Mendompleng Hari Pahlawan oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Apakah kita masih butuh pahlawan di sebuah era di mana pragmatisme menjadi order of the day? Apakah semangat pahlawan masih relevan hari-hari ini? Apa makna Hari Pahlawan hari ini?
Kita bisa menjawab pertanyaan ini dengan mencermati sinyalemen Bung Karno bahwa Nekolim akan senantiasa mengancam Republik ini dengan berbagai cara. Terutama secara asimetris melalui proxy, neo-cortex war.
Sejak Reformasi, kekuatan-kekuatan nekolimik itu telah melakukan kudeta konstitusi melalui amandemen yang telah mengubah batang tubuh UUD 1945 menjadi UUD baru yang liberal kapitalistik.
Akibat amandemen ini, rakyat pemilih telah dipaksa menyerahkan kedaulatannya pada partai politik yang masih feodal. Karena biaya politik yang tinggi, elite partai politik harus bekerja sama dengan para taipan untuk mendukung logistik partai.
Saat ini praktis yang berkuasa adalah para oligarki, sementara rakyat hanya dijadikan jongos politik dan ekonomi. Melalui Pemilu, hak-hak politik rakyat ditransfer secara bersih ke partai politik, meninggalkan rakyat dalam kondisi yang memilukan.
Kudeta konstitusi melalui amandemen dilanjutkan dengan upaya mengubah Pancasila sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959 dengan Pancasila 1 Juni 1945.
Kelompok kiri radikal telah melakukan upaya ini melalui RUU Haluan Ideologi Pancasila dan kemudian melalui RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Jika ada tokoh nasional yang mengatakan bahwa China tidak memiliki ambisi imperial maka ia harus lebih banyak belajar sejarah. One Belt One Road adalah bukti ambisi imperial China ini.
Kita tentu tetap mewaspadai kekuatan AS dan sekutunya yang sejak Orde Baru telah menggiring Pancasila ke arah kapitalisme liberal. Negeri kepulauan bercirikan Nusantara dan memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah ini oleh kekuatan nekolimik tidak pernah dibiarkan begitu saja merdeka secara ekonomi.
Sejak KMB 1949, Republik ini harus mengikuti konstitusi IMF secara moneter dan telah dijerumuskan ke kubangan utang ribawi. Ini adalah akar kemiskinan struktural bangsa ini hingga hari ini.
Setelah Jepang menyerah lewat bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Belanda lewat tentara NICA mendompleng pasukan sekutu untuk kembali menjajah Indonesia.
Pada 22 Oktober 1945, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad. Fatwa itu menginspirasi rakyat melawan upaya penjajahan kembali itu yang kemudian mengobarkan perang 10 November 1945.
Ternyata pembonceng pasukan sekutu bukan cuma pasukan NICA tapi juga elemen PKI poros-Moskow yang tidak menghendaki kemerdekaan RI. Seperti munculnya aksi sepihak PKI di pantai utara Jawa Tengah hingga pemberontakan PKI Muso di Madiun pada 1948.
Maka resolusi jihad dalam konteks hari ini bisa kita maknai sebagai jihad konstitusi dan aksi: menghidupkan kembali cita-cita proklamasi kemerdekaan yang diamanahkan dalam Pembukaan UUD 45 dalam kehidupan ipoleksosbudhankam sehari-hari. Terutama pendidikan dan kesehatan pasca-pandemi untuk memastikan bonus demografi kita menjadi berkah.
Jika pada 10 November 1945 itu kelompok PKI Moskow diam-diam mendompleng pasukan Sekutu, hari-hari ini kesempatan mendompleng itu kemungkinan besar telah dimanfaatkan kembali oleh kelompok kiri radikal tidak saja melalui regulasi tapi juga aksi. (*)
Jatingaleh, Semarang. 7/11/2021
Editor Sugeng Purwanto