PWMU.CO – Duet Din Syamsuddin-Ustadz Wijayanto Kupas Beragama di Era Disrupsi. Keduanya memaparkan pada Pengajian Orbit Virtual, bertopik “Pesan Maulid Nabi untuk Beragama di Era Disrupsi”, Kamis (28/10/2021).
Prof M Din Syamsuddin MA PhD, dalam sambutannya, menerangkan maksud ‘disrupsi’ pada tema pengajian virtual malam itu. “Disruption (disrupsi), dunia yang sedang mengalami gangguan besar,” ujarnya.
Era Disrupsi
Pembina Orbit itu mengatakan, peradaban manusia sekarang ditandai munculnya berbagai bentuk kerusakan. Selain itu, ada juga yang menyebutnya sebagai the world of uncertainty. “Dunia serba tak pasti, telah terjadi pergeseran,” imbuh Pembina Yayasan Orbit Din Syamsuddin.
Kemudian, dia mengutip pendapat salah satu mantan kepala negara, “Apa yang kita hadapi saat ini, community global damages, kerusakan-kerusakan dunia yang bersifat akumulatif.”
Covid-19 sebagai pandemi menurut Bang Din (disingkat BD)—sapaan akrabnya di kalangan Orbiters—hanya salah satu penjelmaan kerusakan dunia itu. “Ketika ditelusuri asalnya, sistem dunia yang mengarahkan kehidupan umat manusia ini tidak bertumbuh pada Tuhan,” ungkapnya.
Tidak berdasarkan teosentrisme (berpusat pada agama), tapi atroposentrisme (pusat kesadaran ada pada diri manusia sendiri). “Manusia yang sombong, angkuh, takabur, merasa serbabisa menciptakan kehidupannya,” terang Bang Din.
Menurutnya, inilah akibat liberalisasi (kebebasan) melanda dunia. “Apa pesan Islam? Apa pesan kehadiran dan pelajaran Nabi Muhammad SAW yang beberapa hari lalu kita peringati kelahirannya?” tanya dia memantik pemaparan Ustadz Wijayanto di ruang Zoom itu.
Tiga Perasaan Dominan
Merujuk Surat ar-Rum, Drs H Wijayanto MA menyatakan sekarang telah tampak kerusakan luar biasa di laut dan di darat, di seluruh dunia. Solusinya, kata Ustadz Wijayanto , ada pada al-Ahzab ayat 21: Laqad kanalakum fi rasulullah uswatun hasanah.
Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Ustadz kondang itu lantas memaparkan tiga perasaan dominan di seluruh umat di era disrupsi yang mengglobal. Yaitu fear (ketakutan), uncertainty (ketidakpastian), dan doubt (keraguan).
Pertama, ketakutan terhadap semua aspek kehidupan sekaligus ketidakpastian. Yang mana, semua tidak bisa memprediksi dengan baik.
“Bukan hanya karena pandemi, juga karena gempa, erupsi, tsunami, banjir, ekonomi, sosial, politik, keamanan, pencurian, segala macam,” urainya.
VUCA, 4 Perubahan
Maka, kata Ustadz Wijayanto, terjadi empat perubahan yang sering disebut VUCA. Pertama, volatility. “Ada perubahan yang meledak, berubah dengan cepat dan labil,” terangnya.
Ini, tambahnya, tidak seperti revolusi yang arah perubahannya jelas. Kedua, uncertainty, situasi di mana semua sulit memprediksi dengan benar. Misal, “Apakah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan membaik?”
Ketiga, complexity. Untuk menjelaskan ini, dia mengutip bahasa Pak Jokowi, “Ruwet, ruwet, ruwet!”
Keempat, ambiguity, ketidakjelasan semua hal. “Untuk itulah Rasulullah hadir!” tegasnya.
Disrupsi Kini
Mengupas disrupsi kini, Ustadz Wijayanto menggambarkan dari sisi teknologi. Apa-apa serba artificial intelligence, serba robot, mesin, dan bioteknologi.
Dari segi ekonomi, dia mengungkap, di e-commerce—seperti Shopee, Lazada, Grab, Gojek, dan lainnya—semua serba ada, sehingga membuat suatu perubahan.
“Sampai-sampai orang naik Gojek itu, karena kebiasaan kalau diantar suami pasti cium tangan. Diantar Gojek, turun langsung cium tangan padahal itu sopir Gojek,” candanya.
Dari segi pendidikan pun menurutnya juga ada perubahan luar biasa. Para dosen dibuat mati gaya. Dia menyindir, “Saya kalau ngajar harus pakai dasi karena pascasarjana, tapi mahasiswa sekarang ‘pintar’.”
Mereka mematikan kamera saat bergabung kelas virtual, lalu kurang menyimak penjelasannya. “Saya baru serius lima menit saja langsung billahitaufiq wal hidayah, bismika Allahumma ahya wabismika amut, sudah sampai sidratul muntaha,” tambahnya.
Ketika dia absen dan minta mereka menghidupkan kamera, ternyata tampak mahasiswa kuliah memakai daster, bahkan sambil tiduran. Padahal, dosennya pakai dasi.
“Sakitnya bukan di sini!” ujarnya sambil menunjuk hati. “Tapi di sini, tembus sampai belakang sini!” tuturnya sambil menunjuk punggung.
Sekarang keilmuan kalah dengan teknologi. “Mohon maaf, sekarang kiai yang lama nyantri di pesantren, kalah dengan kiai Google, dengan syekh Youtube, dengan ustadz WA,” ungkapnya.
Tantangan
Menurutnya, nanti ada beberapa tantangan dalam keberagaman kini. Seperti halnya pada fenomena hijrah yang ramai belakangan.
Dia mengumpamakan hijrah seperti pendulum. Dulu ekstrem kiri, sekarang hijrah ekstrem kanan yang luar biasa. “Yang tadinya serba boleh, sekarang serba haram, salah, bid’ah, sesat,” terangnya.
Selain itu juga ada keyakinan bahwa kebenaran hanya satu. Ustadz kelahiran Surakarta itu mencontohkan, “Di luar itu sesat, zalim.”
Belum lagi, kata dia, ada banjir informasi luar biasa dengan adanya media sosial. Akibatnya, sulit dipercaya mana informasi yang benar. “Untung, dihadirkan Rasulullah!” tegasnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni