Kementerian Agama menjadi polemik gara-gara Gus Yaqut menyebut kementerian itu hadiah buat NU.
PWMU.CO– Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menulis, masih saja ada yang belum beranjak akil-balig dalam berbangsa dan bernegara. Semisal elite negeri yang menyatakan suatu Kementerian Negara lahir diperuntukkan golongan tertentu dan karenanya layak dikuasai oleh kelompoknya. Suatu narasi radikal yang menunjukkan rendahnya penghayatan keindonesiaan.
Tulisan Haedar Nashir itu menyindir Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyatakan, Kementerian Agama itu hadiah negara untuk NU (Nahdlatul Ulama) bukan untuk umat Islam secara umum. Tetapi spesifik untuk NU. Jadi wajar jika NU memanfaatkan peluang yang ada di Kemenag.
Yaqut menjelaskan, lahirnya Kemenag dilatarbelakang oleh penghapusan Piagam Jakarta, yang berisi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Usulan ini, menurut Yaqut, berasal dari NU, sehingga lahirlah Kemenag.
Praktik paradoks seperti itu, menurut Haedar, sama gawatnya terjadi pada dunia politik, ekonomi, dan kekayaan alam yang dikuasai oleh sekelompok kecil pihak dan ramai-ramai membangun sangkar besi oligarki.
”Negara Republik Indonesia yang susah payah diperjuangkan kemerdekaannya oleh seluruh rakyat dengan segenap jiwa raga, direngkuh menjadi miliknya,” tandas Haedar.
Menurut Haedar, inilah ironi keindonesiaan. Suatu ironi bernegara yang sejatinya berlawanan arus dengan gempita Aku Pancasila, Aku Indonesia, Aku Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI harga mati. Ironi sebagai bukti, Indonesia ternyata belum menjadi milik semua!
Sejarah Kemenag
Peminat sejarah Arta Abu Azzam dalam Facebook menulis sejarah Kementerian Agama untuk meluruskan pemahaman Yaqut itu.
Dia merujuk kepada buku Utang Republik pada Islam tulisan Lukman Hakiem, mantan jurnalis, mantan anggota DPR, tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Buku itu diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada bulan Oktober 2021 ini.
Lukman Hakiem menulis, dalam Sidang BPUPKI 11 Juli 1945 Mohammad Yamin mengusulkan perlu dibentuk Departemen Islamiyah untuk mengurusi masalah Islam. Usulan itu tidak berkaitan dengan penghapusan tujuh kata Pancasila.
Lalu panitia kecil terdiri dari Otto Iskandar Dinata, Achmad Subardjo, Sajoeti, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, Amir, Hamidhan, Ratulangi, dan I Ketut Pudja, mengusulkan dibentuknya tiga belas kementerian, di antaranya ada Kementerian Urusan Agama.
Usul pembentukan Kementerian Urusan Agama ditolak oleh Mr Johannes Latuharhary. Menurutnya, jika kementerian itu dibentuk, masing-masing agama akan tersinggung jika menterinya bukan dari mereka. Latuharhary mengusulkan urusan agama dimasukkan dalam Kementerian Pendidikan.
Penolakan juga disuarakan oleh Iwa K Sumantri dan Ki Hajar Dewantara. Tokoh pendiri Taman Siswa meminta urusan agama dimasukkan ke dalam Kementerian Dalam Negeri. Ketika pemungutan suara, pengusung Kementerian Agama kalah. Akhirnya usul itu dihapus dan diganti dengan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Usulan Masyumi
Keputusan voting ini menimbulkan tanda tanya. Sebab sejak zaman Belanda sampai Jepang sudah ada lembaga khusus urusan agama. Mengapa setelah merdeka justru tidak ada?
Atas dasar itu, tiga orang tokoh Partai Masyumi dari KNI Banyumas: KH Abudardiri, H Moh Saleh Suaidy, dan M Sukoso Wirjosaputro dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di bulan November 1945 mengusulkan agar ada kementerian khusus yang mengatur urusan agama.
KH Abudardiri itu Ketua Muhammadiyah Banyumas. H Moh Saleh Suaudy juga orang Muhammadiyah. Usulan tiga aktivis Partai Masyumi itu mendapat respon dari anggota KNIP yang terdiri dari Moh. Natsir, Dr Mawardi, Dr Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo, dan lainnya.
Lalu dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI, ketika membahas kementerian yang dibentuk terjadi perdebatan perlu tidaknya Kementerian Agama.
Presiden Sukarno dalam sidang itu memberi isyarat kepada Wakil Presiden Moh. Hatta yang disambut dengan pernyataan Hatta sambil berdiri, ”Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.”
Pada tanggal 14 November 1945 Kabinet Sutan Sjahrir dibentuk terdiri atas 16 Kementerian, termasuk Kementerian Negara yang bertugas mengurusi soal peribadatan. HM Rasjidi, tokoh Partai Masyumi, ditunjuk sebagai Menteri Negara itu.
Dua bulan setelah menjadi Menteri Negara, HM Rasjidi ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir menjadi Menteri Agama.
Pada tanggal 3 Januari 1946, melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI) HM Rasjidi diumumkan secara resmi sebagai Menteri Agama.
Pada saat itu juga Kementerian Agama resmi berdiri. Rasjidi mengatakan, umat Islam patut bergembira dan bersyukur. ”Dengan adanya Kementerian Agama, urusan keislaman yang selama ini terbengkalai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya lagi ditangani oleh orang Islam sendiri,” ujar Rasjidi dalam pidatonya.
Hari di mana HM Rasjidi berpidato pada 3 Januari 1946 itu sampai hari ini diperingati sebagai Hari Amal Bakti Kementerian Agama.
Kiprah HM Rasjidi
Wakil Menteri Penerangan, Mr Ali Sastroamidjojo, melalui RRI Yogyakarta, pada 4 Januari 1946, mengulangi kembali pengumuman tentang berdirinya Kementerian Agama.
Ia mengatakan, di dalam urusan Pemerintah Agung diadakan kementerian baru, ialah Kementerian Agama yang dipimpin oleh saudara H Rasjidi sebagai menteri. Sebagai umum sudah mengetahui, Paduka Tuan H Rasjidi tamat Sekolah Tinggi Islam di Kairo, Mesir, dan salah seorang pemimpin dari Partai Masyumi.
Beliau adalah Guru Besar dari Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Ketika Kabinet Sjahrir dibentuk, beliau diangkat menjadi Menteri Negara. Beliau adalah seorang ahli filsafat Islam yang terkenal.
HM Rasjidi adalah tokoh yang memiliki jasa dalam diplomasi di luar negeri, bersama Haji Agus Salim, AR Baswedan, dan Sutan Pamuntjak, menggalang dukungan dunia Islam bagi kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan.
Selain lulus dari Al-Azhar Mesir dan Sorbonne, Prancis, Rasjidi adalah lulusan Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Malang. Rasjidi belajar di bawah bimbingan tokoh pendiri Al-Irsyad, Syaikh Ahmad Surkati.
Nama Rasjidi adalah pemberian Syaikh Surkati yang awalnya kesulitan menyebut nama aslinya, Saridi.
Jika lahirnya Kementerian Agama itu hadiah khusus dari negara untuk NU, kenapa yang dijadikan menteri agama pertama HM Rasjidi, tokoh Masyumi, murid dari Syaikh Surkati, dan orang Muhammadiyah? (*)
Editor Sugeng Purwanto