Basis Teologi
Dia meluruskan, tuntutan pertama dari surat al-Alaq bukan soal literasi—terutama berkaitan dengan dimensi konten—dan qiroah, karena itu sudah ada jauh sebelum al-Quran diturunkan. “Yunani telah melahirkan banyak literatur karya Aristoteles, Socrates, dan lain sebagainya sehingga menjadi khazanah ilmu pengetahuan yang diturunkan,” terangnya.
Sebenarnya, yang lebih penting, ‘bismirabbik’ harus menjadi dasar literasi. “Kita punya tugas untuk membawa anak-anak didik kita, termasuk dalam konteks memimpin, itu berbasis pada teologi, keyakinan-keimanan kita pada Allah SWT,” ungkapnya.
Dengan basis teologi, lanjutnya, keberhasilan tidak hanya ditentukan dalam konteks memimpin sekolah sekarang, tapi juga apakah keberhasilan itu akan membawa pada kebaikan puncak di akhirat kelak. “Keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh seorang calon kepala sekolah dalam konteks memimpin sekolah akan terlihat amat dan amat kecil dibandingkan dengan kebaikan yang akan diperoleh di akhirat,” ujarnya.
Dia mengimbau, semua hal yang dilakukan harus punya basis teologi. “Supaya ada keberlanjutan kebermaknaan njenengan semua dalam hidup dan hidup sesudah hidup ini,” tuturnya.
Kreator dan Inovator
Saad Ibrahim mengatakan, ada dua dimensi pada kata Rabbi di ayat pertama al-Alaq. Pertama, Allah sebagai al-Khaliq, Dzat yang menciptakan. Kedua, Allah sebagai al-Hafid, Dzat yang menjaga dan memelihara.
Selain punya basis teologi, kemudian mengisi diri dengan konten keilmuan—menguasai dimensi literasi—maka harus pula menyadari Allah meletakkan nama-Nya di situ sebagai Dzat yang menciptakan, menjaga, dan memelihara.
Pada ayat itu, lanjutnya, Quran menonjolkan khalaq. Khalaq artinya menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, berbeda dengan ja’ala yang artinya menciptakan sesuatu jadi sesuatu yang lain (bukan sama sekali baru).
“Orang-orang kreatif itu, ketika kemudian berhenti tidak lagi menjadi kepala sekolah, akan tetap punya kebermaknaan dalam hidup untuk masyarakat yang lebih luas.”
M Saad Ibrahim
Yang harus menjadi prioritas dalam mendidik anak, menurutnya, selain memberikan arahan supaya bertauhid, beriman, dan semangat menguasai literasi membaca dan menulis, lebih dari itu juga harus menjadi kreator (mencipta) sekaligus inovator (menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru).
Saad mengapresiasi, “Saya tadi dipameri oleh Njenengan semua karya-karya tadi itu dan itu baik.”
Dia menegaskan, kalau seseorang punya prinsip yakhluqu (menciptakan), tidak akan kena disrupsi. “Orang-orang kreatif itu, ketika kemudian berhenti tidak lagi menjadi kepala sekolah, akan tetap punya kebermaknaan dalam hidup untuk masyarakat yang lebih luas,” terangnya.
Belajar dari proses penciptaan manusia yang berawal dari sesuatu yang menjijikkan—nutfah, spermatozoa membuahkan ovum—lalu bisa tercipta manusia yang mulia, maka Saad mengingatkan, menciptakan juga bisa berbasis pada sesuatu yang kurang baik.
“Sesuatu yang sebenarnya kurang baik lalu diubah menjadi baik dan sangat baik. Kita bisa mengubah dari sesuatu yang sangat rendah, pada posisi di bawah, kemudian kita bisa mengangkat pada posisi yang tertinggi, bahwa sesungguhnya tingkat kreasi kita itu adalah tekad yang sangat optimal!” tegasnya.
Bangun Jaringan
Ayat-ayat al-Alaq itu, kata Saad Ibrahim, juga menunjukkan ketergantungan satu sama lain. “Orang yang menyadari ketergantungan itu adalah orang yang bisa mengapitalisasi jaringan-jaringan,” ujarnya.
Artinya, lanjut Saad, sehebat apapun konten-konten yang dimiliki, hebat juga dimensi teologisnya, termasuk menjadi kreator dan inovator; tapi percuma kalau tidak bisa membangun jaringan, tidak punya daya ketergantungan satu sama lain. “Hanya Allah saja yang tidak tergantung pada apapun!” tegasnya.
Saad mencontohkan, salah satu peserta dari sekolah non-Muhammadiyah yang ‘dititipkan’ di diklat itu baru mengetahui gambaran Muhammadiyah yang sebenarnya setelah menjalani diklat. “Kalau tidak ada jaringan tidak bisa. Penting bagi kita, Muhammadiyah, maupun non-Muhammadiyah untuk membangun jaringan,” tuturnya.
Literasi
Saad Ibrahim menyatakan, ada pengulangan iqra dalam al-Alaq. “Tidak boleh Anda berhenti untuk membangun literasi!” tuturnya.
Dia lantas mengisahkan Abu Hanifah. “Pernah mengatakan, saya membaca satu ayat al-Quran, lalu saya mendapatkan satu pelajaran. Ayat itu saya ulang lagi, saya mendapat dua pelajaran. Saya ulang lagi, saya dapat tiga pelajaran,” ungkapnya.
Saad menegaskan, artinya bukan soal materi yang dibaca, lebih pada konteks pengulangan. “Bersamaan dengan pembacaan itu harus ada alam pikiran kita apa yang kita dapatkan dari pembacaan itu!” imbaunya.
Baca sambungan di halaman 3: Sempurnakan Kreasi, Muliakan Sesama