjuangan keras. Sebab menteri itu dibela oleh fraksi-fraksi besar. PAN itu cuma 44 orang. Kalau kami dibiarkan berjuang sendiri tidak akan kuat,” lanjutnya.
Bantuan Gerakan Sosial
”Berapa kali saya harus melapor ke Prof Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, kami membutuhkan bantuan gerakan sosial untuk menghentikan manuver kebijakan yang bertolak belakang dengan posisi, aspirasi, dan kepentingan umat Islam,” tuturnya.
Begitu juga saat ada kebijakan menerapkan pajak pendidikan, sambung Zainuddin. Kebijakan dari menteri keuangan tersebut sangat merugikan Muhammadiyah karena punya ribuan amal usaha pendidikan.
Menteri pendidikan juga menghapus Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di mana ketuanya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’i. Padahal dasar hukum pembubarannya sangat lemah.
Ada lagi menteri pendidikan mengeluarkan Permendikbud Nomor 6 tahun 2021 yang terasa diskriminatif karena tidak mau memberi BOS reguler untuk sekolah-sekolah yang siswanya dalam tiga tahun terakhir kurang dari 60 anak. ”Nah, ini yang paling dirugikan masyarakat paling bawah. Sekolahnya yang kecil masih membutuhkan bantuan pembiayaan dari pemerintah,” ujarnya.
Kesadaran Politik
Wakil Ketua PWM Jatim periode 2015-2020 itu mengatakan, untuk menghadapi semua persoalan itu membutuhkan perjuangan politik.
Dia berharap ada kesadaran politik partisipatoris dari warga Muhammadiyah. Menurutnya, kesadaran politik masyarakat itu ada tiga level. Kesadaran politik parokial, subjek, dan partisipatoris.
Dijelaskan, parokial itu tidak punya kesadaran politik, menjauh dari politik. Kesadaran subjek itu artinya, tahu politik itu penting tapi tidak tahu caranya berpolitik.
Sedangkan partisipatoris itu, tahu betapa pentingnya politik dan tahu bagaimana cara berpartisipasi dalam dunia politik. ”Saya berharap Aisyiyah Kota Malang ini memelopori kesadaran politik partisipatoris,” tandasnya.
Menurutnya, Muhammadiyah dalam berpolitik itu masih pada tataran teori. Sementara praktiknya masih miskin. Karena itu Muhammadiyah masih mualaf dari urusan politik.
”Karena masih mualaf, maka kalah terus. Sementara tetangga sebelah dapat banyak. Sudah punya wakil presiden, punya banyak menteri, punya pejabat mulai provinsi sampai desa,” ujarnya.
Dikatakan, mereka sangat menguasai politik karena pengalaman. Sementara Muhammadiyah tidak mempunyai pengalaman karena menganut political disengagement.
Muhammadiyah, organisasi keagamaan yang tidak pernah ikut Pemilu. NU pernah ikut Pemilu pada tahun 1971. Menurut dia, organisasi yang pernah ikut pemilu itu luar biasa, mempunyai instrumen, memiliki jaringan dan memiliki komukasi baik dengan konstituen.
”Karena itu sangat luar bisa ketika PWM menginstruksikan anggotanya untuk maju menjadi caleg. Saya caleg DPR RI dan Mas Nadjib calon DPD. Ini sekaligus inisiasi dan eksperimen PWM Jatim untuk berhenti menerapkan political disengagement,” tandasnya.
Politik Kekuasaan
Kata Zainuddin, Muhammadiyah seharusnya mulai berbicara politik kekuasaan. Bukan hanya bicara politik kebangsaan. ”Di kabinet kita hanya punya satu menteri, Menko PMK. Karena itu harus serius dan jelas dalam politik kekuasaan,” katanya.
Politik kebangsaan itu politik yang berbicara tentang filosofi, norma, nilai, yang perlu ditumbuhkan. Politik kebangsaan ini membutuhkan politik kekuasaan supaya menjadi realitas politik.
”Di Muhammadiyah gudangnya sosok politik kebangsaan, seperti Buya Syafii, Prof Din Syamsuddin, Prof Haedar Nashir , Prof Abdul Mu’I, ulasnya.
Harus disadari, ujar Zainuddin, dalam politik kekuasaan kita masih mualaf, sehingga banyak sekali yang harus dipelajari, diperbaiki, dan masih butuh banyak pengalaman.
”Saya yakin kalau kita mau sungguh-sungguh, serius, kita akan berhasil,” ujar Zainuddin.
Penulis Uzlifah Editor Sugeng Purwanto