Hari Santri Membangun Jiwa Merdeka oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Hari ini, 22 Oktober 2021, diperingati sebagai Hari Santri yang dijadikan sebagai penghargaan atas peran santri dan ulama pesantren dalam upaya melawan penjajah Belanda yang membonceng Inggris (Sekutu) untuk menjajah kembali Republik Indonesia.
Pada 22 Oktober 1945 itu, Hadratus-syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menyerukan Resolusi Jihad di Surabaya untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.
Santri dan ulama dari Jawa Timur serta banyak elemen pemuda bahkan dari luar Jawa Timur datang ke Surabaya. Akibatnya terjadi pertempuran hebat pada 10 November 1945. Beberapa perwira tinggi Inggris yang berhasil mengalahkan Nazi Jerman dan pasukan Jepang dalam Perang Dunia II malah jadi korban di Kota Pahlawan.
Resolusi Jihad 1945 itu adalah penanda untuk kesekian kalinya umat Islam bangkit melawan penjajah Belanda sejak awal kehadirannya di nusantara sekitar 400 tahun silam.
Perlawanan terpenting santri dan ulama melawan Belanda dalam sejarah bangsa ini adalah perang Diponegoro sekitar 200 tahun silam (1825-1830). Perang selama 5 tahun ini telah berhasil membangkrutkan Kongsi Dagang Belanda VOC sehingga penjajahan di nusantara harus diambil alih oleh Kerajaan Belanda.
Perlu dicatat, bahwa VOC merupakan kongsi dagang terkaya di dunia yang memonopoli perdagangan rempah dan berbagai produk perkebunan di dunia selama 200 tahun penjajahan Belanda di nusantara itu.
Mengapa pesantren memiliki etos perlawanan menghadapi penjajahan? Etos ini memang menjadi bagian penting dalam ajaran Islam. Dalam Islam, melawan penjajah adalah membebaskan umat manusia dari penghambaan pada manusia menjadi penghambaan pada Allah Tuhan Yang Mahaesa.
Itulah yang dikatakan oleh sahabat Nabi, Sa’ad bin Abi Waqqash, saat bertemu dengan Rustum bin Fakhrazad, kaki tangan Yazdigird raja Persia.
Dakwah dan jihad hingga perang mempertahankan jiwa, harta, rumah dan negara adalah panggilan iman agar manusia dapat kelaksanakan Islam dengan sepenuh-penuhnya.
Penting dicermati oleh para santri dan kiai pemimpin pesantren bahwa kemerdekaan (dari penjajahan, perbudakan) adalah konsep kunci dalam pendidikan. Oleh Nabiyullah Luqman, kemerdekaan ini dirumuskan sebagai la tusyrik billah, tidak menyekutukan Allah swt.
Tujuan terpenting pendidikan adalah membangun jiwa merdeka, bahkan bukan membangun akhlak mulia, kompetensi, dan daya saing. Tiga yang terakhir ini memang penting, tapi tidak ada artinya tanpa jiwa merdeka.
Oleh para pendiri bangsa, jiwa merdeka itu adalah prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Ini dipertegas oleh Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantoro.
Sayang sekali, sistem pendidikan nasional sejak Orde Baru hingga hari ini justru dibajak oleh kaum sekuler radikal melalui persekolahan massal paksa menjadi sekadar instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin dan taat bekerja bagi kepentingan pemodal, terutama asing.
Melalui UU Pesantren 2019, pesantren secara halus akan disekolahkan melalui berbagai skema teknokratik sehingga akan kehilangan jati dirinya sebagai pesantren yang mandiri untuk melahirkan muslim dan muslimah muda dengan pemahaman Islam yang utuh.
Jika santri dahulu merespon Resolusi Jihad dengan semangat hidup mulia atau mati syahid, saya khawatir santri-santri masa depan tidak jauh berbeda dengan murid-murid sekolah pada umumnya yang masih khawatir tidak memperoleh pekerjaan setelah lulus sarjana sekalipun.
Melalui UU Omnibus Law dan rangkaian UU lainnya, proses penjongosan politik maupun ekonomi atas bangsa ini akan semakin menjadi-jadi. Kita tidak menghendaki ini terjadi.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 22/10/2021
Editor Sugeng Purwanto