Tantangan Kampus Merdeka oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Pekan lalu Mendikbudristek Nadim Makariem mendesak pelaksanaan kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka pada para rektor.
Salah satu aspek penting kebijakan ini adalah dari 8 semester pendidikan sarjana, 3 semester di antaranya dilakukan di luar Prodi (manapun) di mana 1 semester (20 SKS) di kampus, 2 di antaranya di luar kampus (magang industri, studi kasus, projek dsb).
Gagasan dasarnya adalah pekerjaan masa depan memerlukan kompetensi multi-disiplin. Pengalaman belajar di industri dan bisnis akan memberikan pengalaman belajar integratif yang dibutuhkan untuk bekerja atau memulai bisnis baru di masa depan.
Kebijakan Kampus Merdeka ini berarti bahwa 3/8 masa studi mahasiswa akan dilakukan di luar Prodi mahasiswa yang bersangkutan terdaftar.
Banyak prodi konvensional harus meninjau ulang kurikulumnya untuk memenuhi kebijakan baru ini. Diduga banyak Prodi yang tidak rela menyerahkan paling tidak 20 SKS beban studinya ke Prodi lainnya.
Dikhawatirkan kompetensi sasaran yang direncanakan tidak akan tercapai jika sekitar 50 SKS beban studi harus dilepas ke insitusi lain, terutama bisnis dan industri.
Empat Asumsi
Skema Kampus Merdeka ini menarik, namun menimbulkan tantangan yang perlu diantisipasi. Kesuksesan kebijakan ini tergantung pada beberapa asumsi berikut yang di luar kendali Prodi bahkan universitas.
Pertama, satuan industri atau bisnis bersedia dan siap menjadi mitra kerja yang memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan.
Kedua, mahasiswa memiliki kemandirian dan kelenturan untuk terjun ke masyarakat.
Ketiga, pembelajaran di luar Prodi sebesar 20 SKS dapat dilaksanakan dengan tertib melalui sistem administrasi perkuliahan lintas-prodi, lintas-kampus.
Keempat, aspek-aspek keuangan kebijakan ini dapat diselesaikan oleh pihak-pihak yang sepakat melaksanakan kebijakan ini. Dua asumsi terakhir dapat dengan cepat dan mudah diwujudkan.
Asumsi pertama akan cukup sulit untuk dipenuhi. Pengelolaan Kerja Praktik selama ini menunjukkan jumlah industri yang cocok dan mampu melaksanakan program magang calon sarjana terbatas, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang akan magang.
Skala bisnis dan industri ini harus cukup besar. Satuan bisnis atau industri yang berskala lebih kecil jumlahnya cukup banyak. Ini bisa menyerap mahasiwa magang dalam jumlah besar. Jika mahasiswanya mandiri dan kreatif, hal ini akan berdampak positif bagi satuan bisnis atau industri itu. Beberapa skema insentif bisa dirumuskan agar magang ini berlangsung sukses.
Asumsi kedua, yaitu mahasiswa memiliki kemandirian dan kelenturan terjun ke masyarakat lebih sulit lagi dipenuhi. Hemat saya, ini sebagian besar akan ditentukan oleh hasil pendidikan mereka sebelum kuliah.
Sekolah menengah lazim tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang mandiri, dan produktif atau siap bekerja. Lulusannya diharapkan melanjutkan kuliah. Warga muda yang sudah punya pengalaman kerja lebih cocok dengan skema baru Mendikbudristek ini.
Ini terjadi di beberapa universitas di Eropa. Sebelum kuliah mereka sudah memiliki pengalaman kerja yang lumayan.
Penting dicermati, penyiapan lulusan sekolah menengah yang mandiri dan siap bermasyarakat justru dihambat oleh persekolahan yang menyita banyak waktu murid untuk menyiapkan kelulusan yang sangat akademik sekaligus seleksi masuk universitas.
Interaksi murid sekolah dengan kehidupan di luar sekolah sangat terbatas. Full day schools bahkan boarding schools marak dan dinilai lebih baik. Akibatnya banyak alumni sekolah menengah yang kurang bermasyarakat namun diterima di perguruan tinggi favorit.
Sistem seleksi calon mahasiswa baru harus diganti agar sinyal yang tepat sampai pada pengelola persekolahan. Jika seleksinya masih sangat akademik seperti saat ini, maka tantangan Kampus Merdeka jadi besar.
Lagi pula, jika lulusan pendidikan menengah sudah mandiri, sehat dan produktif, demand pada pendidikan tinggi akan menurun dengan sendirinya. Kampus bisa lebih merdeka.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 26/10/2021
Editor Sugeng Purwanto