Pengadilan Pembunuh 6 Laskar FPI oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Pengadilan atas pembunuhan 6 anggota Laskar FPI mulai digelar Senin, 18 Oktober 2021 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dua terdakwa yang dihadapkan di meja hijau adalah Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella. Hakim Ketua yang mengadili yaitu M Arif Nuryanta dengan anggota Haruno dan Elfian.
JPU Zet Tarung Allo membacakan dakwaan atas delik pembunuhan dan penganiayaan dengan pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) KUHP jo pasal 351 ayat (3) KUHP.
Bagi yang mengikuti dan mendalami peristiwa 7 Desember 2020 di KM 50 Tol Cikampek tersebut tentu bakal menyimpulkan bahwa peradilan yang dilaksanakan saat ini adalah bagian dari rekayasa kasus. Tipu-tipu hukum.
Ada beberapa alasan untuk itu, yaitu
Pertama, terdakwa hanya dua anggota kepolisian Metro Jaya. Meskipun satu dinyatakan meninggal, namun pembunuhan dan penganiayaan terhadap enam anggota laskar FPI dipastikan melibatkan banyak personal baik pelaku (pleger), penyerta (medepleger) maupun yang menyuruh (doenpleger). Adapula penganjur (uitlokker).
Kedua, pembunuhan dan penganiayaan dengan kondisi jenazah yang mengenaskan adalah kejahatan yang sangat keji. Pembunuh seperti ini tidak boleh dibiarkan bebas berkeliaran. Nyatanya kedua terdakwa bukan hanya tidak ditahan, tetapi terkesan mendapat perlindungan yang luar biasa.
Ketiga, dalam dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, pembunuh itu hanya polisi penumpang dari mobil K 9143 EL (menembak mati dua laskar) dan B 1519 UTI (membunuh empat laskar). Padahal yang terlibat faktanya lebih dari dua mobil.
Mengapa jaksa menyembunyikan penumpang mobil B 1839 PWQ dan B 1278 KJL? Begitu juga mobil ”komandan” Land Cruiser. Komnas HAM merekomendasi untuk membuka kedok siapa penumpang tiga mobil yang diduga kuat terlibat tersebut.
Keempat, peristiwa pembunuhan itu berawal penguntitan dan pembunuhan artinya terencana. Oleh karenanya pembunuhan ini harus dapat dikualifikasi sebagai pembunuhan berencana. Pasal 340 KUHP semestinya didakwakan pula. Ancaman bagi pelaku menurut pasal ini adalah pidana mati atau seumur hidup.
Kelima, peristiwa ini di samping diawali penguntitan juga berdasarkan adanya tiga Surat Tugas. Konsekuensinya adalah atasan kedua tersangka di Polda Metro Jaya harus ditarik sebagai tersangka.
Dengan awal penguntitan dan Surat Perintah maka ada upaya sistematik. Artinya ini adalah pelanggaran HAM berat yang mesti diadili oleh Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pengadilan pidana biasa di PN Jakarta Selatan dapat menjadi peradilan sesat. Banyak pihak yang dilindungi dalam kasus ini. Kedua tersangka adalah dua anggota polisi yang memang sengaja dikorbankan.
Meskipun demikian meski saat ini rezim melalui proses peradilan dapat bersandiwara akan tetapi kelak jika berganti bukan hal yang tidak mungkin kasus yang telah dianggap selesai pada peradilan ini akan dibuka kembali.
Allah SWT tidak tidur dan tidak pernah berpihak pada kaum yang zalim. (*)
Bandung, 20 Oktober 2021
Editor Sugeng Purwanto