Sukiman Wiryosanjoyo, Kenapa Dia Menolak Jadi Anggota DPR-GR Zaman Sukarno? oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah.
PWMU.CO – Sukiman ada di balik penggunaan istilah “Indonesia” kali pertama, sebelum Sumpah Pemuda. Lalu, pada 1951 saat menjadi Perdana Menteri dia cetuskan gagasan tunjangan hari raya (THR) yang sampai kini masih dijalankan. Kemudian, kala “dilamar” Sukarno agar bersedia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dia menolak dengan alasan yang kukuh.
Lebih jauh, siapakah tokoh bernama lengkap Sukiman Wiryosanjoyo itu? Bagaimana riwayat pendidikan dan organisasinya? Bagaimana pengabdiannya di tengah masyarakat dan pemerintahan?
Dari Solo untuk Indonesia
Sukiman Wiryosanjoyo (ejaan lama, Soekiman Wirjosandjojo) lahir pada 19 Juli 1898 di Solo. Dia lulusan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), 1922. STOVIA merupakan sekolah pendidikan kedokteran bagi rakyat pribumi pada zaman Hindia Belanda.
Tercatat, lewat STOVIA muncul tokoh-tokoh pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka melakukannya dengan pemikiran, lewat organisasi-organisasi pergerakan. Sukiman, salah satunya.
Sukiman lalu belajar di Universitas Amsterdam. Di Belanda, dia tak hanya belajar tapi juga berorganisasi. Selama di Amsterdam, Sukiman dikenal sebagai aktivis pergerakan.
Asal “Indonesia”
Dulu, kata “Indonesia” belum ada. Wilayah yang kita kenal sekarang sebagai Indonesia ini, disebut sebagai Hindia-Belanda. Adapun pihak pertama yang menggunakan “Indonesia” adalah para mahasiswa Hindia-Belanda yang belajar di Belanda.
Pada 1923 terjadi perubahan nama organisasi mahasiswa pribumi di sana, dari Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda/PHB) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia/PI). Saat peristiwa monumental itu terjadi, Ketua PHB dipegang Sukiman, mahasiswa kedokteran.
Alkisah, di masa kepemimpinan Sukiman, PHB memperingati hari ulang tahun ke-15. Pada kesempatan itulah diterbitkan Buku Peringatan yang isinya mencerminkan semangat yang menjiwai perubahan nama PHB menjadi PI. Ketika itu pula dideklarasikanlah dasar-dasar perjuangan PI yang pada pokoknya menekankan ideologi kesatuan.
Pada 1925, tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda, para mahasiswa pribumi di Belanda resmi melekatkan kata Indonesia untuk nama organisasinya. Pada kongresnya di tahun 1926, kata Indonesia digunakan oleh organisasi Indonesia Muda.
Alhasil, kata Lukman Hakiem, “Para mahasiswa aktivis Perhimpunan Indonesia itulah yang sesungguhnya merupakan pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.” Baca Belajar dari Sikap Perwira Soekiman Wirjosandjojo.
Langkah di Muhammadiyah
Pada 1926, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yaitu Syuja’ mendapat amanah melakukan penelitian tentang kondisi jamaah haji Indonesia dan menjajaki kemungkinan cara memperbaikinya. Atas hal itu, Fachrodin yang menjabat Wakil Ketua I mengganti sementara pimpinan bagian PKU.
Pada tahun yang sama, 1926, dokter di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, yaitu dr Sumowidagdo, ditarik oleh pemerintah. Tentu, PP Muhammadiyah harus mencari dokter penggantinya. Fachrodin menyanggupi untuk mencarikan pengganti yang dimaksud.
Tak lama, Fachrodin mendapat seorang dokter tamatan Belanda yaitu dr Sukiman Wiryosanjoyo. Dia diminta untuk menggantikan dr Sumowidagdo sebagai Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Di samping sebagai aktivis pergerakan nasional, sebelum dan setelah Indonesia merdeka, Sukiman tetap berkhidmat di Muhammadiyah. Di Muktamar Muhammadiyah ke-34 pada 1959, Sukiman terpilih menjadi Ketua Majelis Hikmah.
Sementara, pada Muktamar ke-36 Muhammadiyah di Bandung pada 1965, Sukiman diamanahi sebagai Penasihat PP Muhammadiyah bersama M. Yunus Anis, Hadjid, Faqih Usman, Sarjono, Sutan Mansur, dan Hamka (Ensiklopedi Muhammadiyah, 2015: 747-748).
Nama Sukiman ada di antara puluhan tokoh yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini memiliki peran penting, merumuskan falsafah negara dan konstitusi.
Jejak untuk Bangsa
Sukiman aktivis tulen. Hidupnya, untuk masyarakat. Di sidang 4 Desember 1938 di Solo, diputuskan berdirinya Partai Islam Indonesia (PII). Di partai itu, Wiwoho Purbohadijoyo terpilih sebagai Ketua dan Sukiman sebagai Wakil Ketua. Adapun anggota-anggotanya ialah Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakir, Farid Ma’ruf, dan Rasyidi.
