Deklarasi Djoeanda: Apa Kabar Indonesia Poros Maritim Dunia? oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Senin (13/12/2021) kemarin, sebagian kecil warga negara Republik ini memperingati sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern: Deklarasi Djoeanda 1957.
Dengan dibekali naskah akademik yang disusun oleh Mochtar Kusumaatmaja, Perdana Menteri Ir Djoeanda Kartawidjaja mendeklarasikan sebuah dakuan (klaim) bahwa laut-laut yang selama ini merupakan perairan internasional menjadi perairan kedaulatan Republik.
Dakuan itu yang diakui 25 tahun kemudian oleh UNCLOS 1982 telah menyebabkan luasan Republik ini menjadi 5 juta kilometer persegi lebih. Ini pertambahan hampir dua kali lipat dari luas wilayah Republik yang pernah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17/8/1945. Dalam perspektif ini saja NKRI bukan harga mati.
Jelas NKRI bukan harga mati karena NKRI adalah sebuah cita-cita, sebuah kompleks gagasan tentang sebuah entitas administrasi publik yang tugas-tugas pokoknya telah diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945.
NKRI juga sebuah lebensraum, ruang kehidupan yang batas-batasnya sebagian terancam oleh kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, sekaligus dilubangi oleh globalisasi dan digitalisasi, serta dinamika kepentingan maritim regional maupun global.
Sayang sekali, seperti yang dinyatakan oleh Rodhial Huda, Wakil Bupati Natuna, perluasan wilayah laut itu hingga kini gagal dikelola untuk pertambahan sumber-sumber kesejahteraan umum.
Sudah 64 tahun, pemerintah gagal mewujudkan kapasitas administrasi publik di laut yang menjamin perwujudan kepentingan maritim kita yang dasar-dasarnya sudah disiapkan oleh Deklarasi Djoeanda. Sebagai negara kepulauan bercirikan nusantara, menjadi negara maritim adalah geostrategic default.
Jika kemaritiman adalah aliran darah manusia, maka butir-butir darah merah itu adalah armada kapal niaga dan perikanan nasional yang mendistribusikan barang-barang dan jasa. Pemerintahan maritim adalah plasma yang menjamin gerakan armada kapal niaga dan perikanan itu secara aman, efisien dan efektif.
Darah putih bertugas untuk melindungi butir-butir darah merah itu dari ancaman penyakit dari luar. Armada Kapal-kapal perang KRI itulah yang berperan sebagai darah putih. Saat ini, butir-butir darah merah itu jauh dari cukup, sebagian malah termakan oleh darah putih karena plasmanya bermasalah.
Adalah armada Sea and Coast Guard yang seharusnya merepresentasikan archipelagic state atau pemerintahan maritim yang mewakili Negara Republik Indonesia di laut. Setiap kapal mencerminkan sebuah flag state, sementara pelabuhan mencerminkan port state.
Begitu sebuah kapal sudah memperoleh port clearance, maka tidak ada satu setanpun yang boleh menganggu kapal tersebut tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Saat ini berbagai kapal negara dan KRI hadir di laut tidak mewakili negara, tapi mewakili instansi masing-masing sehingga tidak ada kesatuan pemerintahan dan tanggung jawab di laut. Kepastian hukum di laut hilang, pelayaran nasional menghadapi ekonomi biaya tinggi yang memberatkan upaya pendistribusian kekayaan ke seluruh pelosok tanah air.
Secara budaya, bangsa ini justru semakin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa bahari. Infrastruktur budaya yang dibutuhkan bagi sebuah bangsa bahari gagal dibangun melalui sistem pendidikan sebagai instrumen untuk mewujudkan prasyarat budaya bagi bangsa maritim sekaligus bangsa merdeka.
Sistem persekolahan nasional yang mendominasi Sisdiknas justru mengasingkan banyak warga muda dari lingkungan agromaritim mereka sendiri. Selama 50 tahun terakhir yang terjadi justru urbanisasi besar-besaran dari kawasan agromaritim (pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan) itu ke kota-kota besar yang rancangannya justru membelakangi laut. Sampai hari ini tidak ada kota besar di Indonesia yang boleh disebut sebagai water-front city.
Alih-alih membangun armada kapal nasional sebagai infrastruktur dan tulang punggung sistem logistik nasional, pemerintah justru sibuk membangun jaringan jalan tol yang makin mendorong ketidakadilan energi.
Sektor kemaritiman membutuhkan kebijakan energi baru untuk mengurangi ketimpangan konsumsi energi perkapita yang parah antara Jawa dan Kawasan Tengah dan Timur Republik ini. Persatuan Indonesia yang bentang alamnya seluas Eropa ini mustahil diwujudkan tanpa sektor kemaritiman nasional yang kuat dengan dukungan kebijakan energi yang tepat.
Seperti kegagalan Jembatan Suramadu untuk memakmurkan Madura secara efektif dan bermakna, maka kita memerlukan maritime mainstreaming untuk mewujudkan negara maritim sebagai geostrategic default.
Kita membutuhkan armada kapal yang lebih banyak dalam jenis dan ukuran yang cukup. Bukan mobil-mobil baru budak energi bermerk asing. Dinamika regional saat ini menunjukkan bahwa NKRI maritim tidak saja penting bagi Republik ini, tapi juga penting bagi ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang atas kebangkitan China saat ini dengan ambisi proyek One Belt One Road nya.
Indonesia Poros Maritim Dunia mensyaratkan rancangan institusi dengan kapasitas administrasi kemaritiman yang canggih untuk melayani kepentingan maritim bangsa ini. Jangan ditunda-tunda lagi.
Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Surabaya 14/12/2021
Editor Sugeng Purwanto