Reuni 212 Tidak Cukup Bernostalgia oleh Ainur Rafiq Sophiaan, Pemimpin Redaksi Majalah Matan.
PWMU.CO– Pagi itu sejak Subuh udara sangat dingin. Mendung terus bergelayut. Tak terlihat matahari membagi sinar. Sementara pergerakan manusia yang sebagian besar berpakaian warna putih terus membanjiri lapangan Monas dan jalan-jalan sekitarnya. Dari seluruh penjuru kawasan paling elite ibukota Indonesia itu.
Saya sendiri datang berombongan satu bus carteran dari Surabaya. Perjalanan sebagaimana banyak diberitakan sebelumnya rombongan dari daerah mana saja banyak dihadang aparat di beberapa titik arah Jakarta. Jalan tol pantura ketika baru dari Brebes ke Jakarta. Selebihnya melalui jalan biasa yang superpadat.
Alhamdulillah, saya punya ”jimat” penyelamat. Sewaktu menjadi salah satu wartawan di Kodam V Brawijaya (saat itu Pangdam Mayjen TNI Imam Utomo sebelum Gubernur Jawa Timur) mendapat topi hitam berlogo Kodam lengkap dengan tulisan WARTAWAN. Topi itu harus saya kenakan setiap ada petugas menghentikan bus. Tanpa berlama-lama petugas memeriksa rombongan, saya berusaha memperlihatkan topi itu ke petugas. Manjur dan mujur. Tak sampai 2 menit bus dipersilakan meneruskan perjalanan.
Akhirnya sampai Jakarta dengan aman dan selamat. Jumat, 2 Desember 2016 merupakan salah satu momentum paling berkesan dalam hidup. Dengan semangat membela agama Islam yang membara saya dan kawan-kawan rombongan berjalan kaki dari kompleks Rumah Makan Padang Kramat Raya tempat transit ke Monas sekitar 3 km. Dalam perjalanan bertemu banyak rombongan lain yang memiliki semangat sama. Rasanya seperti berangkat melempar jumrah dalam prosesi haji.
Penangkapan Aktivis
Mengesankan lagi sepanjang jalan banyak orang menawarkan minuman dan makanan gratis beraneka macam. Di sekitar Monas hidangan makin bejibun dan tinggal pilih menu apa. Mulai nasi goreng Jawa sampai nasi kabuli dikemas dalam kotak tersedia cuma-cuma. Kawan-kawan menyebutkan, inilah gerakan membela al-Quran surat al-Maidah yang maknanya hidangan. Subhanallah.
Seperti dimaklumi, gerakan yang kemudian diringkas menjadi Aksi Bela Islam 212 ini merupakan respon spontanitas umat Islam dari seluruh Indonesia terhadap Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (saat itu) yang dianggap melecehkan ayat 51 surat al-Maidah. Aksi ini bagi mereka yang tidak sepakat sering dinisbahkan dengan upaya penggembosan Ahok untuk maju ke Pilgub DKI 2017. Dianggap politis. Padahal, murni agamis. Kalau ada efek politis itu wajar saja dari kehadiran jutaan orang itu.
Pihak penguasa sangat tidak mendukung dengan acara itu dengan berbagai pernyataan pejabat tinggi yang diucapkan jauh-jauh hari. Terutama disuarakan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kini Mendagri). Bahkan dini hari jelang acara itu terjadi penangkapan dramatis terhadap para aktivis Islam dan demokrasi, seperti Mayjen Pur Kivlan Zein, Ahmad Dani, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Firza Husein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Eko, dan Jamran.
Namun semua gonggongan itu tak pernah membuat nyali peserta kempes. Bahkan entah bagaimana cerita sesungguhnya akhirnya Presiden Jokowi sempat datang bersama Wapres Jusuf Kalla, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Menag Lukman Hakim Saifuddin, dan pejabat tinggi lainnya. Mereka datang ke panggung acara dengan berjalan kali dari Istana Merdeka di tengah hujan gerimis dan ikut shalat Jumat bersama.
Inilah juga kejadian yang sangat mengesankan dalam hidup. Baru sekali itu saya shalat Jumat di jalan (persisnya Jalan Medan Merdeka Selatan depan kantor Gubernur DKI) di tengah hujan gerimis. Masya Allah.
Sungguh indah dan menusuk kalbu. Terlebih khotbah Jumat disampaikan Habib Riziq Shihab selama sekitar 20 menit dengan gaya khasnya meledak-ledak dan menggugah semangat jihad dalam arti luas.
Umat Islam Penentu
Setelah itu Aksi Bela Islam 212 selalu diperingati dengan Reuni 212 mulai 2017, 2018, dan 2019 di Monas dengan massa yang tak kalah melimpah ruah. Saya bersyukur bisa ikut menghadiri ketiganya. Pada 2020 Reuni tak lagi diadakan secara massal karena pandemi Covid-19. Gantinya reuni diadakan secara daring melalui kanal-kanal media sosial. Tentu saja, tak ada lagi greget dan syiar yang menyebar.
Tahun 2021 ini Reuni 212 kembali tak lagi bisa dilaksanakan secara massal dan terbuka di tempat bersejarah Monas. Di tengah polemik pro-kontra tampaknya itu hanya pengulangan dari orang-orang yang sama dengan narasi yang mirip pula.
Yang kontra menyatakan Reuni 212 tak perlu lagi karena sudah tidak kontekstual. Saya sendiri meyakini bukan peristiwanya yang penting, namun spirit dakwah dan jihad membela agama itu yang esensial.
Di tengah-tengah maraknya narasi dan aksi islamofobia di beberapa bagian dunia dan suka tidak suka juga terjadi di negara kita akhir-akhir ini, ghirah (komitmen) dan shibghah (identitas) Islam harus senantiasa dipupuk dengan cara yang elegan dan menghindari ekstremitas. Ujaran kebencian dan berbagai tindakan pelecehan terhadap tokoh-tokoh Islam dan simbol Islam harus direspon dengan bijak dan beradab sebagaimana Reuni 212 yang mewariskan kedamaian dan ketertiban luar biasa.
Lebih utama lagi hendaknya momentum Reuni 212 harusnya menjadi pengingat dan bahkan evaluasi sejauh mana umat Islam secara ekonomi dan politik menentukan (determinan) dalam menentukan perjalanan republik ke depan.
Tantangan serius adalah menguatnya hegemoni politik kelompok tertentu dan oligarki ekonomi yang merusak sendi-sendi konstitusi dan menjarah aset negara di berbagai sektor kehidupan.
Letjen TNI Pur Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas, pernah menyatakan, Indonesia tidak akan maju kalau umat Islam tetap tertinggal. Sebagai kelompok mayoritas diharapkan dapat menjadi basis kekuatan berbangsa dan bernegara.
Pernyataan itu sangat realistis dan inspiratif. Reuni 212 harus menjadi pengingat semua bahwa PR umat masih sangat banyak dan harus dijawab dengan kerja-kerja strategis meskipun kecil.
Itu lebih bermakna daripada sekadar bernostalgia yang nyaring suaranya di media, tapi tidak mengubah apa-apa. Umat Islam harus jadi fa’il (subjek), bukan maf’ul (objek). Selamat ber-Reuni 212! (*)
Editor Sugeng Purwanto