Pada 14 dan 15 September 1940, diselenggarakan Konferensi Majelis Islam Islam A’la Indonesia (MIAI). Di antara hasilnya, mengubah status sekretariat menjadi Dewan MIAI dengan pengurus: Sukiman mewakili PII dan Mas Mansur mewakili Muhammadiyah duduk sebagai anggota pimpinan di MIAI.
Pada masa pendudukan Jepang nama MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kedudukannya, dipindahkan ke Jakarta.
Nama Sukiman ada di antara puluhan tokoh yang menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini memiliki peran penting, merumuskan falsafah negara dan konstitusi.
Di alam merdeka, pada 7-9 November 1945 berlangsung Kongres Umat Islam yang bertempat di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada kesempatan itu, Masyumi diperbarui bentuknya menjadi Partai Masyumi. Sukiman-pun terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar dan KH Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Majelis Syuro.
Selanjutnya, ada beberapa jabatan pemerintahan strategis, yang dipercayakan kepada Sukiman. Misalnya sebagai anggota Dewan Penasihat Tinggi RI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri (semuanya di Kabinet Hatta).
Juga, Sukiman sebagai Ketua Sentral Komisariat Pemerintah Darurat di Jawa, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Umum Pemerintah Darurat RI, Menteri Negara Kabinet Hatta, anggota delegasi RI di Konferensi Meja Bundar (KMB), dan Perdana Menteri dalam Kabinet Sukiman-Suwiryo 1951-1952.
Saat menjadi Perdana Menteri, ada jejak yang tergolong istimewa. Bahwa, awal pemberian tunjangan hari raya (THR) terjadi pada era kabinet Sukiman dari Partai Masyumi. Pada 1951 Sukiman memiliki program kerja meningkatkan kesejahteraan para pegawai sipil (PNS sekarang, ASN). Di antaranya, pembagian THR. Di tahun berikutnya, 1952, THR juga diberikan untuk pegawai perusahaan swasta (https://bisnis.tempo.co/read/1461895/kisah-tunjangan-hari-raya-tahukah-pertama-kali-munculnya-thr).
Catatan di Pendidikan
Sukiman salah seorang penggagas Sekolah Tinggi Islam (kini, Universitas Islam Indonesia, UII). Pada 8 Juli 1945, Sekolah Tinggi Islam resmi didirikan di Jakarta. Lalu, pada 10 April 1946, Sekolah Tinggi Islam (STI) resmi dibuka di Yogyakarta. Pada 14 Desember 1947, Panitia Perbaikan STI menetapkan STI menjadi Universitas Islam Indonesia berkedudukan di Yogyakarta. Pada 5 Juni 1948, resmi Universitas Islam Indonesia (UII) dibuka.
Belakangan, nama Sukiman ada di antara nama-nama tokoh nasional yang diabadikan oleh UII sebagai nama-nama gedung mereka. Adapun nama lain, seperti Prof KH Abdul Kahar Mudzakkir, GBPH Prabuningrat, Prof Dr Sardjito, Mohammad Natsir, KH Mas Mansur, KH Wahid Hasyim, Moh. Hatta, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sepenuh Teladan
Ada keteladanan lain dari Sukiman. Bahwa, pada 1960, Presiden Sukarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1955. Sebagai gantinya, Sukarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang semua anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden.
Terkait itu, Sukarno meminta kesediaan Sukiman untuk menjadi anggota DPR-GR sebagai wakil dari kalangan cendekiawan. Bahkan, konon Sukarno berniat menjadikan Sukiman sebagai Ketua DPR-GR.
Sukiman menolak tawaran itu karena merasa tidak mengerti mengapa dirinya diistimewakan oleh Presiden Sukarno. Bukankah, Presiden telah membubarkan DPR hasil pilihan rakyat yang di dalamnya ada Masyumi? Lalu, mengapa dirinya yang orang Masyumi akan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR?
Alasan lain, Sukiman menilai keputusan Sukarno membubarkan DPR hasil pemilu dan kemudian membentuk DPR-GR yang anggotanya ditunjuk presiden menyalahi Undang-Undang. Juga, Sukiman memilih untuk bersikap setia kawan kepada teman seperjuangan. Bahwa, dalam pikiran Sukiman, banyak kawan-kawannya yang dipenjarakan Sukarno seperti antara lain Natsir dan Roem. Maka, dia menolak untuk diangkat menjadi anggota DPR-GR.
Sukiman memilih sikap perwira. Itulah, di antara pelajaran besar dari Sukiman. Bahwa jabatan publik semata-mata hanya sebagai media dalam kerja-kerja pengabdian di tengah masyarakat dan sama sekali bukan tujuan.
Sukiman Wiryosanjoyo wafat di Yogyakarta pada 23 Juli 1974, dalam usia 76 tahun. Rasanya, terutama sekarang ini, tak cukup banyak yang mengetahui berbagai jejak kebaikannya untuk bangsa ini. Tetapi, pejuang sejati memang tak butuh tepuk tangan manusia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post