PWMU.CO– KH Abu Dardiri, nama ini ikut viral setelah pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang melenceng menceritakan sejarah Kementerian Agama yang disebut hadiah pemerintah spesifik untuk NU.
KH Abu Dardiri adalah aktivis Partai Masyumi anggota Komite Nasional Indonesia Banyumas. Dia bersama H Moh Saleh Suaidy dan M Sukoso Wirjosaputro menjadi utusan KNI Banyumas menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 25 November 1945.
Mereka membawa usulan dibentuknya kementerian khusus yang mengatur urusan agama. Usulan itu mendapat dukungan anggota KNIP dari Masyumi seperti Moh. Natsir, Dr Mawardi, Dr Marzuki Mahdi, Kartosudarmo,
Akhirnya Perdana menteri Sutan Sjahrir membentuk kabinet 16 Kementerian pada tanggal 14 November 1945. Di dalamnya ada Kementerian Negara Urusan Agama yang dipercayakan kepada HM Rasjidi, tokoh Partai Masyumi.
Tanggal 3 Januari 1946 lewat RRI, Kementerian Negara itu berubah menjadi Kementerian Agama. HM Rasjidi, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah, ditetapkan menjadi Menteri Agama pertama.
Pengusaha Percetakan
Lantas siapakah KH Abu Dardiri? Dia lahir di Gombong, Kebumen, 24 Agustus 1895. Wafat di usia 72 tahun pada 1 Agustus1967 di Purwokerto.
Mengutip muhammadiyah.or.id yang menulis berdasarkan buku Riwayat Hidup KH Abu Dardiri tulisan Junus Anis, menyebutkan, dia sosok ulama yang juga pengusaha. Dengan hartanya itu membantu kepentingan umat dan pergerakan.
Waktu muda bekerja sebagai pegawai kereta api. Lalu pindah kerja ke Pabrik Gula Bojong Purbalingga dan berkeluarga.
Sewaktu Muhammadiyah Cabang Purbalingga berdiri tahun 1920, Abu Dardiri terpilih menjadi ketua.
Namun kemudian datang ujian. Dia diberhentikan dari pekerjaannya. Istrinya juga sakit sehingga diantar untuk istirahat ke Gombong bersama keluarganya. Dia menjual jas lebih dulu untuk biaya perjalanan pulang ke kota kelahirannya.
Dalam perjalanan ke Gombong, dia bertemu teman lamanya yang menawarkan kerja di Pabrik Gula Solo. Tawaran itu diterimanya.
Bekerja di Solo, dia ada peluang usaha berjualan alat ikat tebu. Dari bisnis ini dia bisa mengobatkan istrinya dan berangkat haji.
Tahun 1940 saat ada Konferensi Muhammadiyah Daerah, Dardiri terpilih menjadi Konsul Muhammadiyah Banyumas. Karena itu dia dan keluarganya pindah ke Purwokerto, ibukota Banyumas.
Dengan modal yang dimiliki, dia membuka usaha percetakan steendrukkerij.di kota ini. Produksinya sudah mencapai 500 lembar kertas per hari. Bisnis percetakannya terus berkembang.
Di zaman Jepang, usaha percetakan tetap jalan. Karena dia aktif di Muhammadiyah, pemerintah militer Jepang mengangkatnya sebagai Syumokatyo atau Kepala Jawatan Agama Karesidenan Banyumas.
Dia mengusulkan supaya Sekolah Rakyat (SR) diadakan guru dan pelajaran agama. Permintaan itu dipenuhi oleh pemerintah militer Jepang.
Zaman kemerdekaan tahun 1945, Dardiri diangkat menjadi Ketua Partai Masyumi Purwokerto sehingga masuk dalam Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Banyumas. Dalam KNI ini kiprah dakwahnya makin dikenal luas hingga menjadi utusan rapat KNIP mengusulkan berdirinya Kementerian Agama itu.
Kiprah dakwahnya di Muhammadiyah masih berdiri hingga kini. Seperti pembangunan Gedung Balai Aisyiyah Kauman di Purwokerto, Masjid Desa Jompo Sokaraja, Mushala di Gombong, Asrama Pesantren Pondok Modern Purwokerto, dua masjid di Gombong, tanah untuk Aisyiyah Gombong, masjid Desa Buayan Kuwarasan, Madrasah Tanjungsari. (*)
Editor Sugeng Purwanto