Pak Sis, Pengusaha Peternakan yang Saya Kenal oleh Drh Zainul Muslimin, Ketua Lazismu Jawa Timur.
PWMU.CO– Tahun 1985 ketika saya mulai kerja di PT Japfa Comfeed Indonesia di Divisi Pakan Ternak saya mulai mengenal H Marmin Siswojo. Pak Sis, begitu sapaannya, waktu itu mengelola toko Jatinom Indah di Kanigoro Blitar bersama istrinya almarhum Bu Munarmi.
Sejak itu saya sering keliling daerah bersamanya memberi ceramah cara beternak ayam petelur yang baik. Saat itu Pak Sis sudah sukses sebagai pengusaha peternakan.
Beberapa kali diajak keliling ke pabrik pakan ternak atau ke peternakan sapi, atau tempat bisnisnya yang lain untuk mengais ilmu suksesnya. Saya berminat dengan pengalaman sukses khususnya bisnis seputar peternakan dan pertanian.
Dari situlah saya makin dekat dengannya. Juga tahu kebiasaannya. Seperti Pak Sis ternyata tidak tahan dengan AC mobil terlalu dingin. Kalau di Blitar cuacanya sangat dingin maka perlu pindah sementara ke rumah sangat sederhana di daerah Sidosermo Surabaya mendapatkan cuaca udara yang lebih hangat.
Perjalanan dengannya lama-lama tidak hanya urusan pekerjaan. Mulailah dia dan teman-teman lain membentuk klub tenis. Banyak anggotanya yang aktivis Muhammadiyah. Akhirnya bikin jamaah pengajian para pengusaha. Di situ kadang saya ikut hadir.
Ikut Beternak Ayam
Ada satu hal yang mendorong saya untuk ikut berusaha ternak ayam petelur. Motivasinya adalah bagaimana cara dia mengelola keuangannya. Menurut saya, Pak Sis orang yang sangat tertib menunaikan zakat. Besar zakat yang dikeluarkan sangat fantastis. Sebesar lebih dari 100 kali gaji saya sebulan.
Saya tahu jumlah zakat yang dibagi karena salah satu panitianya tetangga Pak Sis, namanya Pak Guru Hardi, menceritakan ke saya. Dari situlah kemudian saya punya semangat menggelegak dan mimpi yang membara muncul untuk ikut beternak ayam petelur supaya bisa berzakat besar seperti dia.
Alhamdulillah Pak Sis terus mendorong dan ngompori agar saya selain kerja di perusahaan juga beternak. Tahun 1990 saya bisa beli tanah 0,5 Ha di Blitar. Saat itu harganya Rp 9 juta. Terus saya bikin kandang dengan kapasitas 2.000 ekor.
Duit saya ternyata hanya cukup untuk bikin kandang. Itupun dengan menjual seluruh barang di rumah. Sepeda motor, tape compo, ada kalung emas dan cincin yang saya dapat kado dari temen-teman pengusaha peternakan di Blitar.
Kemudian ada sahabat namanya Pak Sudjiono, biasa kita panggil Djie Kian Sin, meminjami ayam siap bertelur sebanyak 2.000 ekor. Begitu kandang sudah ada isinya, Pak Sis beberapa kali datang mengunjungi saya. Pagi-pagi nongol di kandang menyemangati kami.
Candaannya yang menempel kuat di kenangan saya ketika dia mengatakan,”Eei iki lho kandange Pak Zainul koyok padepokan Satria Madangkara.” Komentarnya itu karena melihat pintu kandang terbuat dari gedheg yang ketika keluar masuk harus diangkat he he he…..
Beli Ikan
Dua tahun setelah memulai beternak ayam petelur, rumah kontrakan yang sudah 4 tahun kami tinggali mau dijual oleh pemiliknya. Padahal saya sudah telanjur senang dan cocok tinggal di rumah itu. Pemiliknya minta harga Rp 18 juta pas. Luas tanahnya 200 meter persegi. Bangunan sudah cukup bagus.
Saya berniat membelinya. Tapi punya uang Rp 3 juta. Maka Rp 5 juta dipinjami Pak Sis. Rp 10 juta pinjam perusahaan. Sementara peternakan belum memberi hasil.
Pak Sis sering menasihati kepada siapapun yang baru belajar beternak, ”Pak Zainul ojo kesusu diambil hasilnya, karena harus melalui tiga fase yaitu ayam makan orang, ayam makan ayam, baru kemudian orang makan ayam. Fase itu harus dilalui. Intinya ketika bisnis peternakan ayam itu belum memadai, belum cukup kuat, jangan buru-buru diambil apalagi dikuras hasilnya,”
Tahun 1996 saya keluar dari perusahaan pakan ternak tapi komunikasi dengan Pak Sis tetap berlanjut. Bahkan pernah beli ke saya 10 ekor pejantan kambing PE (Peranakan Ettawa) untuk dibagikan ke kelompok peternak kambing. Mimpinya agar peternak mendapatkan bibit unggul dengan pejantan terbaik itu.
Suatu saat saya pindah ke Sidoarjo. Komunikasi tetap berjalan terutama untuk aksi-aksi sosial ke pelosok desa di Blitar Selatan. Pernah saya mendapat titipan uang dari tetangga untuk dibelikan sapi kurban terbaik. Harganya saat itu Rp 35 juta per ekor. Saya juga minta tolong Pak Sis mencarikan sekaligus lokasi penyembelihannya.
Aksi sosial lain berbagi sembako di daerah Wates, Blitar. Lokasi di pelosok yang medannya sulit dilewati. Saya diantar Pak Sis. Di tengah perjalanan melihat orang cari ikan dapat separo timba. Pak Sis turun lalu membeli ikan itu. Dia beri uang 2,5 kali lipat dari yang diminta orang itu.
Saya tanya untuk apa ikan sebanyak itu. Dengan enteng dia menjawab,”Lha dienggo lawuh beras sing sampeyan gowo iku.” Ternyata Pak Sis begitu jauh pikirannya untuk ketuntasan dan kesempurnaan dalam melayani dan memuliakan masyarakat dhuafa.
Rasa Sesal
Ada satu rasa sesal dalam diri saya. Ya, saya benar-benar menyesal ketika Pak Sis sudah menyempatkan menelepon saya menanyakan alamat lengkap rumah untuk mengirim undangan pernikahan putri bungsunya, Mbak Intan, saya tidak datang.
Entah di mana undangan itu. Kemungkinan diterima oleh anak-anak dan tidak disampaikan ke saya. Tahu-tahu lho kok Mas Indra, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PWM Jatim upload foto bersama Pak Sis saat resepsi pernikahan Mbak Intan. Maka begitu bertemu saya sampaikan permohonan maaf karena tidak memenuhi undangannya.
Saya tulis kenangan ini di perjalanan menuju rumah Pak Sis untuk takziah di Blitar semobil bersama Sekretaris PWM Jatim Pak Tamhid Masyhudi, Mas Faris, Romli dan Cak Sodik dengan sesekali air mata ini meleleh.
Sugeng tindak Pak Sis di usia 81 tahun dengan banyak bekal keteladanan kebaikan yang telah panjenengan berikan kepada kami semua semoga Allah swt memaafkan dan mengampuni kesalahan panjenengan, merahmati panjenengan, menjauhkan panjenengan dari siksa kubur dan api neraka, serta memasukkan panjenengan ke surga-Nya.
Terima kasih buku panjenengan Mengikat tanpa Tali yang memginspirasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Pakisaji, Malang 13 November 2021 Pukul 16.10.
Editor Sugeng Purwanto