Hari Pahlawan dan Budak Imperialis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Besok kita akan memperingati satu episode penting dalam sejarah Republik ini: bagaimana para pemuda dari hampir seluruh pelosok negeri berdatangan ke Surabaya untuk menjawab ultimatum Pasukan Sekutu agar Indonesia menyerah dan kembali menjadi bagian dari negeri jajahan Belanda.
Waktu itu pasukan NICA dan juga elemen PKI poros Moskow membonceng Pasukan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II. Ultimatum itu mengobarkan pertempuran Surabaya,10 November 1945. Pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris harus kehilangan perwira tingginya.
Itu sekitar tiga bulan setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17/8/1945. Begitulah penjajah tidak pernah rela membiarkan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka.
Melalui serangkaian aksi polisionil dan perundingan, Belanda kemudian berhasil memaksakan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949. Salah satu kesepakatannya adalah Republik Indonesia diubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Jelas ini adalah kelanjutan dari strategi devide et impera yang selama hampir 300 tahun dipaksakan Belanda di nusantara sebagai bentang alam seluas Eropa dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Strategi berikutnya membebankan biaya perang Belanda di Indonesia ke pemerintah Republik dan RIS harus mengikuti prinsip-prinsip pengaturan keuangan sesuai International Monetary Fund.
Sejak itulah Republik dijebak dalam utang ribawi hingga hari ini. Upaya menjajah yang tak pernah kendor ini adalah sifat dasar para imperialis nekolim untuk memastikan pasokan bahan-bahan baku, hasil-hasil pertanian dan pertambangan yang dibutuhkan oleh revolusi Industri Barat.
Sustained imperialism ini dipertahankan melalui sebuah proxy, neo-cortex war dengan memanfaatkan tiga institusi penting industrialisasi dan westernisasi: perbankan, korporasi, dan sekolah.
Perbankan memastikan negara-negara yang baru merdeka itu masuk dalam perangkap utang ribawi, korporasi menjadi instrumen non-state actors untuk melakukan operasi pengurasan sumber-sumber daya alam atas nama investasi dan kemitraan.
Sekolah menjadi instrumen penyediaan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik dan taat bekerja bagi kepentingan pemilik modal.
Jadi Buruh
Kemerdekaan yang telah diproklamasikan dwi tunggal itu mensyaratkan budaya bangsa yang merdeka. Itu diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945 pada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun sejak Orde Baru, pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu telah dibegal oleh persekolahan menjadi sekadar instrumen teknokratik untuk kepentingan sustained imperialism tersebut.
Persekolahan juga terbukti menjadi instrumen sekulerisasi besar-besaran. Beberapa kebijakan Mendikbudristek baru-baru ini makin memperjelas misi persekolahan itu. UU no 18/2019 tentang Pesantren adalah instrumen menyekolahkan pesantren untuk dikerdilkan menjadi penyedia buruh terampil.
Gelombang industrialisasi dan pembesaran persekolahan itu telah menyebabkan peran sektor pertanian yang makin merosot, urbanisasi besar-besaran selama 40 tahun terakhir. Jika selama Orde Lama wong cilik harus menjadi tentara, atau anggota PKI untuk naik kelas sosialnya, maka sejak Orde Baru hingga hari ini, wong cilik perlu bersekolah, terutama untuk menjadi profesional, pegawai negeri, atau buruh pabrik dan toko milik para taipan asing, aseng maupun asong. Menjadi petani bukan lagi pilihan menarik bagi kaum milenials.
Merenungkan Hari Pahlawan dalam pertempuran Surabaya hampir 76 tahun silam itu sebagai upaya merebut kembali kemerdekaan dan mempertahankannya, sebagai bangsa kita perlu merumuskan kembali filosofi dan praksis pendidikan kita sebagai strategi budaya untuk menyediakan prasyarat bagi bangsa yang merdeka.
Keberadaan internet telah mengurangi dominasi persekolahan dan pandemi telah mengurangi dominasi itu lebih jauh. Dalam perspektif Hari Pahlawan 10 November untuk merebut kembali kemerdekaan itulah kita perlu merekonstruksi Sisdiknas kita menjadi instrumen budaya untuk belajar merdeka dalam rangka menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa merdeka.
Seperti amanat Ki Hadjar, kita perlu memperkuat keluarga dan masyarakat dalam Sisdiknas untuk mendidik warga muda. Peran sekolah akan jauh berkurang seperti telah terjadi selama 5 tahun terakhir ini.
Peran sekolah tidak akan dan tidak boleh sebesar dan sedominan dulu lagi. Kini kita perlu bergeser pada paradigma belajar, atau berguru, bukan bersekolah. (*)
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 9/11/2021.
Editor Sugeng Purwanto