Tantangan Dakwah Muhammadiyah Era Digital di Usia 109 Tahun oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Bagi manusia usia 109 tahun itu masuk tua renta atau tua bangka. Tinggal menunggu mati. Tapi bagi organisasi seperti Muhammadiyah itu menunjukkan kemampuan bertahan hidup dan berkembang yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Setiap generasinya mampu menjawab tantangan dakwah di zamannya sehingga makin eksis. Kini di usia satu abad lebih itu, generasi Muhammadiyah memasuki zaman digital. Ada beberapa dinamika kontemporer yang harus diperhatikan dengan cara mengidentifikasi, merefleksi dan menyikapi setiap tantangan dengan cara cerdas untuk menjawab tantangan dakwah kekinian.
Pertama, globalisasi yang menempatkan peradaban pada level generasi 4.0 – 5.0. Zaman otomatisasi dan digitalisasi menjadikan segalanya serba mudah, cepat, dan melimpah. Banjir produk dan informasi dalam dunia maya dan nyata.
Dampak buruknya gaya hidup hedonis makin kuat dengan tawaran barang di belanja online. Dunia maya internet menjadikan hidup serba permisif, cenderung membiarkan kejahatan atau kekeliruan berjalan asal dirinya sendiri tidak melakukan. Abai dengan lingkungan sekitar.
Makin parah lagi kalau generasi milenial enggan hadir di acara pengajian karena sibuk dengan media sosialnya. Pilihan pengajian online pun menjadikan komunikasi tatap muka jarang dilakukan sehingga bisa menjadi ancaman keberlangsungan PRM dan PCM sebagai basis massa.
Kedua, metode kajian Islam yang stagnan menawarkan solusi atas problem-problem umat karena masih terjebak pada isu khilafiyah.
Malah muncul pemikiran radikal konservatif fundamentalistik ala ISIS, al-Qaeda, Jihadis, hingga radikal liberal sekularistik yang mengangap agama urusan pribadi, semua agama sama, dan mengedepankan rasio dalam memahami agama.
Ekstrem kanan semakin ke kanan, ekstrem kiri semakin jauh ke kiri. Sementara yang di tengah pijakannya goyah karena tidak solutif dan tak menarik.
Contoh, konsep bernegara yang ditawarkan Muhammadiyah seperti Darul Ahdi wa Syahadah tidak semenarik gagasan ideal Khilafah dan Darul Islam. Bahkan konsep wasathiyah yang dipahami sebagai moderasi beragama malah dituduh upaya mendangkalkan akidah Islam.
Ketiga, runtuhnya kepakaran atau otorisasi keilmuan ditandai dengan bermunculan dai medsos dengan beragam aliran dan gaya hidup. Penjelasan agama yang sepotong-potong. Bisa saling bertentangan dan caci maki.
Para pakar dan kiai yang memiliki otoritas keilmuan tafsir, fikih, al-Quran dan hadits semakin langka makin jarang didatangi.
Solusi
Itulah tantangan dakwah di era digital. Problem di atas menjadi masalah keumatan secara global. Karenanya paradigma dan strategi dakwah haruslah disesuaikan dengan tantangan zaman ini.
Pertama, berubah minazh-zhulumati ila annur. Dari kader biasa-biasa menjadi dai pencerah. Fasih bicara agama dan paham digitalisasi.
Dua kepakaran yang dibutuhkan zaman sekarang adalah penguasaan turas (kitab) bidang tafsir, hadits, fikih. Penguasaan social skill dalam bidang komunikasi dan advertising untuk pembuatan konten media sosial yang menarik generasi milenial.
Kedua, berubah dari manual ke digital. Semula gaptek, gagap teknologi, dipaksa belajar dunia internet. Pilihan media dakwah tidak hanya tatap muka tapi memasuki dunia dakwah digital. Dari yang gratis seperti Instagram, Twitter, Facebook, Youtube hingga yang berbayar melalui Zoom, Google Meet, atau platform konferensi video lainnya.
Setiap platform memiliki audiensnya. Masyarakat pragmatis menginginkan instan. Sekali klik, pertanyaan tentang hukum agama misalnya, harus disajikan dengan menarik, logis, dan cepat.
Oleh karena itu siapapun yang menguasai media akan menguasai dunia. Dakwah manual tradisional akan ditinggalkan generasi milenial. Muhammadiyah perlu melakukan digitalisasi Himpunan Putusan Tarjih supaya mudah diakses generasi milenial di internet.
Ketiga, berubah dari ideologis ke profesional. Tidak perlu menjual ideologi sebagai branding (citra merek). Di saat kelompok-kelompok ideologis dianggap menjadi bagian dari problem dunia maka menawarkan ideologis justru dianggap lucu.
Amal usaha Muhammadiyah yang disukai masyarakat bukan karena ideologinya tapi profesional dalam pelayanan.
Di tengah serangan propaganda bahwa Muhammadiyah besar karena pernah menjadi anak emas Orde Baru perlu dilawan dengan menunjukkan gedung-gedung pencakar langit Universitas Muhammadiyah yang terus tumbuh. Peringkat kampus yang diakui dunia. Masjid-masjid ikonik di setiap kota. Rumah-rumah sakit Muhammadiyah berkembang dengan baik melayani rakyat.
Keempat, berubah dari pragmatic ke values etic. Misalnya, jihad politik sebagai salah satu pilar dakwah keumatan dan kebangsaan perlu revitalisasi. Politik praktis yang menjual identitas Muhammadiyah tak selalu dipilih. Karena itu jihad politik dengan menyebarkan politik nilai ke elite kekuasaan perlu dirumuskan lagi strateginya.
Kelima, berubah dari lokal ke global. Dulu kita masih bangga dengan istilah act locally and think globally. Bertindak di lingkungan masyarakat sendiri menurut aturan-aturan dan norma-norma tradisi lokal serta berpikir dan berkomunikasi dengan kelompok lain menurut cita rasa dan standar aturan etika global.
Nyatanya Muhammadiyah sedang melakukan act and think locally and globally together. Internasionalisasi Islam berkemajuan tanpa meninggalkan dakwah lokal.
Selamat Milad Muhammadiyah ke 109. Semoga mampu menjadikan tantangan menjadi peluang. Menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin secara nyata, bukan retorika. (*)
Editor Sugeng Purwanto