PWMU.CO – A-Z cara mengontrol anak dalam penggunaan gadget disampaikan oleh motivator dari Griya Parenting Indonesia, Ani Christina SPsi, dalam parenting virtual kelas III dan IV SD Muhammadiyah 2 Bojonegoro, Sabtu (13/11/2021).
Pada acara bertema Menjadi Orangtua Ideal untuk Generasi Islam Milenialtersebut, praktisi pendidikan, konselor anak, dan penulis buku parenting itu menjelaskan, gaya hidup anak, orangtua dan keluarga berubah karena digitalisasi. “Tentu hal ini memberikan pengaruh baik positif maupun negatif,” ujarnya.
Dia menjelaskan, di antara dampak positif media digital yaitu mendorong anak memahami perkembangan teknologi, mendukung pembelajaran akademik, mendukung perkembangan bahasa, dan menjadi alternatif sarana rekreatif.
“Sedangkan dampak negatif dari media digital seperti mempengaruhi perilaku, pornografi, dan sebagainya,” kata Ani Chistina.
Kontrol Penggunaan Teknologi Informasi
Di hadapan 239 peserta, Bunda Ani, sapaan akrabnya, menegaskan, orangtua tetap harus dapat mengontrol teknologi informasi. “Dan jangan membiarkan teknologi mengontrol kita,” ujarnya.
Menurutnya, hal-hal yang bisa dilakukan orangtua untuk mengontrol anak-anak dalam menggunakan gadget di antaranya: menempatkannya di ruang keluarga, mendampingi anak ketika mengakses media digital, dan memberikan nesihat dan contoh perilaku menggunakan gadget yang aman dan sehat.
Di samping itu, lanjutnya, membangun kesepakatan tentang penggunaan media gadget, memasang aplikasi pengaman, mendidik anak untuk menjauhkan diri dari pornografi, dan melakukan dialog dengan segera ketika ditemukan fenomena paparan pornografi.
“Bagaimana jika anak sudah terlanjur mencintai gadget dan melihat konten-konten yang kurang mendidik?” tanyanya retoris.
“Jawabannya adalah melakukan dialog santai, membicarakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilihat. Kemudian mendampingi anak selama 10 sampai 20 menit pertama, pada saat itu pula orang tua juga mengarahkan anak untuk melihat hal-hal yang baik,” kata dia menjawab sendiri pertanyaan itu.
“Berikutnya berilah kepercayaan untuk anak melihat secara mandiri konten-konten yang mendidik atau baik dengan maksud untuk mengecek kejujuran anak, beberapa menit kemudian ayah bunda bisa kembali mengecek melalui histori,” tambahnya.
Menurut dia, jika anak mengikuti instruksi yang diberikan selanjutnya berilah kepercayaan. Namun jika tidak maka berilah pengertian dan kesempatan kembali terhadap anak. Bila melanggar berulang-ulang boleh diberikan punishment (hukuman) dengan menarik gadget.
Anak Chat dengan Lawan Jenis
Peserta webinar sangat antusias ketika sesi tanya jawab. Misalnya tampak pada Andri Widiyanti, ibunda Daffama Vionovan, siswa kelas IV B. Dia menanyakan agaimana cara memberitahu anak agar tidak melakukan chat WhatsApp dengan lawan jenis yang membahas di luar pelajaran?
Bunda Ani pun menjawab dengan santun: “Ayah-Bunda tidak perlu panik karena boleh lho ya anak-anak suka dengan lawan jenis. Jangan dilarang. Jika itu terjadi kita kembali ke prosedur memiliki HP anak. Lihat apa yang ditonton anak, lihat aplikasinya, lihat chat-nya.”
Dia mengatakan, beberapa anak mungkin menolak jika dilihat. Jika hal itu yang terjadi, maka dia memberi tips bagaimana berdialog dengan anak. Dia menyarankan untuk mengatakan:
“Mama minta (melihat) sekali saja, sekali ini. Jika menunjukkan anak yang amanah, bisa menjaga kepercayaan ayah bunda, maka ayah dan bunda tidak akan melihat HP-mu lagi, Nak.”
“Tetapi jika ada sesuatu yang tidak baik maka bunda izin ya Nak. Bunda akan lihat HP kamu entah sebulan sekali atau dua bulan sekali. Maaf ya Nak.”
Jadi, lanjut Bunda Anik, pertama jangan panik. Kedua jangan marah. Ketiga jangan dihapus.
Menurut dia, kepanikan akan menyebabkan orangtua tidak dapat mencari pilihan kata yang tepat untuk disampaikan ke anak. Sebab marah hanya akan membuat anak-anak menghindar. Menghapus artinya menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan anak sehingga tidak ada tindak lanjut penanaman pengertian ke anak,
“Maka sebaiknya perlu dialog antara orangtua dan anak dengan nyaman,” pesannya.
Agar Tak Pegang Gadget Terus
Pertanyaan lainnya datang dari Ieke Nur Afni Yuliastanti, ibunda Intan Nabila Mashanda Afianti, siswa kelas IV D. “Bagaimana cara memberitahu anak agar tidak selalu berinteraksi dengan gadget terus-menerus tanpa mereka merasa jengkel dengan apa yang kita nasihatkan?”
Pertanyaan itu langsung dijawab Bunda Ani: “Kita bicara dulu dengan anak secara baik-baik. Kita kasih waktu 30 menit pada anak untuk memegang gadgetnya, setelah itu kita minta.”
Menurutnya, jika anak jengkel dan marah, itu hal biasa dan tidak masalah. Karena dalam hidup tidak selamanya anak harus dalam posisi bahagia, senang terus tanpa memperhatikan apa yang dilakukan itu baik apa tidak untuk pembentukan perilakunya.
“Karena untuk membahagiakan anak kita tidak perlu menuruti segala kemauannya tanpa berpikir pada efek yang ditimbulkannya. Untuk membasuh luka anak yang kecewa ketika kita minta HP-nya tersebut, ketika menjelang tidur kita dekap anak, kita saling memaafkan satu sama lain dan mengikhlaskan semua kesalahan tersebut,” terang Bunda Ani.
Menghadapi Akil Baligh
Bunda Ani juga menjelaskan, akil adalah kedewasaan berpikir. Dan baligh adalah kedewasaan secara biologis. Keduanya harus seiring selaras.
“Anak-anak sebaiknya disiapkan sebaik mungkin sehingga ketika mereka sudah mencapai masa kedewasaan secara biologis juga telah memiliki pemahaman yang baik. Telah memiliki kedewasaan berpikir juga. Sehingga dapat mengalihkan naluri seksualitasnya melalui kegiatan-kegiatan yang positif,” urainya.
“Kapan edukasi masalah seksualitas diberikan?” tanyanya retoris. Menurut dia di usia dua tahun pertama, anak perlu diberikan sentuhan dan belaian kasih sayang orangtua.
Ketika memasuki usia 3-6 tahun perlu memfokuskan pada identitas gender anak. Misalnya jika laki-laki dipanggil mas, jika perempuan dipanggil mbak. “Pemilihan pakaian yang sesuai gender juga perlu sehingga anak jelas tentang perbedaan gender,” ujarnya. (*)
Penulis Niswatun Khasanah Editor Mohammad Nurfatoni