Diskriminasi Hukum Kasus Terorisme oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
PWMU.CO– Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat pada peristiwa pembunuhan 6 anggota Laskar FPI baru dilakukan proses peradilan 10 bulan setelah peristiwa terjadi.
Masalah lama proses adalah keanehan hukum untuk peristiwa yang sangat mudah dalam pembuktian dengan kejelasan pelaku dan banyak saksi. Hal yang terang benderang kejahatannya. Hebatnya tersangka yang kemudian menjadi terdakwa tidak ditahan atau dapat berkeliaran bebas.
Berbeda dengan peristiwa ikutannya yaitu penangkapan mantan Sekretaris Umum FPI Munarman yang sejak bulan April 2021 hingga kini belum jelas juntrungannya. Ditahan dengan tuduhan tindak pidana terorisme.
Proses penyelidikan dan penyidikan yang sangat berlarut-larut seperti menghukum sebelum dihukum. Tidak ada aksi kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan sebagaimana rumusan UU Antiterorisme. Samar-samar tuduhan hanya ceramah dan menghadiri acara baiat. Itupun terjadi tahun 2015. Sedemikian sumir peristiwanya.
Dua peristiwa di atas menggambarkan betapa hukum berlaku secara diskriminatif bahkan paradoks. Untuk peristiwa pertama semestinya dilakukan penahanan, pengawasan ketat, bahkan pemecatan. Sedangkan untuk kedua dapat dilakukan proses hukum biasa tanpa penangkapan demonstratif yang cenderung melanggar HAM. Munarman adalah advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya. Tidak sedang bersembunyi.
Diskriminasi hukum sangat kentara ketika hukum ditempatkan sebagai alat kepanjangan kekuasaan. Hukum yang berada dalam kangkangan politik. Tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan dahulu di mana hukum bukan untuk membuka ruang keadilan tetapi memang untuk menghukum lawan politik atau penentang kekuasaan.
Dua aturan hukum yang saat ini up date untuk menjadi alat kepanjangan politik yaitu UU ITE dan UU Antiterorisme. Dengan UU ITE betapa mudah pelapor abal-abal melaporkan sasaran pesakitan untuk diproses perbuatan pencemaran atau hoaks.
Kriminalisasi untuk membungkam kebebasan berekspresi dan perbedaan pandangan politik mudah ditarik ke ranah UU ITE. Pasal karet digunakan.
Demikian juga dengan UU Antiterorisme yang awalnya dibuat untuk kasus spesial super berat kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut, korban massal, kerusakan atau kehancuran objek vital strategis, kini bisa ditarik ke “menghadiri baiat” atau dalam kasus mutakhir “membuat kotak amal” dan “berkebun kurma”.
Tuduhan yang jauh dari semangat pembuatan UU Antiterorisme tersebut. Apalagi sampai menyasar kepada lembaga keagamaan MUI segala.
Terorisme negara lebih menakutkan, mengancam dan merusak daripada terorisme swasta. Perjuangan berat saat ini adalah menegakkan aturan konstitusi yang berbunyi:
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum” (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945).
Bandung, 23 November 2021
Editor Sugeng Purwanto