Siti Hajinah: Pejuang Tiga Zaman
Siti Hajinah salah seorang murid awal KH Ahmad Dahlan. Jejak dakwahnya ada di banyak titik di Indonesia, di tiga zaman. Dia cakap berdakwah, terampil menjadi guru, dan cekatan dalam berorganisasi.
Siti Hayinah lahir pada 1906 di Yogyakarta. Sang ayah, Muhammad Narju, pengusaha batik. Di kala itu, meski anak perempuan, Hayinah memperoleh pendidikan modern. Dia bersekolah di Hoolandsch Indische School (HIS). Lalu di Huischouds School, semacam sekolah keputrian, belajar aneka keterampilan dan pengetahuan serta bahasa Belanda.
Kecuali sebagai murid KH Ahmad Dahlan, Hajinah juga murid Siti Walidah alias Nyai Ahmad Dahlan. Media belajarnya, melalui perkumpulan putri yang ada di Kauman.
Ketika itu Ahmad Dahlan, lewat perkumpulan Sidratul Muntaha, mendidik murid-muridnya. Pada saat yang sama, sang guru juga mengajak berjuang lewat Muhammadiyah.
Pribadi Kritis
Hayinah berani menyampaikan pendapat. Hal itu telah terlihat ketika masih berusia 17 tahun. Saat itu, lewat tulisan, dia menyampaikan pokok pemikirannya tentang “Kemajuan”, sebagai berikut:
Pembaca tidak salah, bahwa bangsa Jawa sekarang senang terhadap kemajuan atau senang maju. Tetapi sayang mereka belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan kemajuan itu. Apabila mereka dilarang agar tidak bepergian atau berdandan (yang berlebihan), mereka menjawab ‘Ini kemajuan’. Bila disuruh menyapu lantai, mereka akan menggerutu ‘Sudah maju masih disuruh menyapu’. Apabila diberitahu bahwa dalam tingkah lakunya yang tidak pantas seperti naik sepeda, potong polkah dan sebagainya, mereka akan menjawab ‘(jangan) kolot’ (Lasa Hs. dkk., 2014: h.57).
Punya Nama
Pada 1930 Hajinah dipercaya Pimpinan Pusat Aisyiyah berkeliling Indonesia untuk menyebarkan pemikirannya tentang Aisyiyah. Untuk itu, dia jelajahi berbagai pelosok. Semua daerah dia tembus semisal Makassar, Gorontalo, Menado, dan lainnya.
Ketika di pedalaman Sengkang Sulawesi, Hajinah kesulitan terkait dengan bahasa daerah setempat, yang penduduknya belum bisa berbahasa Indonesia. Dia-pun lalu menggunakan juru bahasa.
Adapun di Gorontalo, Manado, dan Ambon, sebagian besar penduduknya bisa berbahasa Belanda. Untuk itu, dia berceramah dalam bahasa Belanda dengan lancar dan fasih.
Atas usaha dan dakwahnya yang simpatik, masyarakat meresponnya dengan rasa hormat kepada Hayinah. Dia sukses dan punya nama di berbagai penjuru negeri ini.
Kreatif dan Berani
Pengalaman Hayinah dalam berdakwah cukup lengkap. Misal, dia punya resep dalam menghadapi polisi-polisi Belanda atau Jepang. Lihatlah, sebelum berdakwah di sebuah daerah, dia terlebih dulu mengkaji adat-istiadatnya.
Dia cermati tata-cara kehidupan masyarakatnya. Juga, dia perhatikan bagaimana perlakuan penguasa (Belanda atau Jepang) dalam mengawasi para muballigh-muballighah. Ketatkah mereka mengontrol?
Saat Berjurnalistik
Di antara jejaknya yang strategis adalah ketika Hayinah di posisi sebagai Pimpinan Majalah Suara Aisyiyah selama 17 tahun. Ketika menjadi pemimpin Suara Aisyiyah, Hajinah sangat konsisten mengusahakan agar majalah itu tetap terbit, meskipun pada waktu itu sempat dihalang-halangi oleh pemerintah Jepang.
Dengan kecerdikan dan kecerdasannya, Hayinah bisa berkelit dari situasi sulit. Dia usahakan sekuat tenaga agar majalah Suara Aisyiyah terus terbit.
Baca sambungan di halaman 4: Pendidik yang Baik