Proyek Antiterorisme Jelang Akhir Tahun oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Menyusul Sekjen FPI Munarman enam bulan silam, kini tiga tokoh dakwah ditangkap oleh Densus 88 tanpa prosedur hukum yang layak pada Selasa, 16 November 2021. Mereka adalah Farid Okbah, Ahmad Zain An-Najah, dan Anung Al-Ahmat.
Farid Akhmad Okbah, Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), pecahan dari PBB, aktivis Dewan Dakwah Islamiyah, pendidikan master bahasa Arab, pernah menjadi imam di jamaah muslim Sidney, penulis buku.
Ahmad Zain An-Najah adalah doktor syariah dari Universitas Al Azhar dan Madinah, anggota Komisi Fatwa MUI. Anung Al-Ahmat, ahli hadits lulusan Al Azhar Mesir, doktor dan dosen di Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
Penangkapan itu menggunakan UU No. 5/2018 anti terorisme sehingga terduga tindak terorisme bisa ditangkap begitu saja seperti koruptor tertangkap tangan. Muncul wacana publik yang menjadikan Islam sebagai ancaman keamanan dan tokoh-tokohnya dikaitkan dengan aksi terorisme, terutama di masa lalu.
Dinarasikan bahwa Jamaah Islamiyah dan organisasi serupa yang diindikasikan sebagai organisasi para alumni Mujahidin Afghanistan asal Indonesia yang pernah dilatih perang tahun 1990-an kini sedang merencanakan aksi teror kembali. Tebersit kesan proyek antiterorisme dijalankan lagi di akhir tahun.
Operasi Intelijen
Saya menduga, aksi teror sebagai respons non-linier atas state terrorism, ada operasi intelijen untuk menjadikan alumni Afghanistan dan siapapun yang dekat dengan Taliban sebagai kambing hitam teroris dengan menggunakan lone wolf yang sudah dicuci otaknya. Ini kemudian dijadikan alasan objektif bagi Densus 88 untuk melakukan kekejaman negara atas rakyat mereka sendiri.
Alumni yang berjumlah sekitar 400 orang inilah -termasuk Ali Imron- yang pernah terlibat melindungi komunitas muslim dalam peristiwa kerusuhan berdarah di Ambon dan Poso serta terlibat dalam aksi bom Bali beberapa waktu setelah serangan AS ke Irak dan Afghanistan pasca peristiwa 9/11.
Oleh George Bush Jr, invasi AS ke Afghanistan untuk memburu Osama bin Laden ini diposisikan sebagai kelanjutan Perang Salib dengan diberi nama War on Terror. Dalam praktik, perang melawan teror ini wujud menjadi perang melawan Islam.
Wartawan senior Australia John Pilger mengatakan, sebenarnya tidak ada perang melawan teror, tapi yang ada adalah menjadikan terorisme sebagai alasan untuk menginvasi wilayah muslim seperti Afghanistan dan Irak, atau menangkapi para terduga teroris.
Alasan ini mengada-ada. Perang yang kemudian terjadi adalah perang yang tidak sah sekaligus kejahatan kemanusiaan dengan korban ratusan ribu manusia yang tidak bersalah. Ini sebuah proyek antiterorisme.
Pimpinan Partai Republik maupun Demokrat AS serta industri militer yang diuntungkan oleh bisnis perang tidak sah itu adalah para penjahat perang sekaligus teroris yang sebenarnya dengan merancang gerakan antiterorisme.
Adalah Barat yang membuat daftar organisasi teroris yang disahkan PBB. Tidak mungkin memasukkan partai politik semacam Partai Republik AS dalam daftar tersebut.
Intelektual publik paling berpengaruh di abad 20 hingga hari ini, Noam Chomsky, mengatakan, Partai Republik AS adalah organisasi yang paling berbahaya di seantero planet ini.
Di bawah Donald Trump, dunia semakin terancam perang nuklir, dan ancaman perubahan iklim makin parah. Keduanya merupakan ancaman eksistensial atas manusia sebagai spesies terorganisasi.
Kini di bawah Joe Biden dari Partai Demokrat AS, ancaman perang nuklir itu tidak berkurang. Jadi baik dari segi pendanaan, penguasaan teknologi perang, jaringan intelijen, maka ISIS, al-Qaedah, JI, HTI dan FPI jika dibandingkan dengan Partai Republik dan Partai Demokrat AS, seperti nyamuk dibanding gajah dalam kemampuannya membuat propaganda, disinformasi dan perang buatan serta kerusakan yang paling membahayakan spesies manusia.
Proyek Antiterorisme
Upaya menangkap tiga tokoh dakwah itu dengan tuduhan terorisme itu, lalu juga desakan pembubaran MUI, benar-benar mencerminkan upaya mengubur kebenaran dengan propaganda kebohongan dalam proyek antiterorisme yang disponsori Barat.
Ini sekaligus upaya untuk memecah belah bangsa Indonesia dan umat Islam sekaligus mencari kelompok Islam yang bisa dijadikan kaki tangan AS dalam melawan dominasi China di Indonesia.
Skenario menjelang peristiwa G30S/PKI 1965 boleh jadi akan dipaksakan terjadi lagi oleh kekuatan nekolimik di Indonesia. Tentu dengan sedikit modifikasi. Jika benar Nahdlatul Ulama merupakan bagian dari faksi pro-China rezim penguasa saat ini yang mengganggu kepentingan AS di Indonesia, Biden mungkin sekali akan mencoba menarik ormas atau Parpol Islam tandingan untuk bersama faksi TNI pro-AS melawan Nasakom baru yang kini berkuasa.
Jika NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini tidak menyadari skenario jahat Balkanisasi Republik ini, alangkah malang nasib umat Islam dan juga bangsa ini.
Peringatan Haedar Nashir agar ormas Islam tidak terjebak pada kebanggaan kelompok akan dieksploitasi terus oleh kekuatan-kekuatan nekolimik ini.
Baik China maupun AS mungkin telah menemukan kepentingan yang sama di Indonesia yaitu sekulerisasi dan pecah belah untuk melemahkan umat Islam Indonesia sebagai benteng terakhir Republik setelah tentara dan polisi bisa dikendalikan oligarki dan umat muslim diasingkan dari Islam menjadi kaum abangan.
Negeri ini mungkin akan dibalkanisasi menjadi beberapa bagian untuk dijadikan bancakan oleh China dan AS serta sekutunya. Kelompok sekuler radikal yang kini merasa di atas angin sebentar lagi akan gigit jari karena akan menjadi sepah yang dibuang begitu saja setelah habis manisnya.
Bagi kekuatan nekolimik yang kerasukan imperial ambition ini, manusia pendek berkulit coklat berhidung pesek keturunan homo soloensis yang hidup di negeri ini adalah gangguan menjengkelkan yang expendable bagi upaya penjarahan berkelanjutan atas kekayaan melimpah negeri ini.
Kali ini umat Islam harus belajar dari peristiwa G30S/PKI 1965 dan Reformasi 1998 dan tidak mengulangi kekeliruannya. Kedua peristiwa itu dirancang oleh kelompok sekuler radikal yang disponsori Sayap Barat, namun kelompok kiri radikal diam-diam telah menunggangi reformasi.
Untuk menghentikan proses balkanisasi negeri ini, umat Islam harus bersatu dan lebih assertive, mengatakan gundhulmu pada tuduhan radikal teroris. Lalu secara terstruktur, sistemik dan masif konstitusional menyiapkan local and national leaders dan agendanya sendiri sesuai amanah pendiri Republik.
Jangan lagi menjadi sekadar pendorong mobil mogok saat krisis, dirayu saat Pemilu, tapi ditinggal pilu begitu pesta berlalu. Lalu negeri ini hancur berkeping-keping.
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, 19/11/2021
Editor Sugeng Purwanto