PWMU.CO – Generasi Muslim Terpelajar Lahir dari Rahim Muhammadiyah. Demikian pernyataan Prof Dr Haedar Nashir MSi sebelum meresmikan peluncuran Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, pangkalan data, dan batik nasional dikdasmen.
Mengawali pidatonya, Haedar Nashir mengenang jasa besar almarhum Baedhowi yang sungguh-sungguh mengawal penyusunan RPJP. Berkat perjuangannya bersama tim, RPJP telah diluncurkan, Rabu (10/11/2021).
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu menyatakan, sangat mengapresiasi ikhtiar hingga akhirnya tercapai rumusan RPJP pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) “Ini mengikuti Pak Harto,” candanya, lantas terdengar gelak tawa peserta yang hadir secara terbatas di Aula PP Muhammadiyah Kantor Yogyakarta.
“Kita ambil sesuatu yang baik dari masa lalu, sehingga kita bisa mengembangkan, memperbaharui, dan menghadirkan sesuatu baru yang lebih baik,” ungkapnya.
Haedar Nashir mengakui dirinya mengikuti proses perumusan RPJP sejak awal. “Mohon maaf meneror Majelis Dikdasmen. Juga waktu presentasi di pleno PP Muhammadiyah seperti proposal disertasi dari Pak Busyro dan semua anggota PP,” kata Haedar.
Kini dia bersyukur, hasilnya bagus. “Meski tentu ada kekurangan pada setiap apa yang kita rumuskan, tapi setidaknya ini menjadi belahan yang relatif lengkap untuk membawa arah jalan pendidikan Muhammadiyah ke depan,” terangnya.
Konsep Pendidikan Muhammadiyah
Di dalamnya, kata Haedar, digambarkan tujuan RPJP mewujudkan pendidikan yang menghasilkan lulusan beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berkemajuan dalam proses pembelajaran sepanjang hayat. “Ini konsep pendidikan Muhammadiyah yang sejak Kiai Dahlan mempelopori sistem pendidikan Islam holistik, memadukan iman dan kemajuan,” ungkapnya.
Haedar ingat pada penilaian sejarawan Kuntowijoyo, dari kepeloporan pendidikan ini, Muhammadiyah telah menghasilkan generasi Muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya, juga mampu menjawab tantangan zaman.
“Dari lembaga pendidikan Muhammadiyah, termasuk dari keluarga-keluarga Muhammadiyah, gerbong generasi baru lahir!” tegas Haedar.
Pikiran Modern Tokoh Muhammadiyah
Tidak heran, kata Haedar, kalau pada awal pergulatan pemikiran keindonesiaan sejak sidang BPUPK 1 Juni sampai beberapa bulan kemudian, para tokoh Islam hadir dan menawarkan Islam modern sebagai dasar negara.
“Islam yang kompatibel dengan pemikiran-pemikiran modern, yang juga diusung oleh Soekarno-Hatta dan para tokoh yang waktu itu disebut lulusan pendidikan Barat,” ujarnya.
Haedar menyatakan waktu itu tidak ada kecanggungan perdebatan antara tokoh Islam nasionalis dengan tokoh nasionalis-religius. “Semua pemikirannya maju, juga didukung idealisme bernegara dan intelektualitas yang tinggi,” ungkapnya.
Tokoh-tokoh yang lahir dari Muhammadiyah itulah yang bisa berdialog dengan alam pikiran modern, termasuk soal negara. Haedar meluruskan, “Jadi mengajukan Islam sebagai dasar negara itu jangan dikonstruksi bahwa Muhammadiyah dan tokoh Islam saat itu eksklusif mengajukan Islam. Tidak! Itu sesuatu yang terbuka.”
Bahkan, lanjut Haedar, setelah Indonesia merdeka, itu juga berkembang sangat demokratis di sidang Konstituante. “Islam yang ditawarkan adalah Islam yang damai, memayungi semua bangsa, dan membawa pada kemajuan,” ujarnya.
Lahir dari Rahim Muhammadiyah
Haedar mengungkap, generasi Muslim terpelajar yang lahir dari rahim Muhammadiyah dan Islam modern memang saat itu paling siap masuk fase baru dunia modern. Ini lebih awal dibawa tokoh lulusan Barat di Indonesia: tokoh nasionalis tapi berjiwa religius.
Misal, Bung Karno yang pada sidang BPUPK mengatakan, “Saya kalau digali sampai dada terdalam, yang ada itu Islam. Saya Muslim, tapi saya Indonesia tulen.”
Selain lahir 15 pahlawan yang telah Sungkowo sebutkan, Haedar menambahkan dua tokoh. Pertama, Agus Salim yang merangkap di Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Dia sering hadir di sidang tahunan Muhammadiyah saat itu. Sangat dekat dengan Kiai Dahlan.
Kedua, Ketua Umum HMI Lafran Pane. Keluarganya Muhammadiyah, bahkan istrinya di PP Aisyiyah. Ke depan, dia ingin memperjuangkan agar pelopor kongres perempuan Siti Hayyinah dan Siti Munjiyah, serta Mohammad Roem.
“Kalau lahir pahlawan nasional yang banyak dari Muhammadiyah, itu bukan karena politik konspirasinya Muhammadiyah, Muhammadiyah tidak biasa oleh konspirasi!” – Haedar Nashir
Politik Kebangsaan Muhammadiyah
Haedar menyatakan, Muhammadiyah akrab dengan politik kebangsaan yang biasa-biasa saja. Yaitu yang jujur, lugas, argumentatif, dan tidak berorientasi pada kekuasaan.
“Di era orde baru sekalipun, kelahiran tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke kabinet itu tidak hasil rembukan atau minta PP Muhammadiyah,” jelasnya.
Sebab, Pak Harto menganut paham developmentalism. Yaitu paham membangun, di mana kelompok teknokratis—punya dasar-dasar keilmuan modern dan profesional—yang terpilih. “Kebetulan Muhammadiyah punya paham berkemajuan sehingga secara objektif klop, bukan secara konspirasi,” terangnya.
Dia menjelaskan ini untuk meluruskan pendapat yang beredar: Muhammadiyah di Orde Baru menguasai birokrasi dan sudah saatnya yang lain. Padahal sebenarnya tidak.
Haedar menegaskan, soal pemikiran politik terhadap kekuatan Islam kan dua per tiga dari perjalanan orde baru. Ada proses marjinalisasi politik Islam karena ada ideologisasi dan reformasi politik yang ingin murni sepenuhnya berdasarkan Pancasila.
Haedar lanjut menuturkan kondisi setelah reformasi, politiknya masih perlu konsolidasi. “Belum sepenuhnya sehat untuk kembali pada politik yang objektif, berpijak di atas semua golongan,” terangnya.
Proses demokrasi, lanjut Haedar, memang memerlukan kecerdasan visi yang luas dari para pendiri bangsa yang diterjemahkan oleh elit bangsa saat ini. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni