PWMU.CO – Empat belas etika bermedia sosial (medsos) disampaikan Ain Nurwindasari STHI MIRKH dalam Pertemuan Mubalighat dan Corp Mubalighat Aisyiyah (CMA) Gresik, yang digelar di Panti Asuhan Al-Ihsan Lebanisuko, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Ahad (21/11/21).
Mengawali pembicaraannya ia menyitir al-Quran surat an-Nahl ayat 97 “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang lebih baik dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.“
Menurut Ain, sikap seseorang dalam bermedia sosial itu terbagi dua. Yang pertama one to many communications Satu orang kepada orang yang banyak. Contoh akun YouTube berbicara kepada banyak orang dan tidak bisa ditanggapi secara langsung.
“Kedua, one to one communications orang bisa menanggapi pembicaraan saya secara langsung, satu orang ke orang lain. Misalnya saya ngobrol dengan suami lewat WhatsApp,” jelasnya.
Bagaimanapun keduanya, lanjut dia, membutuhkan akhlak mulai dari berbicara, ng-eshare, posting, menerima informasi dan komentar. “Alhamdulillah agama Islam sudah punya nilai-nilai yang bisa kita terapkan dalam bermedsos,” tandasnya.
Fiqih Informasi
Ustadzah Ain menjelaskan ada empat belas etika yang harus dimiliki dalam bermedia sosial yang sudah ditetapkan dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah.
“Pertama, shiddiq artinya benar-benar adanya, bukan post truth atau informasi yang bias,” terangnya.
Kedua adalah tawazun, yang berarti rela mencari sumber lain. Tidak menerima satu informasi dan terburu-buru untuk disebarkan, tapi searcing informasi lainnya.
Ketiga adalah tabayyun. Masih berhubungan dengan tawazun, tabayyun adalah mencari kebenaran dari yang menyampaikan berita secara langsung.
“Contoh ada grup A menyampaikan suatu berita, lalu kita klarifikasi atau tabayyun secara langsung kepada yang posting tentang kebenarannya. Tidak justru meyakini dan menyebarkannya apalagi berita tersebut negatif,” jelasnya.
Keempat, hurriyah, yaitu kebebasan untuk mendapatkan informasi. Bukan kebebasan untuk menyebarkan saja.
“Maka kita mempunyai kebebasan mencari informasi sebanyak-banyaknya agar seimbang dan tidak tumbang karena hanya dapat dari satu sumber,” ujarnya.
Adalah merupakan etika kelima berkaitan dengan follower, subscriber, liker, lover. bersikap adil dan profesional, maupun bagi para hater.
“Ndak boleh terlalu cinta jadi follower terhadap selegram, sehingga apapun yang diposting kita ikuti,” tuturnya mengingatkan.
Selanjutnya keenam adalah tabligh. Yakni informan tidak boleh menyembunyikan atau menyebarkan informasi yang berbeda.
“Kita contohkan Rasulullah dalam memperoleh wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, tidak satupun ayat disembunyikan tetapi langsung disampaikan kepada umatnya,” terang Ain.
Hal ini, menurutnya, dapat diterapkan saat kita datang ke suatu pengajian lalu pulang, materi itu langsung kita sampaikan kepada teman maupun keluarga.
Amanah sampai Penghormatan
Ketujuh adalah amanah, mengorganisir informasi secara tertib kepada audience.
“Jika kita punya akun youtube atau instagram. Bagaimana kita mengorganisir akun tersebut tidak random tapi urut, sehingga orang yang menjadi audience kita menarik apa yang disampaikan,” ucapnya.
“Influencer informasi supaya tidak bosan maka didesain melalui aplikasi canva misalnya. Kata yang cuma singkat dan simpel dan biasa-biasa saja, jika didesain dan diselipi emot akan menarik dibaca. Dan Netizen akan menunggu hal-hal baik yang kita post,” imbuhnya.
Etika kedepan adalah fathanah. Dalam hal ini kita perlu bijak dan arif dalam mengelola informasi. Harus penuh kehati-hatian dan penyampaiannya juga indah dan tepat.
Sembilan, rasional dan proporsional atau tidak baper (bawa perasaan).
“Misalnya ada akun yang menceritakan kehidupan suami istri yang so sweet, kita tidak boleh memandingkan dengan diri kita, kenapa ya keluarga saya tidak seperti itu. Sudah biarkan saja, begitulah kehidupan bermedia sosial. Yang dulu kita anggap tidak pantas. Meskipun banyak follower tapi belum tentu baik untuk kita. Dan tidak pula overdosis,” jelasnya.
Sepuluh, menghormati para pemberi dan penerima informasi. Hindari personal judgemen, Fokus pada conten. “Jika kita tidak setuju dengan apa yang diinformasikan, jangan membuat komentar meskipun kita benar. Tapi hormatilah orang yang memberi informasi. Biarin saja, kalau kita klarifikasi, lakukan dengan baik,” tandasnya.
Jeli hingga Kontekstual
Sebelas, memahami secara jeli tentang posisi pemberi dan penerima informasi sebagai insider/outsider
“Orang yang memberi informasi pahamilah sebagai pembicara, tidak usah frontal dalam menanggapi. Mungkin ibu-ibu di sini bilang. Saya tidak begitu Ustadzah! Melihat saja tidak sempat apalagi menanggapi. Mungkin ilmu ini kita berikan kepada saudara atau anak-anak kita,” tuturnya.
Duabelas, tidak mudah terprovokasi, tidak terburu-buru mengambil keputusan, namun kritis selektif terhadap informasi.
“Contoh ada akun yang informasikan satu tokoh atau dosen yang menyatakan sholat lima waktu itu tidak ada haditsnya. Memang orang tersebut sudah didesain untuk membuat provokasi memang orang sudah terkenal dan dibayar seperti itu. Akhirnya kita terpicu untuk mencari dan membaca hadist. Biarin aja tidak usah terprovokasi,” tandasnya.
“Tigabelas, adalah kesediaan melakukan klarifikasi informasi yang meragukan, kalau valid kita share dan sosialisasi,” jelasnya.
“Terakhir, kontektualisasi al-jarh (ketercelaan) wa al-ta’dil (keterpujian) dalam verifikasi informasi antara lain terkait dengan sifat adil bagi penyampa informasi,” tutupnya. (*)
Penulis Kusmiani Co-editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni